15 Warisan Budaya Yogyakarta, Ada yang Sudah Diakui UNESCO
KOMPAS.com - Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dikenal sebgai daerah yang memiliki kekayaan budaya yang khas.
Beberapa telah diwariskan sejak zaman nenek moyang dan masih terus diperkenalkan dan dilestarikan hingga kini.
Warisan budaya ini telah menjadi bagian dari cara hidup, mulai dari sistem nilai, kepercayaan, tradisi, maupun terbentuk jejak-jejak dari sebuah kebudayaan atau peristiwa.
Beberapa dapat ditemukan di kawasan cagar budaya, yaitu Kawasan Cagar Budaya Malioboro, Keraton, Pakualaman, Kotagede, dan Kotabaru.
Namun, sebaran warisan budaya yang ada di Yogyakarta tidak hanya berasal dari lima kawasan tersebut.
Terdapat dua jenis warisan budaya yang ada di DIY, yaitu warisan budaya benda dan warisan budaya tak benda.
Jumlahnya begitu banyak, namun beberapa di antaranya telah dikenal luas, tidak hanya di nusantara namun juga di mancanegara.
Selain diakui pemerintah daerah melalui Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) hingga pemerintah pusat melalui Kemendikbud, ada juga warisan budaya Yogyakarta yang telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia.
Berikut adalah beberapa warisan budaya dari Yogyakarta yang dirangkum Kompas.com dari berbagai sumber.
Sumbu Filosofi Yogyakarta adalah sebuah sumbu imajiner yang membentang dari utara ke selatan yang menghubungkan Tugu Golong Gilig, Keraton Yogyakarta, dan Panggung Krapyak.
Sumbu imajiner ini apabila ditarik filosofinya akan menggambarkan perjalanan siklus hidup manusia berdasarkan konsepsi Sangkan Paraning Dumadi.
Sebagai arsitek yang merancang konsep tata kota ini, Sri Sultan Hamengku Buwono I juga turut merancang tetenger-tetenger atau penanda yang menegaskan harmonisasi antara manusia, alam, dan Sang Pencipta
Sumbu Filosofi Yogyakarta resmi diakui sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO pada 2023 dengan nama The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks.
Grebeg atau garebeg merupakan sebuah tradisi tahunan yang dilakukan Keraton Yogyakarta di Alun-Alun Utara dan ditandai dengan keluarnya ubarampe beberapa gunungan.
Pelaksanaannya dilakukan sejak masa pemerintah Sultan Hamengku Buwana I sesuai hitungan kalender Jawa dan bertepatan dengan berlangsungnya hari besar Islam.
Grebeg di Keraton Yogyakarta dilakukan tiga kali dalam setahun, yaitu Grebeg Syawal (Idul Fitri), Grebeg Besar (Idul Adha), dan Grebeg Maulud (Kelahiran Nabi Muhammad SAW).
Mubeng beteng merupakan sebuah tradisi tahunan yang dilakukan Keraton Yogyakarta pada malam pergantian tahun baru dalam kalender Jawa atau malam 1 Suro.
Tradisi ini dilakukan dalam bentuk kegiatan tirakat lampah ratri dengan mengelilingi beteng Keraton Yogyakarta dalam kesunyian atau dalam diam.
Prosesi mubeng benteng dahulu merupakan upacara resmi dari Keraton atau upacara kenegaraan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dilaksanakan atas perintah dalem Sri Sultan Hamengkubuwono yang bertahta dan dilaksanakan oleh para abdi dalem.
Namun seiring waktu, mubeng beteng dilaksanakan oleh masyarakat dan abdi dalem saja.
jogjaprov.go.id Tradisi Mubeng Beteng yang diselenggarakan Keraton Yogyakarta dalam menyambut 1 Suro dan Tahun Baru Islam.
Labuhan merupakan sebuah tradisi tahunan yang dilakukan Keraton Yogyakarta sebagai rangkaian dari peringatan Tingalan Dalem Jumenengan atau bertahtanya Sri Sultan Hamengkubuwono sebagai Raja Keraton Yogyakarta.
Untuk lokasi Labuhan Merapi dilaksanakan di dusun Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman.
Kegiatan ini akan dipimpin oleh juru kunci Merapi yang telah ditunjuk oleh Keraton Yogyakarta.
Sementara Labuhan Parangkusumo dilakukan di Cepuri Parangkusumo dan Pantai Parangkusumo dengan ubarampe berupa hasil bumi (polo pendem) pakaian, dan sesajen.
Labuhan Parangkusumo merupakan ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan alam yang diinterpretasikan dalam wujud barang2 yang dilarung ke segoro kidul.
Kerajinan tangan berbahan perak merupakan salah satu cinderamata khas Kotagede, Yogyakarta.
Sejarah pengrajin perak di Kotagede sudah ada dari zaman Belanda yang awalnya dikhususkan untuk membuat berbagai benda pesanan Keraton.
Namun istri gubernur Belanda yang bernama Mary Agnes kemudian mengembangkan industri kerajinan perak di wilayah ini.
Hingga kini, produk kerajinan perak dari Kotagede masih diminati wisatawan dan menjadi salah satu daya tarik tersendiri.
Gerabah merupakan kerajinan khas dari daerah Kasongan, Bantul yang telah dikenal luas.
Ciri khas gerabah Kasongan yaitu adanya penggunaan teknik tempel yang ada pada proses produksi dan sudah dilakukan secara turun menurun dengan keahlian tingkat tinggi.
Kemahiran dalam membuat gerabah ini telah lama dikuasai dan dikembangkan oleh masyarakat setempat, hingga dikenal sebagai sentra produksi gerabah oleh wisatawan.
Selokan Mataram adalah sebuah saluran irigasi yang menghubungkan Sungai Progo di bagian barat dengan Sungai Opak yang ada di bagian timur wilayah Yogyakarta.
Selokan ini dibangun atas perintah Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang dimulai pada 1942 dan selesai pada 1944.
Pembangunan Selokan Mataram saat itu merupakan strategi menyelamatkan rakyat Yogyakarta dari sistem romusha (kerja paksa) sekaligus untuk meningkatkan pembangunan di bidang pertanian.
Kain lurik adalah kain tenun yang bermotif garis-garis atau dalam bahasa Jawa disebut lorek-lorek.
Kail lurik berbeda dengan kain batik yang memiliki banyak motif karena pada dasarnya hanya terdiri dari tiga motif dasar yaitu motif lajuran dengan corak garis-garis panjang searah dengan helai kain, motif pakan malang yang memiliki garis-garis lebar, dan motif cacahan dengan garis kecil-kecil.
Saat ini penggunaan kain lurik merupakan bagian dari baju gagrak Yogyakarta untuk pria yang dikenakan setiap Kamis Pon.
Dok. Shutterstock/Faizal Afnan Ilustrasi pakaian bahan lurik.
Blangkon dikenal sebagai tutup kepala khas masyarakat Jawa, namun blangkon Yogyakarta memiliki ciri khas tersendiri.
Ciri khas blangkon Yogyakarta adalah memiliki mondolan atau tonjolan di bagian belakang.
Sementara dari motif, blangkon Yogyakarta biasanya menggunakan motif modang, blumbangan, kumitir, celeng kewengen, jumputan, sido asih, sido wirasat, atau truntum.
Tari Bedhaya Semang merupakan salah satu jenis tari putri klasik yang disakralkan di Keraton Yogyakarta.
Tarian yang dibawakan oleh sembilan orang penari ini diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I dan dianggap sebagai salah satu jenis pusaka.
Sebagai tarian yang menjadi bagian dari ritual di dalam istana, gerak tari Bedhaya Semang merupakan reaktualisasi hubungan antara keturunan Panembahan Senopati sebagai Raja Mataram Islam dengan penguasa Laut Selatan atau Ratu Laut Selatan, yaitu Kanjeng Ratu Kidul.
Pada perkembangannya, tari Bedhaya Semang menjadi induk dari beksan bedhaya di Keraton Yogyakarta.
Tari Beksan Bandabaya merupakan salah satu jenis tari beksan yang berasal dari Puro Pakualaman.
Tarian ini diciptakan oleh Sri Pakualaman II sekitar tahun 1825-1850 dan dipertunjukkan untuk menjamu tamu terhormat.
Gerak tari Beksan Bandabaya menggambarkan kegagahan dan ketrampilan prajurit Puro Paku Alaman berlatih perang dengan menunggang kuda.
Jemparingan adalah sebutan dari olahraga panahan dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau dikenal juga dengan jemparingan gaya Mataram Ngayogyakarta.
Ciri khas dari jemparingan yang membedakan dengan gaya panahan lainnya adalah dilakukan dalam posisi duduk bersila.
Selain itu, pemanah Jemparingan juga tidak membidik dengan mata namun memposisikan busur di depan perut, sehingga akurasi bidikan didasarkan pada perasaan pemanah.
Awalnya jemparingan hanya dilakukan oleh keluarga Kerajaan Mataram hingga kemudian dijadikan perlombaan di kalangan prajurit kerajaan.
Seiring waktu, seni memanah ini semakin diminati dan dimainkan oleh banyak orang dari kalangan rakyat biasa.
DOK.Kaliurang Park Ilustrasi jemparingan di Kaliurang Park.
Gudeg dikenal sebagai kuliner khas Yogyakarta, namun ada yang lebih istimewa dan langka yaitu gudeg manggar.
Gudeg manggar tidak terbuat dari nangka muda melainkan dari mayang atau bunga kelapa muda.
Asal-usul gudeg manggar sangat erat kaitannya dengan masa pemerintahan Ki Ageng Mangir karena pencetus pertamanya yaitu istri beliau yaitu Putri Pemayun.
Hal ini karena wilayah Mangir kala itu terdapat banyak pohon kelapa yang menjadi mata pencaharian utama masyarakatnya.
Bakpia merupakan kuliner khas Yogyakarta yang berasal dari hasil akulturasi budaya masyarakat Tionghoa yang tinggal di wilayah ini.
Awalnya resep bakpia dibawa oleh seorang Tionghoa bernama Kwik Sun Kwok pada tahun 1940-an yang berjualan dengan menyewa tempat untuk usahanya milik Niti Gurnito di Kampung Suryowijayan, Mantrijeron, Yogyakarta.
Bakpia awalnya diolah menggunakan minyak babi dan menjadi perpaduan antara cita rasa Tionghoa dengan lokal.
Namun kemudian sajian bakpia perlahan berubah menjadi kue bulat dengan berbagai isian yang sangat populer dan bisa diterima oleh semua kalangan.
Bir Jawa adalah minuman rempah-rempah khas Keraton Yogyakarta yang tidak hanya mengandung khasiat namun juga menyimpan nilai sejarah.
Hal ini karena kemunculan Bir Jawa yang mulai dikenal pada masa Sultan Hamengkubuwono VII terkait dengan cara beliau menjamu tamu Belanda pada masanya.
Karena saat menjamu tamu Sultan tidak meminum minuman beralkohol, maka terciptalah Bir Jawa yang tampilannya terlihat seperti bir yang diminum orang Belanda.
Bir Jawa kemudian menjadi bentuk adaptasi kebudayaan dengan membuat racikan minuman yang dapat dihidangkan dan diminum bersama dengan tamu Belanda yang datang ke Keraton.
Sumber jogjabudaya.jogjaprov.go.id jogjacagar.jogjaprov.go.id visitingjogja.jogjaprov.go.id kebudayaan.jogjakota.go.id kratonjogja.id referensi.data.kemdikbud.go.id kompas.com (Silmi Nurul Utami)