100 Hari Prabowo-Gibran, Kontras Soroti Komitmen Penuntasan Kasus HAM Masa Lalu

100 Hari Prabowo-Gibran, Kontras Soroti Komitmen Penuntasan Kasus HAM Masa Lalu

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai, pada 100 hari pertama, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka belum menunjukkan komitmen nyata untuk menuntaskan kasus pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu.

Koordinator Kontras Dimas Bagus Arya menilai, pemerintah justru berupaya untuk memutihkan kejahatan HAM yang pernah terjadi.

"Dalam 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, rezim baru nampaknya belum menunjukkan komitmen nyata untuk menuntaskan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu. Sebaliknya, terlihat indikasi kuat bahwa rezim pemerintahan Prabowo-Gibran berupaya untuk melakukan pemutihan terhadap kejahatan yang pernah terjadi," kata Dimas di Kantor Kontras, Jakarta, Senin (20/1/2025). 

Dimas lantas mencontohkan gelagat pemerintah yang dianggap berupaya melakukan pemutihan terhadap berbagai kejahatan HAM masa lalu.

Semisal, pernyataan kontroversial Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, yang menyebut tidak perlu melihat ke masa lalu ketika ditanya soal penyelesaian pelanggaran HAM.

Menurut Kontras, pernyataan itu bermasalah karena pelanggaran  berat HAM merupakan tindak pidana berupa kejahatan luar biasa yang diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Dimas menyebutkan, Komnas HAM juga sudah melakukan penyelidikan pro-yustisia untuk kasus-kasus tersebut, artinya proses hukumnya tengah berlangsung.

"Tidak ada pihak manapun yang lantas memiliki wewenang untuk mengintervensi proses tersebut, terlebih lagi menentukan apa langkah penuntasan yang akan diambil, termasuk presiden sekalipun," kata Dimas.

Kontras turut menyoroti kehadiran kementerian yang secara spesifik mengurus bidang HAM, tetapi tidak menjadi angin segar bagi penuntasan pelanggaran berat HAM masa lalu.

Ia berkaca pada beberapa pernyataan Menteri HAM Natalius Pigai yang dinilai tidak pernah menyebut apa pun perihal penuntasan pelanggaran berat HAM masa lalu sebagai salah satu program.

"Program dan rencana kerja yang ia sampaikan justru merupakan hal-hal yang tidak menyentuh substansi sesungguhnya dari HAM. Pigai mengabaikan beban yang terus-menerus dipikul Indonesia, yaitu penuntasan kejahatan HAM yang terjadi pada masa Orde Baru, sebagai bentuk penegakan HAM yang sesungguhnya," tutur Dimas.

Poin terakhir, Kontras melihat tidak seriusnya pemerintah menuntaskan penyelesaian pelanggaran berat HAM masa lalu tecermin saat peringatan Hari HAM 2024, Desember lalu.

Peringatan Hari HAM 2024 yang seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk merefleksikan penegakan HAM di Indonesia, terutama keadilan bagi korban pelanggaran berat HAM, justru membawa kabar buruk.

Sebab, pada momen tersebut, Yusril dan Komnas HAM menyampaikan akan menyelesaikan pelanggaran berat HAM masa lalu melalui mekanisme rekonsiliasi.

Kontras menilai wacana itu tidak berdasar sebab sangat berbahaya bagi keadilan dan akuntabilitas negara, serta berpotensi mempertebal dinding impunitas.

"Negara harus melakukan pengungkapan kebenaran, pertanggungjawaban pidana dari pelaku, pemulihan korban, dan reformasi institusi secara bersama-sama dan berdampingan. Kami menduga wacana penuntasan melalui KKR tidak lebih dari upaya negara untuk lari dari tanggung jawabnya dan kembali melindungi pelaku kejahatan HAM," kata Dimas.

Sumber