Ada 2.900 Kampung Narkoba: Bebas Narkoba atau Narkoba Bebas di Indonesia?

Ada 2.900 Kampung Narkoba: Bebas Narkoba atau Narkoba Bebas di Indonesia?

PEPATAH yang mengatakan "di mana ada gula di situ pasti ada semut" memang sangat relevan pada situasi saat ini.

Pepatah tersebut mencerminkan realitas bahwa di tempat di mana ada keuntungan yang besar, seperti dalam peredaran narkoba, pasti akan ada banyak pihak yang tertarik, termasuk di antara mereka yang seharusnya menjaga keamanan.

Dengan kata lain, meskipun polisi seharusnya menjadi benteng pertahanan terhadap peredaran narkoba, kenyataan pahitnya, bisa jadi ada oknum yang terlibat karena godaan keuntungan dunia gelap narkoba.

Ini menyoroti pentingnya pengawasan internal yang ketat dan reformasi dalam institusi penegak hukum untuk memerangi masalah ini secara efektif.

Indonesia kini berada di ambang krisis yang sangat mengkhawatirkan. Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo mengungkapkan fakta mengejutkan. Ada sekitar 2.900 kampung narkoba tersebar di seluruh negeri.

Peredaran narkoba di Indonesia telah mencapai titik darurat. Ancaman nyata kini berada di depan mata.

Penangkapan Aiptu Arif Susilo, seorang anggota Polres Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, yang diduga menjadi pengendali jaringan pengedar narkoba, hanyalah puncak gunung es dari masalah besar yang kita hadapi.

Temuan ini menunjukkan betapa dalamnya jeratan narkoba di struktur masyarakat kita, termasuk di dalam institusi Polri yang seharusnya menjadi benteng pertahanan kita melawan peredaran narkoba.

Ironinya, orang-orang yang seharusnya melindungi masyarakat justru terlibat dalam peredaran narkoba.

Mungkin, tidak salah jika penulis mengungkapkan bahwa kondisi ini bak "harapkan pagar, pagar makan tanaman." Situasi ini menggambarkan dengan tepat bagaimana pihak yang seharusnya melindungi masyarakat justru berperan sebagai ancaman.

Dalam konteks ini, terlalu naif jika kita hanya menyebut adanya oknum anggota kepolisian yang terlibat. Masalah ini cukup parah dan lebih kompleks, karena tampaknya terlalu banyak oknum yang bermasalah di dalam institusi penegak hukum.

Mereka yang seharusnya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat malah terjerumus dalam praktik peredaran narkoba.

Hal ini tidak hanya menciptakan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat, tetapi juga mengkhianati amanah dan tanggung jawab yang diemban.

Ketika aparat penegak hukum terlibat dalam tindakan ilegal, dampaknya sangat merusak, karena kepercayaan publik terhadap institusi tersebut akan terkikis.

Dalam situasi kritis seperti ini, diperlukan langkah-langkah reformasi yang serius untuk membersihkan institusi dari oknum-oknum yang merusak serta memastikan bahwa mereka yang diberi mandat untuk menjaga keamanan benar-benar bertindak sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan integritas.

Kasus Aiptu Arif Susilo yang diduga menjadi pengendali jaringan narkoba di tubuh kepolisian menyoroti kelemahan dalam pengawasan internal kepolisian dan menuntut evaluasi serta perbaikan menyeluruh dalam sistem tersebut.

Kapolda Jawa Timur telah menyatakan akan menindak tegas anggota yang terlibat. Namun, pertanyaannya adalah, apakah kita benar-benar percaya bahwa tindakan tegas ini akan mampu mengubah situasi?

Tanpa adanya reformasi struktural yang mendasar, upaya tersebut hanya akan menjadi tonggak sementara yang tidak menyentuh akar masalah.

Adanya 2.900 kampung narkoba di Indonesia merupakan kenyataan yang sangat memprihatinkan. Kita seakan terpaksa menerima kenyataan pahit ini.

Narkoba telah menyebar tidak hanya di kota-kota besar, tetapi juga hingga ke pelosok negeri perbatasan negara. Kondisi ini menciptakan tantangan serius bagi masyarakat.

Upaya untuk mengubah 90 kampung narkoba menjadi kampung bebas narkoba adalah langkah awal yang baik, tapi itu hanyalah sebutir pasir di tengah lautan masalah.

Kondisi ini menuntut kita untuk merenungkan kembali strategi yang diterapkan dalam perang melawan narkoba.

Untuk memberantas seluruh 2.900 kampung tersebut, kita memerlukan strategi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan.

Pendekatan holistik, melibatkan kolaborasi antara pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat, sangat penting untuk menciptakan perubahan nyata.

Tanpa adanya tindakan terintegrasi dan berkelanjutan, upaya yang dilakukan hanya akan menjadi langkah sementara yang tidak menyentuh akar permasalahan.

Pertanyaannya adalah, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengubah kampung narkoba tersebut menjadi kampung bebas narkoba jika penanganannya tetap stagnan?

Memasukkan kurikulum anti-narkoba di sekolah-sekolah adalah langkah preventif yang sangat diperlukan. Generasi muda harus diberikan pemahaman tentang bahaya narkoba sejak dini, dan program ini harus dilaksanakan dengan serius dan konsisten.

Kampanye penyuluhan yang menempelkan stiker imbauan anti-narkoba di tempat-tempat yang berpotensi digunakan untuk transaksi narkoba harus diikuti dengan tindakan nyata, bukan sekadar formalitas belaka yang meraup pundi-pundi rupiah.

Penulis sangat mengapresiasi kinerja Polri yang berhasil menangkap 3.965 tersangka dan mengungkap 3.608 perkara narkoba dalam waktu hanya satu bulan. Prestasi ini mencerminkan komitmen tinggi dalam memberantas peredaran narkoba di Tanah Air.

Barang bukti yang berhasil diamankan, termasuk 1,19 ton sabu dan 1,19 ton ganja, menunjukkan betapa seriusnya ancaman ini dan dampaknya terhadap masyarakat.

Keberhasilan ini bukan sekadar angka, tetapi juga langkah signifikan dalam melindungi generasi muda dari jeratan narkoba.

Namun, pencapaian ini harus dijadikan momentum untuk terus meningkatkan upaya pemberantasan narkoba di masa depan.

Diperlukan kolaborasi lebih erat dengan berbagai kementerian dan lembaga terkait untuk menciptakan strategi komprehensif dan berkelanjutan.

Kita akui bahwa biaya terkait perang terhadap narkoba sangat besar, dengan perputaran dana pencucian uang narkotika mencapai Rp 99 triliun dari tahun 2022 hingga 2024.

Oleh karena itu, kita perlu memikirkan solusi ekonomis dan efektif untuk menangani masalah ini, tanpa mengorbankan integritas dan efektivitas upaya pemberantasan narkoba.

Dengan 3,3 juta pengguna narkoba yang didominasi oleh remaja berusia 15 hingga 24 tahun, penting bagi kita untuk menanamkan kesadaran akan bahaya narkoba pada generasi muda.

Anak-anak muda harus disadarkan bahwa narkoba bukan solusi, melainkan ancaman yang dapat menghancurkan masa depan mereka.

Kita tidak bisa hanya mengandalkan aparat penegak hukum; seluruh lapisan masyarakat harus aktif berpartisipasi dalam pemberantasan narkoba.

Dengan tekad dan usaha bersama, kita dapat mewujudkan masa depan Indonesia yang lebih cerah dan bebas dari ancaman narkoba. Kita tidak boleh menjadi bangsa yang kalah dalam perang melawan narkoba. Mari berjuang bersama demi Indonesia yang lebih baik!

Sebagai masyarakat, kita memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya mengutuk, tetapi juga mendukung setiap upaya dalam pemberantasan narkoba.

Mari kita menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar penonton pasif. Indonesia yang bebas dari narkoba adalah Indonesia lebih sehat, kuat, dan sejahtera bagi semua. Untuk itu, semuanya berawal dari kita, kita yang menentukan masa depan Indonesia.

Indonesia bebas narkoba atau narkoba bebas di Indonesia? Pilihan ada di tangan kita. Mari kita ambil peran aktif dan berkontribusi untuk mewujudkan masa depan yang lebih cerah bagi generasi mendatang.

Sumber