Agustinus Wibowo, Perjalanan Mencari Identitas Hingga Garis Batas
Sepanjang 14 tahun, Agustinus Wibowo telah merilis lima buku; Selimut Debu, Garis Batas, Titik Nol, Jalan Panjang untuk Pulang, serta Kita dan Mereka. Penulis sekaligus fotografer perjalanan ini, kerap mendokumentasikan perjalanannya yang ’tak lazim’ melalui rute panjang di negara-negara tak terjamah. Tak hanya bercerita tentang keindahan lanskap, buku-buku Agustinus juga sarat perenungan, terutama tentang kontemplasi identitas.
Bukan tanpa sebab, sejak kecil Agustinus memang selalu mempertanyakan siapa dirinya. Sebagai keturunan Tionghoa yang tumbuh di masa Orde Baru, ia menjalani hidup di antara identitas yang sering kali saling berbenturan.
"Pertanyaan itu selalu ada, Siapa saya? Apakah saya orang Indonesia? Apakah saya orang Tionghoa? Dan apa artinya itu semua?" kenang Agustinus di program Sosok detikcom (28/10/2024).
Agustinus menuturkan, di masa Orde Baru ia akrab dengan imbauan untuk berasimilasi, bahkan ‘melupakan’ sejarah leluhurnya. Semua itu demi tujuan agar keturunan Tionghoa dapat ‘menjadi warga Indonesia seutuhnya’, meski Agustinus tak benar-benar mengerti apa maksudnya.
"Di jalan, saya sering diejek, dipanggil ‘Cina’," ujar Agustinus Wibowo, suaranya bergetar sejenak.
"Itu membuat saya bingung. Kalau saya benar-benar orang Indonesia, kenapa saya harus diingatkan terus-menerus bahwa saya Cina?" lanjutnya.
Demi menemukan siapa dirinya, Agustinus memulai dengan berkuliah di Beijing, China. Berangkat dengan ekspektasi bahwa ia akan ‘pulang kampung’ ke tanah leluhur, Agustinus heran, di sana ia justru merasa sangat Indonesia.
"Karena secara fisik saya nggak ada bedanya dengan mereka, tapi saya justru mau menunjukkan Indonesia saya, gitu. Jadi saya pakai batik, ke kampus, pakai sarung, pakai songkok Indonesia," kenang Agustinus.
Pengalaman tersebut yang menyadarkan Agustinus, bahwa identitas tidak sesederhana garis batas di peta. Baginya, identitas terus berubah, dibentuk oleh sejarah, kondisi geopolitik, dan pengalaman hidup.
Selepas lulus kuliah, Agustinus pun melanjutkan perjalanan backpacking ke negara-negara lain. Masih dengan tujuan mencari jati diri, ia berkelana ke Tibet, lalu lanjut ke Nepal, India, Pakistan, Afghanistan, Iran, hingga ke negeri-negeri Stan lainnya di Asia Tengah.
Selama berkelana, Agustinus merasakan perubahan dalam dirinya. Berinteraksi dengan warga lokal dan hidup seperti mereka, membuat Agustinus belajar untuk lebih rendah hati.
"Saya menyadari, untuk benar-benar memahami siapa diri saya, saya harus meluruhkan ego saya. Ketika saya berada di negara asing, saya bukan siapa-siapa. Saya bukan orang Indonesia, bukan orang China, saya hanya seorang pengelana yang bergantung pada kebaikan orang asing," jelasnya.
Lebih lanjut, Agustinus juga belajar untuk lebih menghargai perbedaan. la menyadari bahwa terlepas dari perbedaan yang ada, semua orang pada dasarnya adalah manusia.
"Kita mungkin berbeda dalam banyak hal, tetapi pada intinya, kita semua manusia. Kita semua menangis untuk alasan yang sama, kita tertawa untuk hal-hal yang sama," tuturnya.
Perjalanan panjang Agustinus Wibowo tidak hanya mengajarkannya tentang dunia luar, tetapi juga tentang dunia batinnya sendiri. Pada akhirnya ia menemukan, bahwa ia tidak harus memilih antara Tionghoa dan Indonesia. Lewat perjalanan, penulisan dan refleksi, akhirnya bisa disimpulkan bahwa identitas adalah sesuatu yang terus berkembang, dan dalam penemuan itu, ia menemukan kebebasan.
"Saya bisa menjadi keduanya. Saya bisa menjadi orang Tionghoa, dan juga menjadi orang Indonesia. Itu tidak perlu menjadi konflik," pungkasnya, lugas.