2.500 Penyandang Disabilitas Masuk DPT, Perlu TPS Inklusif dalam Pilkada Sumbawa

2.500 Penyandang Disabilitas Masuk DPT, Perlu TPS Inklusif dalam Pilkada Sumbawa

KOMPAS.com - Sebanyak 2.500 orang dari beragam jenis disabilitas masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) Pilkada Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Tempat pemungutan suara (TPS) inklusif yang ramah disabilitas harus bisa dihadirkan oleh para penyelenggara pada hari pencoblosan nanti.

Demikian disampaikan Ketua Lembaga Peduli Penyandang Disabilitas Pulau Sumbawa, Nuzul Dio Ika Prasatio saat ditemui Jumat (1/11/2024).

“Iya, kami dorong TPS yang inklusif artinya ramah bagi semua penyandang disabilitas,” kata Nuzul.

Disebutkan, TPS yang ada tangga dan sebagainya tolong diusahakan agar datar ataupun ada bidang miring sehingga teman-teman penyandang disabilitas fisik seperti daksa gunakan tongkat dan kursi roda bisa lebih mudah mengakses bilik suara.

Ia mengakui ada beberapa lokasi TPS belum inklusif saat pemilu seperti masih ada tangga dan lain-lain.

“Kepada PPS tolong dipikirkan kembali agar akses TPS lebih mudah dan ramah disabilitas,” ungkap Nuzul.

Ia khawatir, tidak semua TPS aksesibel bagi difabel.

"Kalau penyediaan aksesibilitas dan pemahaman Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) soal layanan yang aksesibel dan pendampingan bagi difabel, kemungkinan besar tidak banyak petugas di TPS yang tahu keberadaan pemilih difabel di tempat mereka,” jelas Nuzul.

Padahal untuk bisa memberikan akomodasi yang layak bagi pemilih difabel, penyelenggara Pilkada tidak hanya memerlukan data jumlah kelompok ini.

Penyelenggara pilkada juga harus mengetahui hasil identifikasi kebutuhan untuk masing-masing ragam pemilih difabel.

"Artinya, proses pendataan pemilih bagi difabel belum mengakomodir. Petugas pendataan belum memahami bagaimana mengidentifikasi pemilih difabel," ujar Nuzul menambahkan.

Di samping itu, dibutuhkan pemahaman yang lebih mendalam agar penyandang disabilitas dengan berbagai jenis keterbatasan baik fisik, mental, netra, rungu, wicara dan intelektual bisa menggunakan hak pilihnya di bilik suara.

Disabilitas netra, wicara dan rungu masih ada yang belum mengenali pasangan calon yang maju pada kontestasi pilkada serentak 2024.

Padahal, hari pemungutan suara pada 27 November tinggal menghitung hari.

“Iya, kemarin pernah diberikan sosialisasi satu kali oleh KPU dan Bawaslu Sumbawa tetapi dari teman-teman disabilitas masih sedikit yang bisa datang pada acara tersebut,” kata Nuzul.

Ia meminta sosialisasi pilkada lebih dimasifkan lagi sampai tingkat desa. Agar pilkada inklusif bisa diwujudkan.

Nuzul menjelaskan apabila di kluster kembali pemilih dengan disabilitas mental juga harus diperhatikan.

Hal itu karena masih banyak stigma yang mengatakan bahwa mereka seharusnya tidak mengikuti proses-proses politik dalam hal ini Pilkada.

“Kami berharap kepada penyelenggara untuk memberikan akses jika pemilih dengan disabilitas mental sudah terdata agar mereka bisa mengikuti proses ini dengan baik,” ujar Nuzul.

Sementara itu tantangan lain yang dihadapi penyandang disabilitas disampaikan Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Kabupaten Sumbawa, Baiq Hadija.

Ia mengatakan dirinya sudah beberapa kali ikut pilkada dan kendala bagi penyandang disabilitas adalah akses baik seperti faktor fisik maupun kendala informasi.

"Saya sudah sampaikan, ada akses untuk fisik, baik itu punya tangga, dan segala macam. Tapi, ada juga yang seperti akses kendala informasi. Kadang saat kami ke TPS, sampai TPS pun kami belum tahu mau pilih siapa."

"Baru mulai pikir-pikir, pilih partai A atau partai B, calon ini atau calon yang itu, kita tidak tahu dia punya visi misi, hanya tahu namanya saja," kata Hadijah.

Peningkatan partisipasi politik kelompok disabilitas pada pilkada serentak 2024 ini mutlak diperlukan.

Untuk bisa mewujudkan hal itu, ia ingin memastikan pendamping yang akan mendampingi penyandang disabilitas bisa membantu demi terpenuhi hak politik setiap warga negara.

Para penyandang disabilitas atau difabel memiliki hak yang sama untuk memilih dalam Pilkada seperti warga negara Indonesia lainnya.

Namun, kondisi keterbatasan membuat perjuangan mereka untuk menyalurkan hak pilih setiap penyelenggaraan Pilkada menjadi lebih berat.

Ia memaparkan disabilitas rungu dan wicara paling banyak di Sumbawa sehingga di setiap TPS diharapkan ada penerjemah bahasa isyarat agar difabel bisa mengikuti semua proses mulai dari pencoblosan, hingga penghitungan suara.

“Jika JBI terbatas, bisa disiapkan penerjemah bahasa isyarat agar kami bisa nikmati proses pemilu inklusif di semua TPS,” harap Hadijah.

Sumber