Amnesia Sosial di Balik Wacana Pilkada lewat DPRD

Amnesia Sosial di Balik Wacana Pilkada lewat DPRD

PERDEBATAN mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung dan tidak langsung kembali mencuat pascapenyelenggaraan Pilkada 2024 yang dinilai carut marut.

Meski kedua metode tersebut sah secara konstitusional, dinamika politik saat ini memicu preferensi terhadap model tertentu.

Harus diakui bahwa Indonesia pasca-Reformasi tengah berupaya menciptakan sistem demokrasi yang lebih partisipatif.

Salah satu perwujudannya adalah pemilihan kepala daerah secara langsung. Prinsip ini sejalan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan kedaulatan rakyat.

Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tidak khusus menyebutkan pemilihan umum secara langsung. Namun, pemilihan umum secara langsung, menurut Aminuddin (2013), dianggap sebagai cara paling efektif untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dan memastikan kepala daerah memiliki legitimasi kuat.

Usulan untuk kembali menggunakan sistem perwakilan via Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam Pilkada dilontarkan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto saat HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul, Bogor, Kamis, 12 Desember 2024.

Dalam pidatonya, Prabowo menyebut biaya Pilkada (gubernur, wali kota/bupati) terbilang cukup fantastis sehingga perlu ditekan agar dapat dialokasikan untuk kebutuhan rakyat.

Pilkada 2024 tercatat sebagai pesta demokrasi lokal dengan biaya paling tinggi. Mengutip data Kementerian Keuangan per 20 September 2024, anggaran Pilkada Serentak 2024 yang dialokasikan pemerintah sebesar Rp 37,43 triliun.

Di antara beragam respons publik, tentu saja ada yang menyambut baik wacana ini, tak sedikit pula yang mengkritik, bahkan menolak usulan tersebut.

Sudah menjadi kenyataan bahwa bangsa kita tengah mengalami kelupaan kolektif atas sejarahnya yang panjang dan kompleks.

Hal ini menjelaskan mengapa, meski sudah lebih dari dua dasawarsa era Reformasi berlalu, pandangan dan pola politik era Orde Baru masih begitu dominan dalam pemikiran masyarakat negeri ini.

Dampaknya kini tampak jelas, kita tengah menyaksikan gejala yang memprihatinkan, yakni betapa piciknya perspektif sejarah sejumlah anak bangsa di negeri ini, termasuk sejumlah elite kita saat dihadapkan tantangan yang mempertaruhkan masa depan demokrasi Indonesia.

Fenomena demikian, jika meminjam istilah profesor sejarah di Universitas California di Los Angeles, Russell Jacoby (1975), disebut sebagai kondisi "Amnesia Sosial". Terminologi yang diciptakan untuk mengingat apa yang hilang dalam memori kolektif masyarakat.

Sederhananya, amnesia sosial merupakan suatu kondisi di mana masyarakat secara kolektif melupakan peristiwa-peristiwa penting dalam sejarahnya.

Fenomena ini dapat disebabkan berbagai faktor, seperti represi yang disengaja, ketidakpedulian, dan perubahan situasi sosial.

Harus diakui, munculnya isu Pilkada lewat DPRD merupakan residu imbas pelaksanaan Pilkada 2024 yang dianggap bermasalah. Di sisi lain, faktor "Amnesia Sosial" berpengaruh dalam bergulirnya isu tersebut.

Pasalnya, sistem pemilihan melalui perwakilan bukan solusi untuk mengurangi biaya demokrasi yang fantastis, justru akan membuat politik transaksional di kalangan elite semakin menjamur dan mendorong tumbuh suburnya politik kartel yang ujungnya berimplikasi pada praktik-praktik koruptif karena jauh dari kontrol masyarakat.

Sejarah mencatat, pasca-Reformasi 1998, terjadi pergeseran signifikan dalam dinamika kekuasaan di Indonesia. Tuntutan desentralisasi yang kuat mendorong terjadinya transisi dari sistem pemerintahan yang terpusat menuju sistem lebih otonom.

Salah satu manifestasi dari desentralisasi ini adalah pelaksanaan Pilkada secara langsung.

Pelaksanaan Pilkada tidak langsung sebelumnya seringkali diwarnai praktik-praktik koruptif dan rendahnya transparansi akibat dugaan "kongkalikong" antara DPRD dengan calon kepala daerah. Hal ini memicu ketidakpuasan publik dan tuntutan untuk mengubah sistem pemilihan kepala daerah.

Buah hasil dari tuntutan itu, akhirnya disahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur penyelenggaraan Pilkada langsung.

Kendati begitu, berdasarkan catatan sejarah, pemilihan kepala daerah atau Pilkada yang melibatkan partisipasi rakyat baru dilaksanakan 7 tahun setelahnya, yakni pada 2005.

Pada 2014, kepala daerah sempat kembali diputuskan dipilih melalui perwakilan DPRD. Namun, aturan ini tak terlaksana setelah Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono membuat beleid yang membatalkan keputusan tersebut.

Sejak itu, yakni Pilkada 2015, Pilkada 2017, Pilkada 2018, Pilkada 2020, hingga Pilkada 2024 terus digelar secara langsung.

Namun, hal ini tidak serta merta mengubah cara pandang sebagian elite terhadap masa lalu mereka. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa penerapan sistem pemilihan langsung, baik di tingkat nasional maupun daerah merupakan respons terhadap praktik politik oligarkis yang berlaku pada masa Orde Baru.

Barangkali elite politik kita lupa bahwa sistem pemilihan langsung setidaknya dapat mendemokratisasi proses pengambilan keputusan politik dengan memberikan lebih banyak kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi langsung dalam memilih pemimpin mereka.

Usulan untuk kembali ke pemilihan tidak langsung tampaknya mengabaikan pelajaran yang dipetik dari rezim otoriter Orde Baru.

Sungguh membingungkan sejumlah elite politik yang pernah memperjuangkan demokrasi, kini mengadvokasi sistem yang sangat mirip dengan sistem yang mereka perjuangkan dengan keras untuk digulingkan (Orde Baru).

Amnesia yang tampak tentang masa lalu menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip demokrasi.

Dalam situasi seperti ini, bukankah berlebihan jika dikatakan bahwa elite politik saat ini terjebak amnesia sosial dengan mengusung Pilkada tidak langsung?

Jika alasan utama Pilkada langsung adalah memakan biaya terlalu mahal, partai politik harus mengubah pendekatannya kepada pemilih.

Biasanya, partai politik hanya hadir di tengah masyarakat pada masa-masa kampanye. Proses pendekatan yang terbatas pada masa kampanye menyebabkan partai politik mengambil jalur alternatif, yaitu pelaksanaan politik transaksional untuk membeli suara pemilih.

Kemudian masalah biaya kampanye yang tinggi. Di sini, biaya politik meningkat karena kandidat tidak berinvestasi di masyarakat jauh-jauh hari.

Ketika momen elektoral, mereka "jor-joran" mengeluarkan biaya besar, mulai dari perlengkapan kampanye, penyelenggaraan acara besar, hingga biaya operasional tim pemenangan.

Belum lagi biaya besar yang harus dikeluarkan seorang kandidat untuk mendapatkan kendaraan politik (partai politik). Hal ini biasanya dilakukan dalam bentuk perhitungan jumlah kursi partai di DPRD yang dikonversikan ke dalam sejumlah rupiah tertentu.

Kemudian, pelaksanaan Pilkada langsung membutuhkan syarat tingkat kesiapan masyarakat. Indikator kesiapan yang relevan antara lain Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang memadai.

Tanpa landasan tersebut, akan sulit untuk menyelenggarakan pemilu berkualitas. Oleh karena itu, reformasi pendidikan kewarganegaraan oleh partai politik sangat dibutuhkan.

Kegagalan untuk melakukannya berisiko mengubah demokrasi menjadi mekanisme yang mahal, tetapi kurang efektif.

Terlepas perdebatan dua sistem mana yang lebih baik, mengembalikan proses Pilkada ke DPRD belum tentu ada jaminan akan semakin murah dan efektif.

Dibanding mengusung wacana tersebut, lebih baik mengevaulasi secara komprehensif proses Pilkada langsung guna semakin demokratis dan efisien kedepan.

Sumber