20 Tahun Tsunami Aceh, Trauma Delisa Belum Memudar
BANDA ACEH, KOMPAS.com - Hari ini, tepat 20 tahun yang lalu, Delisa Fitri Rahmadani, saat itu berusia 7 tahun, mengenang peristiwa gempa dan tsunami yang merenggut nyawa ibunya dan kakaknya.
Dalam momen peringatan 20 tahun tsunami Aceh yang dipusatkan di Masjid Raya Baiturrahman (MRB) Banda Aceh, Delisa berbagi kisah dan pengalamannya sebagai salah satu penyintas.
Sebelum bencana terjadi, Delisa tinggal bersama ibu dan kakaknya di kawasan Ulee Lheue, dekat pesisir pantai, sementara ayahnya berada di Jakarta.
"Sama seperti korban lainnya, saya melihat dan merasakan langsung bagaimana gempa dan tsunami Aceh terjadi. Gelombang tsunami tingginya setinggi 3 pohon kelapa dan airnya sangat hitam," kenang Delisa.
Saat kejadian, Delisa terpisah dari ibu dan kakaknya.
Ia berhasil menyelamatkan diri dengan bantuan potongan kayu dan terbawa arus sejauh 8 kilometer ke Lamteumen, Banda Aceh, di mana ia dievakuasi oleh seorang warga bernama Pak Didi.
"Bapak Didi mengevakuasi dan merawat saya beberapa hari di rumahnya," katanya.
Pada hari kelima setelah tsunami, baru ada kabar bahwa RS Kesdam kedatangan bantuan tenaga medis.
Namun, sayangnya, kondisi kaki Delisa sudah mulai membusuk dan harus diamputasi.
"Allah maha baik dan penyayang. Ternyata ayah saya yang di Jakarta telah kembali ke Aceh pada hari kedua dan mencoba mencari kami. Allah maha baik, saya dipertemukan dengan ayah saya. Saya harus menjalani amputasi kaki sebanyak tiga kali. Alhamdulillah, kualitas kaki saya saat ini jauh lebih baik dan ringan," ungkapnya.
Meskipun Delisa telah menemukan kekuatan baru dalam hidupnya, ia masih merasakan kehilangan yang mendalam.
"Jasad ibu dan kakak saya sampai hari ini tidak dapat ditemukan. Namun, Allah maha baik. Saya mendapatkan pengganti ibu yang sama baiknya dengan ibu kandung saya. Ayah saya telah meninggal dunia tahun 2015," ucap Delisa dengan air mata yang menetes.
Delisa mengakui bahwa meskipun bencana gempa dan tsunami Aceh telah berlalu, ia masih dalam tahap pemulihan trauma.
"Ketika gempa terjadi, saya selalu merasakan di mana kakinya tidak dapat digerakkan dalam beberapa detik," katanya.
Ia juga menambahkan bahwa banyak korban lain yang masih memiliki trauma serupa dan bahkan belum berani pulang ke Aceh.
"Oleh karena itu, penanggulangan trauma sangat perlu diperhitungkan dalam mitigasi bencana agar semuanya bisa move on," tegas Delisa.
Ia berharap dengan berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang mitigasi bencana, dapat membantu orang lain yang mengalami situasi serupa.
"Oleh karena itu, penanggulangan trauma sangat perlu diperhitungkan dalam mitigasi bencana agar semuanya bisa move on," pungkasnya.