Anomali APBN 2025: Target Penerimaan Pajak Karyawan Melesat, Setoran Korporasi Menyusut
Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah menerbitkan rincian APBN 2025, di antaranya berisi bahwa target penerimaan PPh Pasal 21 atau pajak karyawan naik hingga 45%.
Hal itu tercantum dalam Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 201/2024 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2025 yang diundangkan pada akhir pekan lalu, Sabtu (30/11/2024).
Pemerintah mematok penerimaan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 atau pajak karyawan senilai Rp313,5 triliun pada 2025. Angka itu naik Rp98,3 triliun atau 45,6% dari target PPh 21 pada 2024 senilai Rp215,2 triliun.
Kenaikan target pajak karyawan itu sejalan dengan total sasaran penerimaan pajak dalam negeri 2025 senilai Rp2.433 triliun, yang naik 8,9% (year on year/YoY) dari target 2024 senilai Rp2.234,9 triliun.
Rupanya, kondisi berbeda terjadi pada target penerimaan PPh Pasal 25/29 Badan. Pemerintah mendesain target penerimaan pajak korporasi untuk turun Rp58,6 triliun atau 13,6% (YoY), yakni dari Rp428,59 triliun pada 2024 menjadi Rp369,95 triliun pada 2025.
Pajak korporasi tetap ditargetkan sebagai sumber penerimaan PPh terbesar pada 2025 dan di posisi kedua terdapat target penerimaan PPh dari pajak karyawan. Adapun, total target pendapatan PPh dari seluruh lini pada 2025 adalah Rp1.209 triliun, naik dari tahun sebelumnya senilai Rp1.139 triliun.
Apabila dicermati, target penerimaan pajak karyawan bukan hanya naik dari sisi nominal saja, tetapi juga proporsinya terhadap target PPh.
Porsi pajak karyawan terhadap total target PPh naik dari 18,8% pada 2024 menjadi 25,9% pada 2025. Sementara itu, porsi pajak korporasi justru turun dari 37,6% pada 2024 menjadi 30,5% pada 2025.
Dari sumber lainnya, pemerintah mematok target pajak pertambahan nilai (PPN), baik dari dalam negeri maupun impor, mencapai Rp917,79 triliun pada 2025, ketika tarif PPN 12% akan berlaku.
Tertulis bahwa pemerintah menargetkan penerimaan pajak konsumsi 2025 yang terdiri dari PPN Dalam Negeri senilai Rp609,04 triliun dan PPN Impor senilai Rp308,74 triliun. Alhasil, totalnya mencapai Rp917,79 triliun.
Rupanya, rencana penerimaan PPN 2025 itu naik 18,2% dibandingkan target PPN tahun ini yang totalnya Rp776,2 triliun.
Dalam Perpres 76/2023 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2024, pemerintah menargetkan PPN Dalam Negeri tahun ini mencapai Rp493,3 triliun dan penerimaan PPN Impor senilai Rp282,9 triliun.
Artinya, target penerimaan PPN Dalam Negeri 2025 naik 23,4% dari tahun sebelumnya, sedangkan target PPN Impor 2025 naik 9,1%. Target itu dipatok sejalan dengan rencana pemerintah memberlakukan PPN 12% mulai 1 Januari 2025.
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono menilai bahwa kenaikan target PPh 21 hingga 45% tidak lepas dari implementasi Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Terdapat dua aspek utama yang bisa meningkatkan penerimaan pajak pekerja, yakni perluasan objek PPh 21 berupa imbalan natura dan/atau kenikmatan, dan penambahan tarif progresif PPh 21 yang mencapai 35% untuk lapisan tertinggi penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar.
"Dari dua aspek di atas, imbalan natura/kenikmatan bagi top level management di perusahaan dapat dikenakan tarif 35%. Dengan demikian, peningkatan PPh 21-nya akan dapat signifikan," ujar Prianto kepada Bisnis, Kamis (5/12/2024).
Prianto yang juga Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute menilai bahwa kenaikan upah minimum atau UMP tidak akan terlalu berpengaruh signifikan terhadap penerimaan PPh 21 atau pajak karyawan. Alasannya, mereka ada di lapisan tarif PPh 21 terbawah.
Bahkan, masih banyak wilayah dengan upah minimum yang masih berada di bawah batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP), sehingga meskipun mereka memiliki penghasilan UMP tetap tidak harus membayar PPh.
"Pekerja yang menikmati kenaikan UMP tersebut secara umum ada di level tarif 5%. Sebagian lagi kenaikan tersebut harus terkena tarif 15%," ujar Prianto.
Adapun, terkait turunnya target penerimaan pajak korporasi, dia meyakini ada kaitannya dengan harga komoditas yang tidak stabil sehingga memengaruhi profitabilitas dunia usaha. Konflik geopolitik yang cenderung meluas, menurutnya, membuat prospek penerimaan pada 2025 masih diliputi ketidakpastian.
Selain itu, Prianto juga menilai ada faktor perilaku oportunistik pengusaha untuk melakukan efisiensi beban perusahaan, yang turut memengaruhi setoran pajak korporasi atau PPh Badan.
"Salah satu beban tersebut adalah beban pajak. Caranya [untuk melakukan efisiensi] beragam, dan salah satunya adalah aggressive tax planning untuk transaksi lintas negara," ujarnya.
Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto menilai bahwa perluasan lapangan kerja disertai peningkatan serapan tenaga kerja akan turut memengaruhi setoran PPh 21. Peningkatan penghasilan para karyawan berarti menambah setoran pajaknya.
"Bisa jadi, kenaikan target PPh Pasal 21 menggambarkan optimisme pemerintah pada hal tersebut. Jika hal itu benar, maka saya menduga ada beberapa kebijakan yang jadi pendorongnya," ujar Wahyu kepada Bisnis.
Menurutnya, kenaikan UMP dan gaji aparatur sipil negara (ASN), termasuk kenaikan gaji guru seperti yang dijanjikan oleh Presiden Prabowo Subianto, akan turut meningkatkan setoran PPh 21.
Dia juga menilai bahwa perluasan basis pajak setelah berlakunya Coretax System akan membawa efek positif bagi penerimaan PPh.
"Karena besarnya pengaruh aspek ekonomi terhadap penerimaan PPh Pasal 21, maka penting bagi pemerintah untuk memastikan stabilitas kegiatan ekonomi," ujar Wahyu.