3.000 Jiwa Terimbas Aksi Blokade Warga di PT Agricinal Bengkulu
BENGKULU, KOMPAS.com - Sebanyak 3.000 karyawan dan keluarga PT Agricinal, terimbas aksi blokade yang dilakukan ratusan masyarakat di Kecamatan Putri Hijau, Bengkulu.
Blokade ini dimulai pada 6 November 2024 dan telah berlangsung selama 41 hari.
Masyarakat yang terlibat dalam aksi ini berasal dari Desa Pasar Sebelat, Talang Arah, Suka Negara, Suka Medan, dan Sukamerindu. Mereka tergabung dalam Forum Masyarakat Bumi Pekal (FMBP).
Mereka menuduh PT Agricinal melakukan kegiatan perkebunan kelapa sawit secara ilegal, dengan alasan perusahaan tidak memiliki dokumen Hak Guna Usaha (HGU) terbaru tahun 2020.
Pantauan Kompas.com, lima akses jalan menuju perkebunan ditutup dengan material koral, dan setiap pintu masuk dijaga masyarakat.
Manager Legal PT Agricinal, Afriyadi mengungkapkan, akibat blokade ini, sebanyak 828 karyawan dan 3.000 jiwa keluarga karyawan mengaku kesulitan.
"Sejak blokade, semua aktivitas perusahaan dan karyawan terganggu. Akses truk antar jemput anak sekolah juga terhambat, terutama di awal pemblokadean. Truk-truk diperiksa, jalan-jalan dipasang kawat berduri, dan ditumpuk koral," ungkap Afriyadi saat ditemui di PT Agricinal, Minggu (16/12/2023).
Selain mengganggu kegiatan sekolah, ribuan petani yang biasa menjual buah sawit ke pabrik perusahaan juga tidak dapat memasuki area tersebut.
"Kami memiliki ribuan petani mitra yang selama ini menjual buah sawit ke perusahaan kami. Karena diblokade, mereka terpaksa menjual ke tempat lain yang lebih jauh," jelasnya.
Ketua Kelompok Koperasi Petani Mitra PT Agricinal, Partono menambahkan, akibat blokade, biaya angkut untuk menjual buah sawit meningkat.
"Biasanya, biaya antar buah sawit ke PT Agricinal adalah Rp 500.000 per mobil L300 muatan 3 ton. Sekarang, akibat blokade, menjadi Rp 750.000," keluhnya.
Lebih lanjut, pasokan BBM solar yang biasa digunakan untuk penerangan dan kegiatan di perkebunan juga terhambat.
PT Agricinal biasanya membutuhkan 30.000 ton per bulan, namun saat ini hanya mampu mendapatkan 5 ton per bulan.
"Kami memasukkan BBM nekat-nekat saja," ungkap Afriyadi.
Pasokan gas untuk memasak juga terhambat, di mana karyawan harus memasukkan gas dengan cara dicicil, tidak berani menggunakan truk karena takut dicegat.
"Gas masuk ke perusahaan dengan cara dicicil, tak berani masuk truk karena akan dicegat," jelasnya.
Akibat blokade ini, 700 ton CPO hasil olahan perusahaan tidak dapat dijual.
"700 ton CPO kami tertahan dan tidak bisa keluar. Jika terus diblokade, kualitasnya akan menurun dan harga jualnya akan jatuh," keluhnya.
Blokade juga menyebabkan penundaan pembayaran gaji karyawan.
"Bagaimana mau membayar gaji jika CPO kami tidak bisa dijual. Kasihan sekali kondisi karyawan, padahal sebentar lagi akan Natal dan Tahun Baru," tambah Afriyadi.
Karyawan dan keluarganya juga mengalami tekanan psikis dan mental akibat intimidasi saat melintas di pos penjagaan.
"Psikis dan mental karyawan, anak-anak sangat terganggu," ungkapnya.
Meskipun ada mini market di dalam perkebunan yang menjual kebutuhan karyawan, itu tidak mencukupi kebutuhan basah seperti ikan, sayur, dan daging.
"Kami membeli sembako diam-diam dengan titip kepada karyawan yang tinggal di luar perusahaan lalu masuk lewat jalur alternatif," jelasnya.
Saukani, salah satu tokoh FMBP, mengakui bahwa pihaknya melakukan penjarahan buah sawit sebagai respons terhadap dugaan pencurian oleh perusahaan.
"Perusahaan yang maling karena mereka tidak menunjukkan legalitas dokumen HGU yang sah, diduga telah merugikan negara," sebut Saukani.
Saukani juga menegaskan bahwa aksi blokade yang dilakukan FMBP tidak mengganggu aktivitas karyawan.
"Kami hanya memblokade truk CPO, kalau kegiatan sekolah dan lainnya kami tidak larang," tegasnya.
Ramdani, Kepala Desa Talang Arah menambahkan, aksi blokade ini merupakan puncak kekecewaan warga atas ketidakmampuan perusahaan menunjukkan bukti asli dokumen HGU 2020.
"Jika mereka mampu menunjukkan dokumen HGU 2020 dan melakukan kegiatan secara transparan, kami dan warga akan taat dan membubarkan aksi blokade," tutup Ramdani.