Anggota DPR Kritik Putusan MK soal TNI-Polri Bisa Dipidana Jika Terlibat Cawe-Cawe Pilkada

Anggota DPR Kritik Putusan MK soal TNI-Polri Bisa Dipidana Jika Terlibat Cawe-Cawe Pilkada

JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi II DPR RI Ahmad Irawan mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan nomor 136/PUU-XXII/2024 yang meminta penambahan frasa "TNI/Polri" dan "pejabat daerah" dalam Pasal 188 UU Pilkada Nomor 1 Tahun 2015.

Dengan putusan itu, maka anggota TNI-Polri bisa terkena sanksi pidana jika terlibat politik praktis atau menguntungkan salah satu pihak dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).

“Saya tentu kaget dan bertanya-tanya dengan substansi yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan menambahkan frasa dan memasukkan subjek hukum baru dalam ketentuan pidana,” ujar Ahmad dalam keterangan, Senin (18/11/2024).

Baginya, MK sudah masuk terlalu jauh dalam kebijakan pemidanaan. Sebab, MK menambah subjek hukum baru dalam undang-undang tersebut.

Padahal dalam Pasal 188 Undang-Undang Pilkada Nomor 1 Tahun 2015, subjek yang dapat dipidana adalah setiap pejabat negara, aparatur sipil negara, kepala desa atau lurah.

“MK telah terlalu jauh dalam kebijakan hukum pemidanaan (criminal policy). Meskipun, apa yang diputus oleh MK sebangun dengan perasaan yang ada di parlemen dan di publik mengenai pentingnya netralitas pejabat (negara/daerah) dan TNI/Polri,” paparnya.

Ahmad menyebutkan, putusan ini menunjukkan bahwa MK telah melanggar prinsip konstitusionalisme yang paling mendasar mengenai separation of power atau pemisahan kekuasaan dan doktrin judicial restraint serta judicial consistency.

“Kan sudah jelas bahwa Mahkamah Konstitusi tidak boleh masuk kebijakan pemidanaan atau politik pemidanaan yang menyangkut norma pemidanaan. Bahkan MK sendiri pernah mengatakannya. Kenapa MK sering kali berubah dan terkini berubah lagi?” paparnya.

Selain itu, Ahmad menyampaikan bahwa undang-undang pemilu telah mengatur adanya jenis pelanggaran dan kejahatan.

Artinya, tidak semua pelanggaran mesti dijatuhi sanksi pidana.

“Bisa saja itu pelanggaran administrasi yang berujung pada pembatalan peserta pemilihan, kode etik berujung pada sanksi pemecatan, pelanggaran, pemilihan atau pelanggaran lain,” tuturnya.

Terakhir, ia menekankan penambahan subjek hukum baru dalam sebuah undang-undang mestinya menjadi urusan pembuat undang-undang, bukan MK.

Maka, Ahmad meminta MK menahan diri untuk tidak mengambil semua porsi dalam uji materi sebuah undang-undang.

“Jika ada kelemahan mengenai subjek hukum baru, maka pembentuk undang-undang bisa melakukan perubahan dan membuat norma baru,” imbuh dia.

Sumber