5 Juta Buruh Ancam Mogok Nasional, Tuntut Pemerintah Taati Putusan MK
JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal memperkirakan, jutaan buruh akan ikut mogok nasional, jika pemerintah tidak menaati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan uji materi Undang-Undang Cipta Kerja.
Mogok nasional ini rencananya akan diikuti serikat buruh dan jutaan anggotanya, yang rencananya akan digelar pada 19 November hingga 24 Desember 2024.
"Dan kami perkirakan 5 juta buruh akan ikut (mogok nasional) di seluruh Indonesia, di 15.000 pabrik," kata Said Iqbal dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (4/11/2024).
Ia menegaskan, serikat buruh tidak akan main-main saat melakukan unjuk rasa tersebut. Sebab, persoalan yang akan diangkat dalam unjuk rasa ini menyangkut kesejahteraan mereka.
"Kenapa sampai 5 juta, ya Anda bisa bayangkan, yang unjuk rasa misalnya dua pabrik, tapi kiri kanan ada 10 pabrik, ya ikut semua, itu secara otomatis ikut semua, orang mau bicara upah, apalagi upah mereka dibicarakan," jelasnya.
Untuk itu, guna mengantisipasi keamanan, pihaknya turut berkoordinasi dengan Polri.
Ia pun meminta Polri tidak represif dalam mengamankan aksi unjuk rasa serikat buruh itu.
"Kami mengimbau pihak keamanan tidak represif, lebih baik persuasif. Karena kami percaya Kepolisian Republik Indonesia selama ini persuasif, ya, cuma kan yang diminta pihak kepolisian atau keamanan biasanya damai, tertib, tidak merusak, tidak ada kekerasan," ungkap Presiden Partai Buruh ini.
Di sisi lain, ia juga mengimbau para buruh yang ikut aksi mogok nasional ini mengakhiri aksinya pada pukul 18.00 WIB.
Ia mengingatkan bahwa aksi ini adalah unjuk rasa, bukan mogok kerja.
"Dan aksi Mogok Nasional ini damai, tertib dan tidak ada kekerasan, karena dia unjuk rasa berarti nanti pukul 18.00 harus berhenti, enggak boleh lanjut. Kalau mogok kerja, nginap saja boleh, tapi kalau Mogok Nasional dalam bentuk unjuk rasa, dia harus berhenti, besok lanjut lagi," tutur Said.
Sebagai informasi, dalam putusannya, MK mengembalikan komponen hidup layak ke dalam struktur upah yang sebelumnya dilenyapkan dalam UU Cipta Kerja.
MK meminta pasal soal pengupahan harus "mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua".
Di sisi lain, MK juga meminta supaya struktur dan skala upah harus proporsional.
MK juga memperjelas frasa "indeks tertentu" dalam hal pengupahan sebagai "variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh".
MK pun menghidupkan kembali peran aktif dewan pengupahan dalam penentuan upah minimun serta mengembalikan adanya upah minimum sektoral.
Menurut Partai Buruh, putusan MK yang mengabulkan gugatan mereka itu membuat Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan (PP Pengupahan), yang membuat kenaikan upah minimum sangat kecil sejak UU Cipta Kerja berlaku, tidak dapat dijadikan acuan dalam penetapan upah minimum tahun 2025.
"Ketentuan mengenai nilai indeks tertentu yang sebelumnya ditetapkan sebesar 0,1 hingga 0,3, tidak lagi berlaku seiring dicabutnya Pasal 88D ayat 2 dalam Pasal 81 angka 28 UU Cipta Kerja. Besaran nilai indeks tertentu untuk upah minimum tahun 2025 harus dirundingkan dengan serikat pekerja," kata Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, kepada Kompas.com, Senin.
"Kenaikan upah minimum tahun 2025 diusulkan sebesar inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi, dengan usulan serikat pekerja bahwa nilai indeks tertentu (?) adalah sebesar 1,0 hingga 2,0. Lalu, Karena PP Pengupahan tidak lagi berlaku, maka tidak ada lagi batas bawah dan batas atas upah minimum," kata dia.