5 Fakta Bareskrim Ungkap Puluhan Kasus Narkoba, Berton-ton Bukti Disita

5 Fakta Bareskrim Ungkap Puluhan Kasus Narkoba, Berton-ton Bukti Disita

Bareskrim Polri mengungkap 80 kasus peredaran gelap narkoba sepanjang September-Oktober 2024 dengan pelaku sebanyak 136 orang ditangkap. Dari pengungkapan tersebut, Bareskrim menyita berton-ton narkoba sebagai bukti.

Kabareskrim Polri, Komjen Wahyu Widada, menyebut pengungkapan itu merupakan upaya Asta Cita dari Presiden Prabowo Subianto, memperkuat reformasi politik, hukum dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi, narkoba dan penyelundupan. Pengungkapan kasus ini juga tindak lanjut arahan dari Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

"Menindaklanjuti arahan dari Bapak Presiden RI dan Bapak Kapolri tersebut, Bareskrim Polri bersama-sama dengan Polda jajaran dan instansi terkait dalam kurun waktu dua bulan telah melaksanakan joint operation pengungkapan 80 perkara yang di antaranya merupakan 3 jaringan narkoba internasional," kata Wahyu dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (1/11).

"Dari 80 perkara joint operation tersebut, sebanyak 136 orang tersangka yang diamankan," lanjut dia.

Jaringan narkoba yang diungkap di antaranya merupakan yang dikendalikan oleh gembong narkoba Fredy Pratama serta dua jaringan internasional lainnya, yaitu 1. Jaringan Fredy Pratama yang beroperasi pada 14 provinsi meliputi wilayah Sumatera Utara, Riau, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara.2. Jaringan Hendra Sabarudin yang beroperasi pada 5 provinsi meliputi wilayah Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Jawa Timur, dan Bali.3. Jaringan Helen yang dikendalikan oleh 3 bersaudara berinisial HDK, DS, dan TM, yang beroperasi pada Provinsi Jambi.

Dari para tangan pelaku, Bareskrim menyita barang bukti berupa sabu sebanyak 1,07 ton, ganja sebanyak 1,12 ton, serta ekstasi 357.731 butir. Ada juga pil happy five sebanyak 6.300 butir, ketamine 932,3 gram, double LL 127.000 butir, dan kokain 2,5 kg. Kemudian, tembakau sintetis 9.064 gram, hasish 25,5 kg, MDMA 4.110 gram, mepherdrone 8.157 butir, dan happy water sebanyak 2.974,9 gram.

"Apabila barang tersebut beredar di dalam masyarakat, maka jiwa yang berhasil diselamatkan sejumlah 6.261.329 jiwa," kata Komjen Wahyu.

Para tersangka tersebut diduga melanggar Pasal 114 ayat (2) subsider Pasal 112 ayat (2) jo 132 ayat (2) UU 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman hukuman pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 tahun dan paling lama 20 tahun.

"Dan Pasal 3 jo Pasal 10, Pasal 4 jo Pasal 10, Pasal 5 jo Pasal 10 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pasal 137 huruf a dan b UU 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terhadap pelaku aktif ancaman hukuman pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun," imbuhnya.

Polisi mengatakan perputaran uang ketiga sindikat dari bisnis haram itu diduga mencapai Rp 59,2 triliun. Terbesar perputaran uang jaringan yang dikendalikan Fredy Pratama.

"Perputaran uang di kasus narkoba ini cukup besar. Tapi ini perputaran uang secara keseluruhan mereka melakukan operasi," kata Komjen Wahyu.

Wahyu kemudian merinci perputaran uang jaringan narkoba internasional itu. Menurutnya, jaringan Fredy Pratama mencapai Rp 56 triliun.

"Jaringan FP ini (perputaran uangnya) sekitar Rp 56 triliun, jaringan HS Rp 2,1 triliun dan jaringan H Rp 1,1 triliun selama mereka beroperasi," kata Wahyu.

Wahyu menegaskan pihaknya berkomitmen untuk memberikan efek jera dengan memiskinkan para bandar. Polisi juga menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus ini.

"Untuk memberikan efek jera, upaya kita salah satunya adalah melaksanakan TPPU, melakukan asset tracing dan penyitaan terhadap aset-aset yang diperoleh dari perdagangan haram dengan istilah awamnya kita miskinkan para bandar bandar ini supaya tidak beroperasi lagi," ucap Wahyu.

Selain itu, polisi telah menyita aset dari tiga jaringan narkoba internasional itu. Jumlah aset yang disita senilai Rp 869,7 miliar.

"Total nilai aset yang berhasil disita dari tiga jaringan narkoba di atas sejumlah Rp 869,7 miliar," tambahnya.

Menurutnya, dengan begitu, para bandar tak memiliki kekuatan lagi untuk mengendalikan peredaran barang haram itu. "Karena kalaupun mereka ada dalam penjara, tetapi masih miliki uang, maka mereka masih memiliki potensi untuk melakukan pengendalian terhadap narkoba ini," imbuh dia.

Komjen Wahyu Widada mengungkap data pengguna narkoba di Indonesia. Wahyu mengatakan ada 3,3 juta pengguna narkoba di Indonesia. Wahyu mulanya memaparkan data tentang tingkat penyalahgunaan narkoba secara global dan tercatat ada 296 juta jiwa.

"Sedangkan untuk Indonesia sendiri, data prevalensi narkoba di Indonesia mencapai angka 3,33 juta atau sekitar 1,3 persen," ujar Wahyu.

Karena itu, menurut Wahyu, perlu ada upaya dalam memerangi peredaran narkoba di Tanah Air. Wahyu menekankan generasi muda di Indonesia perlu dilindungi dari bahaya paparan narkoba.

"Bagaimana kita bisa menciptakan environment yang baik untuk tumbuh dan berkembangnya anak-anak ini sehingga nanti memiliki kompetensi ke depan untuk menjadi tulang punggung, untuk menjadi penjuru bagi kemajuan republik Indonesia di masa yang akan datang," ucap Wahyu.

Tak hanya itu, Komjen Wahyu Widada akan memberantas seluruh kampung narkoba di Indonesia. Wahyu menargetkan kampung-kampung narkoba akan bersih dalam kurun 100 hari sebagai program kerja Polri.

"Terkait kampung narkoba kita sudah memiliki gambaran. Nanti secara teknis kita akan kerjakan dalam 100 hari program kerja Polri untuk bisa mengubah kampung ini bekerja sama dengan teman-teman," kata Wahyu.

Selain itu, Wahyu mengingatkan instruksi Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk memerangi dan menuntaskan penanganan masalah narkoba pada semua lini mulai dari hulu sampai hilir.

"Pemberantasan narkoba harus dilakukan tanpa henti dimulai dari sisi supply maupun sisi demand sehingga pemberantasan narkoba dapat dilakukan secara komprehensif," ujarnya.

Guna mencapai itu semua, Wahyu telah memberikan arahan khusus kepada jajaran polda di wilayah dan daerah perbatasan untuk melakukan pengawasan dan penindakan jaringan narkotika. Termasuk upaya mempersempit jalur masuk narkoba ke Indonesia baik peredaran melalui laut maupun darat.

"Tentu ini kita melakukan identifikasi, pintu-pintu masuknya sebagian besar sudah bisa kita identifikasi. Jalur masuk, baik melalui jalur laut maupun jalur darat," sebut Wahyu.

Wahyu menyebut Polri tidak bisa bekerja sendirian. Polri, lanjut dia, akan terus bekerja sama dengan Ditjen Bea Cukai untuk menghentikan masuknya narkotika ke Indonesia.

"Salah satunya adalah bekerja sama, kolaborasi. Kita bekerja sama dengan teman-teman BC, kita kadang-kadang menggunakan kapalnya BC, kita bekerja sama dengan teman-teman dari Baharkam yang memiliki polisi perairan dan udara, dan juga bekerja sama dengan polda-polda," imbuhnya.

Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Marthinus Hukom, menyebut ada sebanyak 900 kampung narkoba yang masih ada di Indonesia. Marthinus memaparkan sejumlah alasan sulitnya memutus peredaran narkoba di kawasan itu.

"Kalau kita berbicara tentang kampung narkoba ini, kita berbicara tentang permasalahan ada problem sosial yang terjadi di sana. BNN identifikasi itu lebih dari 900 kampung narkoba," kata Marthinus dalam kesempatan yang sama.

Martinus menyebut para bandar barang haram itu mencengkeramkan kakinya di sejumlah kampung narkoba dengan memanfaatkan situasi kondisi ekonomi masyarakat. Di mana mereka membuat masyarakat bergantung pada para bandar.

Menurut dia, ada hubungan yang kerap terjadi antara bandar dan masyarakat di kampung narkoba. Pertama adalah patron dan klien. Dalam hal ini, terdapat simbiosis mutualisme antara bandar dan masyarakat.

"Patron itu bandarnya, klien itu adalah masyarakat di situ. Kenapa ini terjadi, karena ada hubungan yang sebelumnya terjadi, yaitu hubungan simbiosis mutualisme, saling memberikan keuntungan," jelasnya.

"Para bandar ini menjual, memberikan, menghadirkan semacam solusi bagi masyarakat. Lalu masyarakat itu merasa bahwa ada solusi di sini dari problem-problem masyarakat yang mereka hadapi," tambah Martinus.

Kemudian, eks Kadensus 88 Antiteror Polri itu menjelaskan hubungan inti dan cangkang. Di mana patron itu menjadi inti dan masyarakat itu menjadi cangkang yang melindungi perbuatan ilegal para bandar.

"Makanya tidak aneh kalau Polri masuk ke situ, BNN masuk ke situ lalu dikeroyok," tuturnya.

Oleh karena itu, Marthinus menyebut pihaknya tengah berupaya mengurai hubungan-hubungan yang mungkin telah lama dilalui itu. Adapun caranya, menurut dia, yakni memisahkan masyarakat dengan para patron.

"Bagaimana memisahkannya, patronnya kita tangkap, kampung-kampung narkoba yang kita identifikasi, dan kita sedang konsen ke situ, terutama kepada yang kuat sekali cengkeramannya," sebutnya.

"Nah kampung-kampung ini yang harus kita mendekati dengan berbagai tantangan, pendekatan hukum, kemudian pendekatan ekonomi, kemudian pendekatan sosial, psikologi, dan termasuk bagaimana pendekatan pendidikan karena anak-anak dalam lingkungan itu sudah tereksploitasi oleh pengaruh-pengaruh tersebut," jelas Marthinus.

Sumber