100 Hari Kepemimpinan Prabowo-Gibran, ketika Perluasan Kebun Sawit Dinilai Perluas Konflik Sosial dan Kerusakan Lingkungan

100 Hari Kepemimpinan Prabowo-Gibran, ketika Perluasan Kebun Sawit Dinilai Perluas Konflik Sosial dan Kerusakan Lingkungan

PALANGKA RAYA, KOMPAS.com - Hari ini menandai 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Kepemimpinan mereka mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan, terutama setelah Presiden Prabowo Subianto menyatakan dukungannya terhadap perluasan perkebunan kelapa sawit.

Pernyataan tersebut disampaikan dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional di Gedung Bappenas, Jakarta Pusat, pada Senin (30/12/2024).

Dukungan Prabowo untuk perluasan kebun sawit, yang disamakan dengan pohon di hutan, mendapat kritik keras dari aktivis lingkungan di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), yang merupakan daerah dengan areal perkebunan kelapa sawit terluas ketiga di Indonesia.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, Bayu Herinata, menilai pernyataan Presiden dapat memperparah krisis lingkungan dan memperburuk konflik sosial.

"Sangat disayangkan pernyataan demikian dikeluarkan oleh Presiden. Seinformal apa pun, pernyataan kepala negara menjadi salah satu rujukan kebijakan atau arahan dari pemerintah kepada perangkat-perangkat di bawahnya," ungkap Bayu saat ditemui Kompas.com di kantornya, Senin (20/1/2025).

freepik.com Ilustrasi perkebunan kelapa sawit

Bayu menjelaskan bahwa Kalteng merupakan provinsi ketiga dengan areal tutupan kebun sawit terluas di Indonesia, setelah Riau dan Kalimantan Barat.

Dua kabupaten dengan tutupan sawit terluas di Kalteng adalah Seruyan dan Kotawaringin Timur.

Berdasarkan laporan Dinas Perkebunan Kalteng tahun 2023, tutupan sawit eksisting di Kalteng mencapai 2,2 juta hektar, sebagian besar dikelola oleh korporasi perkebunan.

"Luas izin pembukaan kebun sawit yang sudah diberikan pemerintah kepada perusahaan mencapai 3,6 juta hektar. Masih ada sekitar 1,4 juta hektar yang belum terbuka dan berpotensi menjadi lokasi perluasan kebun sawit," jelasnya.

Bayu menegaskan bahwa 2,2 juta hektar lahan sawit yang sudah ada telah menyebabkan perubahan tutupan hutan yang signifikan, berdampak pada menurunnya fungsi ekosistem penting seperti sungai dan gambut.

Ia juga menyoroti bahwa konsep perkebunan kelapa sawit adalah pertanaman monokultur, yang memiliki fungsi terbatas dibandingkan dengan tutupan hutan yang memiliki variasi tanaman.

"Pernyataan bahwa sawit ini sama-sama tumbuhan yang bisa menyerap emisi atau menghasilkan oksigen, itu tidak berdasarkan kajian yang akademis," tuturnya.

freepik.com Ilustrasi perkebunan kelapa sawit

Bayu menambahkan bahwa bencana ekologis seperti banjir di Kalteng semakin sering terjadi, dengan beberapa daerah memiliki kawasan hutan kurang dari 20 persen.

"Sekarang daerah dengan topografi dataran tinggi juga bisa banjir, ini karena daya dukung dan daya tampung lingkungannya sudah tidak bisa lagi memitigasi dampak perubahan iklim," ujarnya.

Menurut Bayu, perluasan perkebunan kelapa sawit akan memicu potensi konflik agraria.

Ia mencatat bahwa industri perkebunan kelapa sawit menyumbang angka konflik agraria tertinggi di Kalteng.

"Dari 349 konflik agraria yang terjadi di Kalteng saat ini, lebih dari 80 persennya terjadi di sektor perkebunan kelapa sawit, karena sektor ini merampas hak atas lahan dan akses masyarakat terhadap sumber-sumber penghidupan," jelasnya.

Bayu menilai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan baru ini justru melanggengkan kerusakan lingkungan yang telah terjadi sebelumnya.

Ia meminta pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sektor-sektor yang berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan.

"Kerusakan lingkungan yang terjadi banyak disumbang oleh sektor perkebunan sawit, kebun sawit yang sudah eksis ini saja menyebabkan bencana lingkungan yang kian meluas, apalagi kalau diperluas lagi," pungkas Bayu.

Sumber