Anak Muda Desa Rentan Terpapar Ideologi Ekstrem, BNPT Diminta Juga Hadir di Pelosok

Anak Muda Desa Rentan Terpapar Ideologi Ekstrem, BNPT Diminta Juga Hadir di Pelosok

KENDAL, KOMPAS.com - Jauh dari pusat pemerintahan dan kota provinsi, warga Desa Sukorejo, Kendal, Jawa Tengah, merasa rentan terhadap penyusupan ideologi anti Pancasila yang ekstrem.

Hal ini disampaikan oleh Agus Prayitno (32), seorang pemuda di desa yang terletak di pegunungan Dieng.

“Jujur, anak muda itu gampang tersesat. Bahasanya ya. Karena mereka kekurangan pemahaman tentang agama. Kemudian, ketika belajar agama, kebanyakan rata-rata ada yang salah,” ujar Agus saat ditemui di Balai Desa Sukorejo, Kendal, pada Jumat (13/12/2024).

Pernyataan Agus disampaikan setelah mengikuti acara diskusi dengan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) yang mengunjungi desanya untuk meninjau program Desa Siapsiaga yang telah berjalan sejak pertengahan 2024.

Dalam kesempatan itu, Agus meminta kepada Ketua BNPT, Komjen Pol Eddy Hartono, agar kegiatan penguatan ideologi untuk anak muda tidak hanya dilakukan di pusat kota.

“Setelah saya cari tahu, ternyata kegiatan BNPT ini (soal) kepemudaan, itu rata-rata hanya di provinsi atau di pusat, Pak. Padahal, kita yang di desa-desa ini, yang di akar rumput ini yang lebih penting, Pak,” kata Agus kepada Eddy dan jajarannya.

Agus mengaku baru mengetahui tentang BNPT ketika ditunjuk sebagai salah satu penggerak masyarakat di desanya.

Meskipun tidak menemukan kejanggalan, Agus menyatakan bahwa anak-anak di desa lebih mudah terpapar paham radikalisme.

Sebagai fasilitator sosialisasi, Agus menerima materi untuk menangkal radikalisme, termasuk cara mencegah penyusupan ideologis ekstrem melalui media digital.

“Media sosial itu tidak terbatas. Gampang semua orang bisa masuk. Gampang orang itu bisa membaca artikel. (Penyusupan) itu biasanya lebih sering lewat media sosial,” jelas Agus.

Namun, Agus menggarisbawahi bahwa materi terkait pencegahan penyusup melalui dunia digital masih belum lengkap.

“Belum ada (bimtek khusus dunia digital). Paling (warga diberitahu untuk) menghindari dari, kalau ada share kayak video perang, video tentang kekerasan, itu dihindari,” imbuhnya.

Sejak ditunjuk sebagai fasilitator, Agus telah mulai mendatangi rumah-rumah warga di kecamatan Sukorejo yang terdiri dari 9 RW dan 68 RT sejak Maret 2024.

Agus dan penggerak masyarakat lainnya secara aktif menyosialisasikan cara mengenali terorisme.

“Terorisme itu tidak bisa hanya dilihat dari fisiknya, kemudian dari cara mereka berpakaian. Karena, terorisme itu kita lihat dari pola pikirnya mereka yang radikal,” lanjut Agus.

Agus menambahkan bahwa salah satu ciri warga yang mungkin terpapar paham radikal adalah perbedaan pola pikir dan tabiat.

“Pola pikirnya mereka yang jelas tidak mau berbaur dengan masyarakat pada umumnya. Mereka menolak kegiatan-kegiatan nasionalis seperti upacara bendera dan kegiatan warga lainnya,” jelasnya.

Meskipun Agus mengaku tidak mengetahui secara pasti ada tidaknya warga terpapar radikalisme di desanya, ia menyatakan bahwa beberapa warga enggan aktif dalam program BNPT.

Namun, Agus berpendapat bahwa ketidakaktifan tersebut bisa jadi disebabkan oleh kurangnya ketertarikan terhadap program yang ada.

Desa Sukorejo merupakan salah satu dari 50 desa di lima provinsi di Indonesia yang dilibatkan dalam program Desa Siapsiaga.

Program ini merupakan salah satu dari tujuh program prioritas BNPT untuk mencegah terjadinya tindak pidana terorisme di Indonesia, sesuai dengan amanat UU No.5 tahun 2018 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.

Untuk mendukung keberlangsungan program ini, para tokoh masyarakat dari Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung dilatih melalui bimbingan teknis (bimtek) yang dilakukan pada Mei-Juni 2024.

Setelah mendapatkan pembekalan, para tokoh masyarakat ini kembali ke desa masing-masing untuk melakukan sosialisasi kepada warga mengenai ciri-ciri orang yang diduga terlibat dalam jaringan teroris dan kiat-kiat untuk mencegah diri terjaring golongan ekstrem.

Sumber