5 Fakta Kematian Darso, Warga Semarang yang Diduga Dianiaya Polisi
SEMARANG, KOMPAS.com - Kematian Darso (43), warga Kampung Gilisari, Kelurahan Purwosari, Kecamatan Mijen, Kota Semarang, Jawa Tengah masih menyisakan banyak pertanyaan.
Meskipun polisi awalnya menyatakan bahwa luka lebam di tubuh korban disebabkan oleh benturan dengan pintu mobil, pihak keluarga meyakini bahwa Darso adalah korban penganiayaan.
Lantas apa yang sebenarnya terjadi?
Kronologi kejadian bermula pada 21 September 2024, ketika Darso dijemput oleh sekelompok orang dalam kondisi sehat ke sebuah tempat.
Beberapa jam kemudian, keluarga menerima kabar bahwa Darso dirawat di rumah sakit tak jauh dari tempat tinggalnya.
"Dijemput dalam kondisi sehat, pukul 14.00 dikabari jika suami saya di rumah sakit," ungkap Poniyem, istri korban.
Poniyem meyakini, suaminya menjadi korban penganiayaan oleh orang-orang yang datang ke rumah mereka.
Terlebih, selama dirawat di rumah sakit, Darso sempat mengaku dipukuli oleh mereka.
"Saya lihat ada luka lebam di kepala bagian pipi kanan," kata Poniyem.
Usai kejadian tersebut, keluarga korban juga ditawari uang damai sebesar Rp 25 juta dari pelaku.
Namun, keluarga korban menolak tawaran damai tersebut dan tetap melanjutkan proses hukum dengan melaporkan dugaan penganiayaan yang menyebabkan kematian itu ke Polda Jawa Tengah.
Kuasa hukum keluarga korban, Antoni Yudha Timor, mengungkapkan bahwa meskipun ada usaha damai, pihak keluarga merasa bahwa proses hukum harus tetap berjalan.
Mereka melaporkan dugaan penganiayaan yang mengakibatkan kematian sesuai dengan Pasal 355 ayat (2) KUHP juncto Pasal 170 ayat (2) dan ayat (3).
Antoni menambahkan bahwa laporan tersebut disertai bukti-bukti yang kuat, termasuk hasil rontgen dan kesaksian.
SHUTTERSTOCK/Herwin Bahar Ilustrasi polisi
Kuasa hukum korban menambahkan bahwa, sebelum korban meninggal, ada anggota polisi yang datang ke rumah korban.
"Datang menceritakan Pak Darso masuk rumah sakit karena terbentur pintu mobil," ungkap Antoni.
Menurut dia, apa yang disampaikan oleh anggota polisi tersebut cukup janggal dan belum terkonfirmasi kebenarannya.
"Itu kan statemen yang belum terkonfirmasi," ungkap dia.
Pihak keluarga korban mengaku kecewa karena polisi hanya menjelaskan kronologi bahwa Darsono hanya dibawa ke rumah pelaku lain, lalu kencing di jalan.
"Ya itu silakan lah masyarakat yang menilai," ungkap Antoni.
"Tidak adanya cerita tentang penganiyaan atau pemukulan dalam press rilis pihak kepolisian kami juga sangat kecewa," tambah dia.
Pada 21 September 2024, korban dijemput oleh oknum yang diduga anggota Satlantas Polrestabes Yogyakarta tanpa memperlihatkan surat tugas maupun surat penangkapan.
"Ditunjukkan pun tidak. Surat tugas, surat penangkapan tidak ada. Istrinya juga tak pernah menerima apa-apa," kata Antoni kepada Kompas.com.
Untuk itu, dia membantah adanya narasi yang menyebutkan bahwa para pelaku datang ke Kota Semarang untuk memberikan surat pemanggilan kepada korban.
"Kedatangan mereka ke Semarang yang katanya memberikan surat panggilan atau apa itu kami sayangkan karena sampai hari ini kami tidak menerima surat apa pun," katanya lagi.
Bahkan, korban juga tak pernah mendapatkan surat apa pun dari pihak kepolisian.
"Korban itu kan tak pernah menerima surat apa pun," ungkap Antoni.
Terpisah, irkrimum Polda Jawa Tengah, Kombes Pol Dwi Subagio, mengatakan bahwa saat ini sejumlah saksi terkait kasus tersebut sudah diperiksa.
"Ada yang sudah diperiksa," terang dia.
Selanjutnya, pihaknya akan melakukan ekshumasi jenazah atau pembongkaran kubur Darso (43), di Mijen, Kota Semarang.
"Besok Senin ekshumasi," tambah Dwi.