Anomali Nyogok Demi Anak Masuk Sekolah Negeri

Anomali Nyogok Demi Anak Masuk Sekolah Negeri

Temuan terkait masalah pendaftaran peserta didik baru (PPDB) diungkap oleh Ombudsman. Ada fenomena soal orang tua rela menyogok agar anaknya masuk sekolah negeri.

Ombudsman mengatakan telah melakukan pengawasan mengenai PPDB sejak 2020. Temuan ini akan menjadi masukan untuk stakeholder terkait.

"Ombudsman sudah melakukan pengawasan PPDB sebetulnya sudah lama, jika melihat sejarahnya tahun 2017 sistem zonasi PPDB ini diberlakukan antara lain karena kajian Ombudsman juga, dan sejak tahun 2020 kami melakukan pengawasan setiap tahun, dan setiap tahun kami memberikan laporan dan masukan kepada seluruh stakeholder terkait," ujar anggota Ombudsman, Indraza Marzuki Rais, saat memaparkan Hasil Kajian Pengawasan Penyelenggaraan PPDB di gedung Ombudsman, Jakarta, Kamis (12/12/2024).

Indraza berharap hasil pengawasan yang dipaparkannya dilihat sebagai masukan dan solusi agar PPDB lebih komprehensif dan detail. Dia juga berharap hasil kajian Ombudsman ini betul-betul dipertimbangkan pemerintah agar masalah PPDB ini tidak menjadi masalah musiman lagi.

"Kami sayangkan selalu PPDB yang hanya muncul Juni-Agustus, sesudah itu kita lupa lagi nanti menjelang ajaran tahun baru akan berulang lagi, dan ada kehebohan lagi. Karena itu kami berharap hasil pengawasan ini bisa memberikan salah satu inside bagi seluruh stakeholder terkait untuk bisa mengevaluasi lebih dalam mengenai pelaksanaan PPDB, sebelum memutuskan apakah harus diubah, dihapus, atau dilanjutkan," katanya.

Indraza mengatakan Ombudsman melakukan metode analisis dan pengumpulan data untuk mengetahui masalah PPDB. Pengumpulan data dilakukan pada Maret-Oktober 2024.

Dia menjelaskan, masalah PPDB ditemukan di tiga tahapan PPDB, yakni Pra-PPDB, pelaksanaan PPDB, dan Pasca-PPDB. Semua masalah ditemukan di seleksi zonasi, afirmasi, prestasi, dan perpindahan tugas orang tua.

Indraza mengatakan, sejak 2022 hingga 2024, Ombudsman telah menerima 594 laporan terkait zonasi. Rinciannya, 31% terkait penyimpangan prosedur, 18% tidak kompeten, dan 13% tidak memberikan pelayanan.

"Dan yang menjadi permasalahan sebenarnya masalah jarak, sebetulnya zonasi membagi area berdasarkan calon peserta didik, kita ketahui di daerah kesulitan pindah," katanya.

Adapun masalah zonasi yang ditemukan Ombudsman adalah

  1. Permasalahan jarak 20%2. Verifikasi dokumen 12,2%3. Blankspot 11,9%

Pada masalah verifikasi dokumen zonasi, Ombudsman menemukan ada pemalsuan barcode kartu keluarga (KK). Indraza mengatakan masyarakat menilai zonasi itu masalah jarak sehingga banyak yang mengupayakan segala cara agar peserta didik diterima.

"Terkait verifikasi dokumen ini bermasalah karena kami temukan beberapa daerah karena mereka anggap itu jarak dan zona, ada banyak upaya yang dilakukan baik oleh orang tua calon peserta didik dan oknum petugas memalsukan, kami menemukan ada memalsukan barcode kartu keluarga," ungkapnya.

Kemudian, dalam sistem zonasi ini, ditemukan adanya tidak meratanya sekolah. Indraza menyebutkan pihaknya menemukan blankspot.

"Terkait blankspot ketika membagi area data calon peserta didik maka akan ada daerah yang tidak mendapat zona, jadi zona bisa berubah tergantung calon peserta didik seharusnya. Namun apa yang ditangkap masyarakat zonasi adalah masalah jarak," jelasnya.

Adapun saran mengenai masalah zonasi, Ombudsman meminta pemerintah melakukan penguatan sistem dengan otomatisasi penitikan koordinat tujuannya agar tidak ada pemalsuan KK lagi. Kedua, pemerintah diminta melakukan pemantauan intens terhadap pemetaan wilayah zonasi di tahap pra-PPDB tujuannya agar siswa di titik blankspot ini mendapat sekolah yang sama.

"Teknologi udah ada bagaimana menghubungkan data KK dengan peta ini yang belum dilakukan banyak daerah," katanya.

Ombudsman ternyata menemukan sejumlah masalah ketika PPDB sudah selesai. Salah satunya penambahan rombongan belajar.

"Setelah kita lihat itu bahwasanya masalah PPDB tidak hanya pelaksanaan, ketika pasca, ketika diumumkan, maka ada masalah lain lagi yang mengikuti, yaitu adalah penambahan rombongan belajar (rombel)," ujar kata Indraza.

Indraza mengatakan sejatinya ketentuan jumlah rombongan belajar di setiap masing-masing sekolah sudah diumumkan ketika PPDB. Namun Ombudsman menemukan adanya penambahan rombongan belajar dikarenakan ‘surat sakti’.

"Namun apa yang terjadi? Karena ada tekanan, karena ada permintaan, karena ada surat-surat sakti, maka sekolah akhirnya terpaksa dan tidak terpaksa membuat tambahan rombel, dan yang kami dengar sekarang ternyata seluruh Indonesia, dinas sudah mulai mengajukan penambahan rombel," ujar Indraza.

Indraza mengungkapkan dua tahun lalu ada penambahan jumlah sekolah dan disetujui. Tetapi, setelah dicek, katanya, gedung sekolahnya tidak ada.

"Dua tahun lalu kami temukan laporan unik terkait rombel, yaitu mereka menambah jumlah sekolah, tapi sekolah secara fisik belum ada di salah satu provinsi. Jadi sekolahnya ada, namanya ditambah, tapi gedung nggak ada, akhirnya mereka kayak shift yang sekolah awalnya pagi, ntar siang dipakai sekolah tambahan," katanya.

Dia juga mengatakan pengawasan internal tidak optimal. Dia juga menyoroti banyak temuan surat-surat sakti dari instansi, ormas, dan oknum meresahkan.

"Kami temukan banyak sekali surat-surat sakti, surat permintaan…. Belum lagi ormas-ormas, banyak kami temukan dari laporan itu," ucapnya.

Lebih lanjut Indraza menyoroti kuota sistem penerima peserta didik. Dia menyoroti adanya penerimaan peserta didik di luar jalur resmi.

"Lalu adanya penetapan peserta didik baru di luar jalur resmi, itu kami menemukan di lapangan ketika kuota 300 orang, pas hari pendaftaran kami lihat daftar murid baru, lebih dari 300. Itu suka muncul," ungkapnya.

Dia juga mengungkit fenomena suap yang terjadi di sekolah. Dia mengaku prihatin dengan orang tua yang menyuap oknum demi anaknya sekolah di negeri.

"Kami nggak tahu ya kenapa orang berebut sekolah negeri dengan cara yang kotor, kadang-kadang saya bingung. Kita mau fasilitas gratis tapi bayar, banyak lho orang-orang tua sekarang mau masuk negeri tapi nyogok, itu agak aneh. Walaupun juga mungkin mayoritas warga Indonesia juga agak unik, selalu nyari yang gratis," katanya.

"Jadi kalau dikasih sekolah minta murah, udah murah minta diskon, udah gratis masih minta bonus, ya itu orang Indonesia, memang agak unik memang. Jadi agak sulit tantangannya bagaimana kita mengatasi keinginan masyarakat," imbuhnya.

Lebih lanjut, mengenai afirmasi Indraza menyebutkan pihaknya menerima 148 laporan dengan rincian 39% penyimpangan prosedur, 24% tidak memberikan pelayanan, dan 13% penundaan berlarut. Kendala afirmasi yang ditemukan adalah sulitnya membuktikan status sosial calon peserta didik.

"Kami melihat memang kendalanya membuktikan status sosial ekonomi, ini kami sudah pernah bicara dengan Kemensos saat itu, bagaimana kriteria orang tidak mampu, apalagi saat COVID ternyata ada hal yang sangat signifikan perubahannya, ada orang mampu menjadi tidak mampu, dan ada orang tidak mampu menjadi mampu," katanya.

Dia mengatakan, dalam seleksi afirmasi ini, ada yang ‘asal’ mencantumkan kuota. Tujuan pencantuman asal ini diduga menjadi celah jual beli kuota calon peserta didik.

"Ada beberapa kuota yang tidak memadai, jadi hanya asal menentukan saja 5%, 10%, malah saya kebetulan sebelum di Ombudsman pernah di KPK juga, pernah mengamati juga masalah ini, ternyata ada dinas yang sengaja meninggikan kuota untuk afirmasi dengan berharap ada sisa kuota yang bisa dipakai untuk jual beli. Ini juga tantangan integritas petugas," ucapnya.

"Lalu keterbatasan akses dan tidak mutakhirnya data terpadu kesejahteraan sosial, dan kesenjangan infrastruktur daerah. Ini adalah kendala dari afirmasi," imbuhnya.

Dalam seleksi ini, Indraza mengatakan pihaknya sejak 2022 menerima 366 laporan yang mengeluhkan seleksi prestasi. Dari pantauan Ombudsman, dalam seleksi ini ditemukan ketidaksamaan standar nilai di tiap sekolah.

"Terkait dengan prestasi akademik atau rapor tidak transparan pada tiap sekolah, ada perbedaan standar nilai rapor antar-sekolah. Nilai 8 di satu sekolah tidak sama dengan nilai sekolah lain," ucapnya.

Kemudian, pihaknya juga menemukan adanya pemalsuan nilai rapor. Ada juga yang sengaja mengatrol nilai agar masuk ke sekolah yang diinginkan.

"Lalu juga ada pemalsuan nilai rapor, baik rapor fisik ataupun katrol nilai e-rapor, pada PPDB kemarin ada kejadian yang kita tangani langsung ternyata di daerah Depok. Di mana ternyata sekolah dan dinas memalsukan nilai, di katrol nilainya," katanya.

Dia juga menyoroti masalah sertifikat yang dicantumkan dalam seleksi PPDB jalur prestasi ini. Menurutnya, pencantuman sertifikat ini banyak disalahgunakan karena belum ada sistem yang bisa memverifikasi dan memvalidasi sertifikat ini.

"Lalu ada juga beberapa daerah menurut kami melakukan diskriminasi, contoh di Sumsel kami temukan jalur prestasi memasukkan nilai tahfiz. Pertanyaan kami, apakah semua calon peserta didiknya Muslim? Sehingga tidak adil untuk hal seperti itu, jangan dicantumkan menurut kami," tuturnya.

Terakhir, mengenai jalur pindahan. Ombudsman juga menemukan masalah mengenai diskriminasi surat pindahan. Dia menyarankan agar jalur pindahan ini juga memudahkan masyarakat yang pindah tidak memiliki surat tugas, seperti pedagang hingga nelayan.

"Kendalanya tiap daerah memang berbeda-beda, dan ini lucunya hanya berlaku untuk orang yang pindah memiliki instansi. Padahal banyak orang pindah daerah misal pedagang, nelayan, memperhitungkan tahun ajaran. Dia pindah tapi dia nggak punya surat tugas atau mutasi, itu jadi tantangan juga," pungkasnya.

Sumber