7 Profesor Kesehatan Surati Prabowo, Soroti Hubungan Tak Harmonis Menkes dan Organisasi Profesi
JAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak tujuh profesor di bidang kesehatan yang tergabung dalam Aliansi Ketahanan Kesehatan Bangsa mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto.
Mereka adalah Djohansjah Marzoeki, Sukman Tulus Putra, Menaldi Rasmin, Muchtaruddin Mansyur, Zainal Muttaqin, Andi Asadul Islam, dan Hardyanto Soebono.
Dalam surat terbuka itu, mereka menyinggung soal profil kesehatan masyarakat yang belum memuaskan dan ketidakharmonisan antara Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin dengan organisasi profesi (OP).
"Di pengujung tahun 2024, perkenankan kami dari Aliansi Ketahanan Kesehatan Bangsa ingin menyampaikan pandangan kami mengenai kondisi dunia kesehatan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Kami mencatat beberapa isu mendesak yang memerlukan perhatian segera," kata Aliansi mengawali surat terbukanya, dikutip Kompas.com, Rabu (1/1/2025).
Soal profil kesehatan, aliansi kesehatan memandang bahwa saat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan.
Di dalam negeri, Indonesia masih menghadapi penyakit menular yang belum terkendali dengan baik, seperti tuberkulosis, HIV/AIDS, malaria, dan demam berdarah.
Penanganannya belum menunjukkan hasil dan perbaikan yang signifikan.
Di sisi lain, prevalensi faktor risiko kardiovaskular dan penyakit metabolik seperti penyakit jantung dan diabetes terus meningkat dan belum menunjukkan hasil yang memuaskan.
Pada level regional, profil kesehatan Indonesia jauh tertinggal di tingkat ASEAN.
"Indonesia masih berada di 4 negara terbelakang di ASEAN dalam hal angka kematian bayi, angka kematian ibu, dan angka harapan hidup. Profil kesehatan yang lemah ini menjadi ancaman serius bagi ketahanan kesehatan bangsa," ucapnya.
Menurutnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terlalu fokus melaksanakan proyek-proyek mercusuar, seperti pengadaan ratusan laboratorium kateterisasi (cath-lab) dan proyek genomik, yang menggunakan dana pinjaman luar negeri.
Aliansi beranggapan, proyek ini lebih berorientasi pada domain kuratif dan mengabaikan domain promotif dan preventif yang seharusnya menjadi prioritas pembangunan kesehatan nasional.
Selain itu, proyek-proyek ini tidak mencerminkan keberpihakan pada persoalan kesehatan rakyat banyak dan lebih berorientasi serta menguntungkan kelompok tertentu.
"Jika proyek-proyek yang tidak pro-rakyat ini terus dilanjutkan, akan terjadi inefisiensi dan pemborosan sumber daya dengan target hasil yang tidak adekuat," ujarnya.
Aliansi lantas menyinggung ketidakharmonisan Menkes dan profesi kesehatan.
Mereka menanggapi bahwa telah terjadi disharmoni serius antara Menteri Kesehatan dengan organisasi profesi kesehatan dalam beberapa tahun terakhir, termasuk Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI), serta organisasi lainnya.
"Banyak penyebab disharmoni ini. Ketidakharmonisan ini mengakibatkan kurangnya komunikasi, kerja sama, dan inklusivitas antara kedua pihak, yang pada akhirnya menciptakan kondisi tidak kondusif bagi dunia kesehatan Indonesia," ungkapnya.
Mereka pun beranggapan, ketidakharmonisan dalam komunikasi antara Menteri Kesehatan dan para profesi kesehatan di Indonesia kerap menjadi sorotan.
Narasi yang terbangun di media sosial sering kali terkesan kurang mendukung dan menyudutkan profesi kesehatan.
Hal ini, lanjutnya, menciptakan kesan seolah-olah terdapat jarak signifikan antara menteri dengan profesi kesehatan.
Jika situasi ini terus berlanjut, program-program kesehatan tidak akan dapat berjalan dengan baik dan sukses, mengingat organisasi profesi adalah pemangku kepentingan utama dalam pembangunan kesehatan Indonesia.
"Tanpa keterlibatan optimal organisasi profesi, program kesehatan yang direncanakan akan sulit memperoleh hasil maksimal," katanya.
Tak cuma itu, Kemenkes dianggap mencampuri urusan yang seharusnya menjadi ranah organisasi profesi.
Mereka menilai, Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dibuat tanpa melibatkan organisasi profesi yang sah.
Lebih lanjut, aliansi berpandangan terjadi krisis kepemimpinan.
"Dalam beberapa tahun terakhir, kepemimpinan bidang kesehatan dipegang oleh pejabat yang tidak memiliki wawasan maupun pengalaman adekuat di bidang kesehatan. Hal ini berdampak pada pola komunikasi yang kurang efektif serta kebijakan yang tidak menyentuh substansi utama persoalan kesehatan," ucapnya.
Oleh karena itu, tujuh profesor ini mengusulkan agar Presiden dapat meninjau dan merevisi program-program serta kebijakan yang tidak pro-rakyat ini.
Juga mempertimbangkan adanya kepemimpinan berbasis profesionalisme dan keahlian dalam bidang ini.
"Semoga usulan ini dapat menjadi masukan berharga dan menginspirasi langkah konstruktif bagi Bapak Presiden untuk menangani berbagai isu krusial ini," katanya.