Abainya Polisi yang Berulang hingga Nyawa Melayang
AWAL 2025 ini, tepatnya Kamis (2/1) dini hari, terjadi penembakan yang menewaskan IAR, pemilik rental mobil, dan melukai rekannya berinisial RAB di rest area tol Jakarta-Merak.
RAB saat itu sedang mengejar mobil milik rentalnya yang diduga dibawa lari oleh penyewa.
Dengan berbekal penelusuran dari GPS, IAR sebenarnya sudah berhasil mendapatkan keberadaan mobil tersebut.
Namun, karena orang yang sedang menguasai kendaraan tersebut memiliki senjata api, IAR beserta anak dan tim dari sesama komunitas rental mobil kemudian melaporkan situasi tersebut ke Polsek Cinangka.
Alih-alih menindaklanjuti, petugas piket Polsek, yang sebelumnya sudah berkonsultasi dengan Kapolsek, justru mengabaikan informasi tersebut.
Kapolsek Cinangka, AKP Asep Iwan Kurniawan berkilah pihaknya tidak menindaklanjuti informasi tersebut karena tidak ditunjukkan BPKB kendaraan.
Menurut anak IAR yang turut mendampingi ayahnya saat itu, pihak Polsek justru menyarankan mereka untuk mengejar sendiri mobil tersebut lalu kemudian membawanya ke Polsek untuk diproses.
Akibatnya fatal, upaya IAR mendapatkan kembali mobilnya justru berujung penembakan terhadap dirinya dan rekannya. IAR tewas setelah coba dilarikan ke RSUD Balaraja pascatertembak.
Fakta di atas menunjukkan aparat Polsek tersebut terlalu prosedural. Adanya informasi soal senjata api seharusnya sudah cukup sebagai dasar kepolisian bertindak selaku pihak yang bertanggung jawab utama atas keamanan.
Bukan malah terlalu fokus pada penggelapan kendaraan sehingga menjadikan dasar surat-surat sebagai alasan mereka untuk bergerak.
Adanya orang bersenjata api tentu menjadi ancaman bagi masyarakat. Dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 tahun 2009 maupun Nomor 8 tahun 2009 petugas Polri diberikan kewenangan melakukan tindakan tegas, termasuk menggunakan senjata api, apabila ada pihak yang membahayakan keselamatan jiwa masyarakat maupun petugas.
Meski tidak semua masyarakat memahami peraturan tersebut, namun kedatangan tim IAR ke Polsek Cinangka sebenarnya menunjukkan kepercayaan tinggi dari masyarakat bahwa pihak kepolisian bisa melindungi mereka dari gangguan keamanan terutama dari mereka yang menggunakan senjata api atau senjata tajam.
Kepercayaan tersebut nyatanya tidak dibalas dengan tindakan yang sesuai harapan masyarakat.
Dengan demikian, mengacu penjelasan Kapolsek, kita bisa melihat bahwa Kepolisian terlalu prosedural dan tidak bisa membaca kegentingan situasi keamanan.
Internal kepolisian perlu memeriksa secara mendalam personel mereka atas pengabaian informasi. Bahkan, jika dikaitkan dengan hukum pidana, pengabaian bisa dianggap sebagai suatu kelalaian yang mengakibatkan meninggalnya orang sesuai yang diatur pada Pasal 359 KUHP.
Peristiwa ini menambah catatan pengabaian polisi atas informasi, bahkan laporan yang dibuat oleh masyarakat.
Pertengahan tahun 2024, kita masih ingat seorang pemilik rental mobil dengan kisah yang sama, yakni sedang mencari unit mobil yang digelapkan penyewanya, meninggal dunia setelah dikeroyok oleh warga di Pati, Jawa Tengah.
Pemilik rental bahkan sudah pernah membuat laporan hilangnya mobil tersebut ke Polres Jakarta Timur hingga akhirnya dirinya memilih untuk mencari sendiri karena merasa penanganannya cukup lambat.
Selain terkait penggelapan mobil rental, akhir tahun 2023 lalu, kita masih ingat adanya empat orang anak di Jagakarsa, Jakarta, yang meninggal dunia karena dibunuh oleh ayahnya.
Ironisnya, beberapa hari sebelum peristiwa tersebut, ayahnya sudah dilaporkan oleh sang istri ke Polsek Jagakarsa.
Namun, aparat Polsek tidak mengambil langkah lanjutan, seperti memeriksa terlapor dan mengamankan anak-anaknya, sehingga terjadi peristiwa lain, yaitu pembunuhan terhadap empat orang anak yang disertai upaya bunuh diri oleh pelaku.
Mundur beberapa bulan sebelumnya, ibu di Bekasi menjadi korban meninggal KDRT yang dilakukan oleh suaminya sendiri.
Mirip peristiwa Jagakarsa, ibu di Bekasi ini sebelumnya juga pernah melaporkan dugaan KDRT, tapi oleh pihak kepolisian justru dimediasi.
Tentunya masih banyak contoh pengabaian polisi atas informasi, bahkan laporan polisi yang mereka terima.
Hal ini mengecewakan bagi masyarakat yang pastinya memiliki harapan tinggi atas kehadiran polisi di masyarakat. Harapan tersebut diwujudkan dalam aksi nyata berupa pelaporan kepolisian, atau bahkan sekadar pemberian informasi kepada polisi.
Peristiwa Bekasi, peristiwa Jagakarsa, peristiwa Pati, dan yang terakhir peristiwa di rest Area KM 45 tol Jakarta-Merak seharusnya bisa menjadi pembelajaran bagi Polri untuk mengevaluasi tindak lanjut atas laporan atau informasi dari masyarakat.
Bagaimana seorang petugas piket, termasuk Kapolsek, bisa menilai mana yang genting dan mana yang harus prosedural.
Apalagi bukan rahasia lagi bahwa laporan kehilangan kendaraan bermotor seringkali hanya berhenti di pelaporan.
Tindak lanjut berupa pencarian kendaraan dan pengungkapan jaringan pencuri kendaraan bermotor relatif minim jika dibandingkan jumlah pelaporan pencurian kendaraan bermotor.
Tidak sedikit petugas SPKT yang mengira orang yang melaporkan pencurian kendaraan hanya membutuhkan surat kehilangan untuk mengurus asuransi atau leasing sehingga mengabaikan tindak lanjut berupa pengungkapan perkara.
Tidak heran kasus pencurian kendaraan bermotor masih terus terjadi, bahkan di wilayah-wilayah tertentu, seperti menjadi rutinitas. Situasi ini tentunya karena tidak ada pengungkapan serius atas pelaporan kehilangan kendaraan bermotor.
Evaluasi di internal Kepolisian menjadi mendesak sehingga tidak ada lagi pengabaian yang berujung peristiwa pidana lain, apalagi sampai hilangnya nyawa.