Ancang-ancang Perlawanan Tom Lembong Lewat Praperadilan
Tampaknya mulai ada kabar perlawanan dari mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong atas status tersangkanya. Dia sudah menghembuskan kabar bahwa ada rencana menggugat praperadilan.
Tom Lembong diketahui ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi impor gula tahun 2015-2016 saat masih menjadi Mendag. Hal ini diungkap oleh pengacaranya, Ari Yusuf Amir.
"Saat ini kami sudah semenjak ditunjuk kuasa kami sudah mengumpulkan bahan-bahan untuk melakukan upaya praperadilan ini," kata Ari dalam konferensi pers di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (4/11/2024).
Yusuf merasa keberatan atas penahanan yang dilakukan kepada Tom Lembong. Dia mempertanyakan dua alat bukti kepada penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung).
"Dan itu harus dijelaskan kepada si tersangka ‘ini bukti-bukti awal kamu sebagai tersangka’. Makanya Mahkamah Konstitusi dalam putusan itu menyebutkan bahwa ini bisa dilakukan praperadilan," ujarnya.
"Nah oleh karena hal-hal tersebut, kami sudah kumpulkan kami sudah rundingkan kami akan pertimbangkan secara serius untuk mengajukan praperadilan," tambah dia.
Selain itu, Yusuf menduga masih ada pihak lain yang terlibat dalam kasus ini. Dia menyebut hal itu dikarenakan penyidikan berjalan pada periode 2015 hingga 2023.
"Contoh di situ disebutkan dalam suratnya itu penyidikan 2015-2023. Dalam suratnya itu disebutkan proses ini kaitan dengan impor gula 2015 sampai dengan 2023 Artinya apa? Artinya ada tersangka yang lain bakal nih," katanya.
Kejagung telah memeriksa Tom Lembong, Jumat lalu, usai ditetapkan sebagai tersangka. Kejagung mencecar Tom Lembong terkait kasus korupsi tersebut saat dirinya masih menjabat sebagai Menteri Perdagangan.
"Untuk Pak Tom lembong kemarin hari Jumat telah dilakukan pemeriksaan dan yang bersangkutan kita mintai keterangan utamanya terkait tugas fungsi, kaitannya terkait kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada saat beliau menjabat," kata Dirdik Jampidsus Kejagung Abdul Qohar kepada wartawan, Minggu (3/11/2024).
Abdul Qohar menyebut pihaknya membuka peluang untuk memeriksa kembali Tom Lembong jika masih diperlukan. Dia meminta semua pihak menghormati proses hukum yang berjalan.
"Kemudian apakah masih diperlukan keterangan lagi pada yang bersangkutan, kita lihat urgensinya. Ketika penyidik masih membutuhkan keterangannya, maka kita akan kita undang. Begitu juga sebaliknya, bila penyidik menyatakan bahwa keterangan sudah cukup tentu tidak kami panggil lagi," kata dia.
"Bagaimana proses berikutnya? Saya minta kita hormati bersama-sama asas praduga tidak bersalah, kita ikuti nanti sama-sama di sidang pengadilan bagaimana pelaksanaannya dan apakah keputusannya," imbuhnya.
Baca selengkapnya di halaman selanjutnya..
Tom Lembong diperiksa selama kurang lebih 10 jam. Dia diklarifikasi terkait surat kebijakan impor gula.
"Jadi, tadi masih ditunjukkan tentang surat-surat yang dibuat oleh Pak Tom, ya ada beberapa surat yang dibuat oleh Pak Tom, dan surat-surat yang masuk ke Pak Tom juga, dari PT PPI, surat yang dibuat Pak Tom ke BUMN," ujar pengacara Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, kepada wartawan, Jumat (1/11/2024).
Ari menuturkan surat terkait kebijakan itu dikeluarkan Tom Lembong sesuai dengan prosedurnya. Termasuk dilaporkan secara berjenjang mulai dari menko perekonomian.
"Sudah diproses dari bawah, sehingga sampai ke beliau, beliau tinggal menyetujui menandatangani gitu. Dan itu pun surat tersebut semuanya itu sudah dilaporkan ke menko-nya dalam rapat-rapat koordinasi, gitu," ungkap dia.
"Jadi, semuanya prosesnya tidak ada yang salah, prosesnya sudah diikuti dengan benar," lanjut Ari.
Lebih jauh, dia menyebut surat yang masuk ke kliennya saat menjabat sebagai menteri perdagangan 2015-2016 merupakan lanjutan dari menteri sebelumnya.
"Pak Tom itu, kan, menjabat lanjutan, kan, dari menteri sebelumnya. Nah, jadi me-refer surat menteri sebelumnya, makanya Pak Tom tetap merapatkan dengan staf-stafnya yang tahu rencana awal dari menteri sebelumnya supaya kelanjutannya," ucap dia.
"Dan tentunya keinginan Pak Tom mengeluarkan kebijakan tentunya berdasarkan good governance, artinya pemerintahan yang baik, administrasinya juga benar," sambungnya.
Kasus dugaan korupsi dalam impor gula pada 2015-2016 ini baru menjerat dua tersangka. Keduanya adalah Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan 2015-2016 dan Charles Sitorus selaku mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI)
Dalam kasus ini ada beberapa istilah yang harus dipahami, yaitu gula kristal mentah (GKM), gula kristal rafinasi (GKR), dan gula kristal putih (GKP). Mudahnya, GKM dan GKR adalah gula yang dipakai untuk proses produksi, sedangkan GKP dapat dikonsumsi langsung.
Berdasarkan aturan yang diteken Tom Lembong sendiri saat menjadi Mendag, hanya BUMN yang diizinkan melakukan impor GKP, itu pun harus sesuai kebutuhan dalam negeri yang disepakati dalam rapat koordinasi antarkementerian serta dalam rangka mengendalikan ketersediaan dan kestabilan harga GKP.
Sedangkan dalam perkara ini–pada 2016 Indonesia mengalami kekurangan stok GKP–seharusnya bisa dilakukan impor GKP oleh BUMN. Namun, menurut jaksa, Tom Lembong malah memberikan izin ke perusahaan-perusahaan swasta untuk mengimpor GKM, yang kemudian diolah menjadi GKP.
Sedangkan dalam perkara ini–pada 2016 Indonesia mengalami kekurangan stok GKP–seharusnya bisa dilakukan impor GKP oleh BUMN. Namun, menurut jaksa, Tom Lembong malah memberikan izin ke perusahaan-perusahaan swasta untuk mengimpor GKM, yang kemudian diolah menjadi GKP.
Jaksa mengatakan Tom Lembong menekan surat penugasan ke PT PPI untuk bekerja sama dengan swasta mengolah GKM impor itu menjadi GKP. Total ada sembilan perusahaan swasta yang disebutkan, yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, PT MSI, dan terakhir PT KTM.
Setelah perusahaan swasta itu mengolah GKM menjadi GKP, PT PPI seolah-olah membelinya. Padahal yang terjadi, menurut jaksa, GKP itu dijual langsung oleh perusahaan-perusahaan swasta itu ke masyarakat melalui distributor dengan angka Rp 3.000 lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET).