Anak-Anak di Jambi Olah Kotoran Gajah Jadi Pupuk, Tanam Bibit Pohon untuk Atasi Konflik Manusia-Gajah

Anak-Anak di Jambi Olah Kotoran Gajah Jadi Pupuk, Tanam Bibit Pohon untuk Atasi Konflik Manusia-Gajah

JAMBI, KOMPAS.com – Sebanyak tiga siswa sekolah dasar terlihat asyik mencampur kotoran gajah dengan rumput dan dedaunan. Mereka sedang membuat pupuk kompos di SDN 067 Desa Muaro Sekalo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi.

Pupuk itu digunakan Alfurqon, salah satu siswa, untuk merawat bibit pohon endemik seperti kuduk biawak, kasai, bedaro, dan tampoi. Bibit-bibit tersebut dirawat di pusat pembibitan sekolah.

Sekolah ini mengadopsi Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) sebagai mata pelajaran muatan lokal. Anak-anak sejak dini diajarkan mengenali masalah lingkungan dan mencari solusinya.

"Pohon-pohon ini kalau sudah besar bisa berbuah sepanjang tahun. Buahnya bisa jadi makanan satwa, termasuk gajah," kata Alfurqon di sekolahnya, Kamis (18/12/2024).

Bibit pohon itu akan ditanam di hutan sekolah seluas 2.500 meter persegi. Hutan sekolah ini berada di kawasan yang sebelumnya terdegradasi karena diubah menjadi kebun sawit.

Perubahan tersebut memicu konflik manusia dan gajah. Data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi mencatat, konflik itu menyebabkan tiga gajah dan satu petani tewas sepanjang 2024.Suwandi/KOMPAS.com Anak-anak sedang menganyam rumbia untuk dibuat tikar di SDN 067 Desa Muaro Sekalo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi Kamis (18/12/2024)

Konflik Manusia dan Gajah

Supriyanto, guru Pendidikan Lingkungan Hidup di SDN 067, mengatakan konflik manusia-gajah berpotensi menimbulkan trauma bagi anak-anak.

"Kita tanamkan rasa cinta terhadap gajah. Mulai dengan mengenalkan bahwa kotorannya saja bisa jadi pupuk dan berguna untuk tanaman," ujarnya.

Menurutnya, stigma gajah sebagai hama tidak sepenuhnya benar. Anak-anak diajarkan memahami dampak hilangnya tutupan hutan, seperti gajah kehilangan sumber makanan.

Anak-anak kemudian bergotong royong membuat pembibitan pohon endemik dan menanamnya di hutan sekolah. Pohon-pohon ini diharapkan dapat menghasilkan buah untuk makanan gajah.

Pembelajaran di sekolah ini tidak hanya fokus pada ekosistem hutan dan konflik manusia-gajah. Anak-anak juga diajarkan aspek sosial, ekonomi, dan budaya agar bisa berkontribusi pada masyarakat.

"Mereka juga menanam sayur dalam pot, membibitkan ikan, dan merawat apotek hidup seperti jahe merah, kunyit, kencur, dan tanaman obat lainnya," kata Supriyanto.

 

Belajar Kearifan Lokal

Dua siswa dengan pakaian hitam mempraktikkan jurus silat kampung. Silat ini menjadi bagian dari cara sekolah menyambut tamu penting.

Selain itu, anak-anak belajar mengayam rumbia menjadi tikar, membuat ambung dan kunju, serta memainkan alat musik kelintang kayu. Semua ini diajarkan langsung oleh maestro tradisi seperti Nyai Minah dan Kasah.

Namun, kedua maestro itu telah tiada. Anak-anak di sekolah ini menjadi generasi terakhir yang mewarisi kesenian tersebut.

Sekolah juga menerapkan kantin tanpa plastik. Penjual makanan dilarang menggunakan plastik sebagai pembungkus. Langkah ini menjaga kebersihan lingkungan sekolah dari sampah plastik.

Kepala Sekolah SDN 067, Sarjoni, mengatakan Pendidikan Lingkungan Hidup membuka peluang kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah desa dan World Wildlife Fund (WWF) Indonesia.

"Kita mendapatkan elemen pembelajaran, termasuk buku Pendidikan Lingkungan Hidup dari WWF Indonesia, lalu disesuaikan dengan kurikulum," ujar Sarjoni.

Program ini bertujuan mengenalkan masalah lingkungan sekitar kepada siswa dan mendorong kreativitas mereka untuk menghadapi tantangan.

Dalam jangka panjang, siswa diharapkan menjadi agen perubahan yang mampu hidup berdampingan dengan satwa dan melestarikan lingkungan.

 

Sumber