Anggota DPRD Curiga Pelantikan 305 Pejabat Pemprov Jakarta Ada Kepentingan Politik
JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota DPRD Fraksi PDI-P, Dwi Rio Sambodo menilai, pelantikan 305 pejabat eselon III dan IV di lingkungan Pemprov Jakarta menimbulkan kecurigaan berkaitan dengan politisasi bantuan sosial (bansos).
Pasalnya, pelantikan para pejabat Pemprov itu digelar menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) Jakarta 2024.
"Jika demikian, ada dugaan kuat hal ini berkaitan dengan motif politisasi pendistribusian bantuan sosial (bansos) kepada warga untuk Pilkada Jakarta 2024 mendatang," ujar Dwi Rio dalam keterangannya, Jumat (15/11/2024).
Dwi Rio mengatakan, berdasarkan aturan disebutkan bahwa mutasi tanpa persetujuan Kementrian Dalam Negeri merupakan tindak pidana.
Aturan itu merujuk pada Pasal 80 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
"Disebutkan bahwa pejabat pemerintahan yang terbukti menyalahgunakan wewenang dapat dikenakan sanksi administrasi berat," imbuhnya.
Administrasi berat itu, berupa pemberhentian tetap tanpa memperoleh fasilitas apapun.
"Mutasi tanpa persetujuan Kemendagri merupakan tindakan pidana. Jikalau ada izin juga menurut saya aneh," kata Dwi Rio.
Dwi Rio menuturkan, bukti pelantikan itu sudah cukup kuat untuk Pusat Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menelusuri dugaan kepentingan politik ini.
"Penelusuran melalui pengecekan alur bukti transaksi para pejabat di lingkungan Pemprov Jakarta. Apalagi sekarang sudah membutuhkan konektivitas antara pelaksana, perencana, pembahasan, penyusunan maupun penetapan anggaran," jelasnya.
Larangan kepala daerah merotasi anak buahnya menjelang Pilkada itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada.
Ada dua pasal, yakni Pasal 71 ayat (2) dan 162 ayat (3) dalam undang-undang tersebut yang melarang setiap kepala daerah merotasi pejabat menjelang pelaksanaan kontestasi politik daerah, termasuk di Jakarta.
Pasal 71 ayat (2) berbunyi "Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggatian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri".
"Jadi (larangan merotasi pejabat itu) enam bulan sebelum penetapan pasangan calon (kepala daerah), bukan enam bulan sebelum pencoblosan," kata Sakhroji. Sementara itu, Pasal 162 ayat (3) berbunyi "Gubernur, Bupati, atau Walikota yang akan melakukan penggantian pejabat di lingkungan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota, dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung tanggal pelantikan harus mendapatkan persetujuan tertulis dari menteri".
Dengan demikian, kepala daerah atau penjabat kepala daerah yang melakukan mutasi pejabat menjelang Pilkada 2024 berpotensi akan disanksi pidana, sebagaimana yang tertuang pada Pasal 190 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Pasal 190 berbunyi "Pejabat yang melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (2) atau Pasal 162 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 600.000 atau paling banyak Rp 6.000.000".