AFSI Minta Regulasi Bunga Pinjaman Online Dibedakan untuk P2P Lending Syariah
Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI) meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membuat regulasi manfaat ekonomi atau bunga pinjaman khusus yang mengatur P2P lending syariah.
Ketua Umum AFSI Ronald Yusuf Wijaya menjelaskan saat ini aturan bunga pinjaman P2P lending masih disamakan antara P2P lending konvensional dan syariah. Aturan tersebut diatur dalam Surat Edaran OJK (SE OJK) Nomor 19/SEOJK.06/2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI).
"Kalau syariah itu kan konsepnya bagi hasil. Kalau proyeknya itu hasilnya besar, bagi hasil harus lebih besar dong. Prinsip keadilan harus lebih ditegakkan. Ini yang sama-sama kita perjuangkan saat ini," kata Ronald saat ditemui usai acara Bulan Fintech Nasional di Kasablanka Mall Jakarta, Senin (11/11/2024).
Dia mengatakan AFSI sudah komunikasi dengan OJK membahas masukan tersebut. Ronald mengatakan, ketentuan dalam POJK 19/2023 tersebut yang menurutnya akan berdampak positif bagi industri adalah pembedaan bunga pinjaman untuk sektor konsumtif dan produktif.
Seperti diketahui, SE OJK tersebut mengamatkan batas maksimum manfaat ekonomi pinjaman online untuk pendanaan sektor produktif mulai 1 Januari 2026 nanti akan menjadi 0,067% per hari kalender, dari mulanya 0,1% yang berlaku sejak 1 Januari 2024.
Sementara itu, batas maksimum manfaat ekonomi untuk pendanaan sektor konsumtif yang sejak 1 Januari 2024 sebesar 0,3%, menjadi 0,2% per hari kalender mulai 1 Januari 2025, kemudian mejadi 0,1% per hari kalender mulai 1 Januari 2026.
"Yang konsumtif jelas itu harus dibatasi karena khawatir ada yang compete dengan yang ilegal, masyarakat tidak bisa membedakan dengan yang ilegal. Namun yang produktif, beda sektor beda margin. Kalau di-charge terlalu tinggi pun orang juga kabur, kalau yang bagus. Lagi-lagi ini sebuah pendewasaan indutstri," tegas Ronald.
Regulasi lainnya yang AFSI apresiasi adalah ketentuan yang mewajibkan server penyelenggara fintech harus berada di Indonesia. Apalagi, Ronald melihat saat ini banyak investor asing mulai tertarik berinvestasi di industri fintech syariah dalam negeri.
"Kita paham bahwa sentimen saat ini banyak perusahaan luar ke Indonesia untuk dapat data base kita. Kita coba pastikan, mereka memang butuh market tapi apa manfaatnya bagi user kita," pungkasnya.