Ada Kesenjangan Vonis, Ketua KPK Sebut Pedoman Pemidanaan Kasus Korupsi Belum Diikuti Hakim

Ada Kesenjangan Vonis, Ketua KPK Sebut Pedoman Pemidanaan Kasus Korupsi Belum Diikuti Hakim

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango menyebut, masih terdapat banyak putusan pengadilan yang tidak merujuk pada Pedoman Pemidanaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020.

Adapun Perma itu mengatur tentang pemidanaan pelanggaran Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

Pernyataan ini Nawawi sampaikan ketika menjadi narasumber dalam Seminar Nasional Hari Anti-Korupsi Sedunia 2024 yang digelar Mahkamah Agung (MA).

“Kita menghitungnya mulai dari 2020 sampai 2024 itu masih nampak di sana sini sejumlah perbedaan yang tidak merujuk pada pedoman pemidanaan Perma 1/2020 ini,” kata Nawawi sebagaimana dikutip dari YouTube MA, Senin (9/12/2024).

Nawawi mengatakan, Tim Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) memiliki salah satu aksi yang memonitor dan mengevaluasi (monev) terhadap pelaksanaan Perma Nomor 1 Tahun 2020.

Pelaksanaan pedoman pemidanaan ini menjadi penting untuk menutup celah korupsi dalam disparitas (tidak seragam) putusan pengadilan terkait kasus korupsi.

“Mengurangi peluang korupsi yudisial dengan membatasi diskresi dalam membatasi besaran hukuman agar tidak terjadi hukuman yang sewenang-wenang,” ujar Nawawi.

Nawawi mencontohkan, kesenjangan putusan pengadilan tindak pidana korupsi terjadi antara kasus di Jakarta dan di Bandung.

Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pernah mengadili kasus Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar yang menerima suap dari Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah.

Akil dituntut 8 tahun penjara dan kemudian dihukum 6 tahun penjara.

Nawawi lantas membandingkan dengan kasus yang mirip di Bandung ketika ia masih menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Bandung.

Saat itu, terdapat eks Wakil Ketua PN Bandung yang didakwa menerima suap dari Wali Kota Bandung. Hakim itu kemudian dituntut 13 tahun penjara dan kemudian dihukum 12 tahun penjara.

Menurut Nawawi, disparitas ini terjadi bukan hanya di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.

“Pada tingkat Mahkamah Agung kami masih melihat bahwa pelaksanaan secara konsisten daripada perma ini belum sepenuhnya merujuk,” tutur Nawawi.

Sumber