Apa Tujuan Turki Dukung Pasukan Pemberontak di Suriah?
Bagi masyarakat Turki, konflik yang kembali berkobar di Suriah bukan kejutan. Selama lebih dari dua bulan, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan sekutu sayap kanannya Devlet Bahceli hampir secara eksklusif berbicara tentang peralihan kekuasaan di Timur Tengah dan konsekuensi negatifnya bagi Ankara.
Yang dimaksud adalah kemungkinan perubahan yang bisa menguntungkan kelompok Kurdi di Suriah. Sejak perang saudara di negara itu, kelompok Kurdi menguasai kawasan timur laut Rojava dan telah mendirikan pemerintahan sendiri. Ini sudah lama ibaratnya menjadi duri dalam daging bagi Turki.
Penguasa Suriah Bashar al-Assad saat ini memang ada dalam posisi relatif lemah, karena pendukungnya utamanya dari luar negeri, Rusia, Iran dan Hizbullah di Lebanon sedang menghadapi tekanan. Rusia sekarang harus fokus ke Ukraina untuk mencegah pasukan Ukraina merebut lebih banyak terotorial Rusia di Kursk. Hizbullah dan Iran saat ini juga melemah akibat serangan-serangan Israel.
Sementara posisi Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump mulai tahun depan masih belum pasti. Apakah Trump akan menarik pasukan AS dari Irak dan Suriah sesuai mottonya "America first" masih tidak jelas.
Para pemberontak Suriah menyadari peluang ini dan tanggal 27 November lalu dan melancarkan serangan besar-besaran. Hanya dalam beberapa hari mereka menaklukkan kota terbesar kedua, Aleppo, memaksa pasukan pemerintah Assad mundur "hampir tanpa perlawanan". Mereka kini bergerak menguasai kota-kota tetangga lainnya. Mereka dipimpin milisi Islam Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang dulu merupakan cabang regional kelompok teroris Al-Qaeda.
Pakar Timur Tengah Michael Lders mengatakan kepada radio Deutschlandfunk, Turki tahu rencana serangan itu, bahkan mendukungnya secara militer. "Para pemberontak jelas membutuhkan senjata yang sesuai. Karena lokasi geografisnya, Anda hanya bisa mendapatkan persenjataan itu dari Turki," katanya.
Segera setelah perang saudara pecah di Suriah, Turki segera memihak pemberontak dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Damaskus. Namun belakangan, Erdogan mencoba memulihkan saluran komunikasi. Tapi Assad menolak upaya tersebut dan menuntut Turki menarik pasukannya lebih dulu dari Suriah utara, sebelum normalisasi hubungan bisa dirintis.
Tetapi Turki menolak tuntutan itu. Karena kawasan di perbatasan Suriah-Turki yang dikuasai militer Turki bersama milisi Tentara Nasional Suriah, SNA, berfungsi sebagai "zona keamanan", kata Turki.
Tujuan utama Turki yang sebenarnya adalah menguasai atau menggulingkan pemerintahan otonomi Kurdi di timur laut Rojava. Kawasan ini dikuasi kelompok pemberontak Partai Persatuan Demokratik PYD, yang disebut Turki sebagai cabang dari Partai Pekerja Kurdistan PKK yang oleh Turki dikategorikan sebagai kelompok teror. Selain mendukung SNA, Turki juga mendukung milisi jihadis HTS, kelompok utama yang melakukan serangan ke Aleppo dan kini menguasai kawasan itu.
Tapi Ankara sampai sekarang membantah terlibat dalam perkembangan terkini di Suriah. "Turki tidak akan mendukung tindakan yang memicu gelombang pengungsi baru," kata Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan.
Turki memang kedatangan banyak pengungsi Suriah, dan telah menampung sekitar 3,5 juta pengungsi sejak perang saudara pecah di Suriah. Erdogan ingin mengirim sebanyak mungkin pengungsi kembali ke Suriah, dan karena itu perlu zona penyangga yang aman di utara Suriah. Baru-baru ini Erdogan kembali menegaskan rencananya untuk menguasai wilayah selebar 30 sampai 40 kilometer di Suriah utara.
Kelompok SNA sendiri mencakup beberapa kelompok jihadis. Apakah Erdogan juga akan bekerja sama dengan para jihadis untuk mencapai tujuannya? Menurut pakar keamanan Burak Yildirim di Istanbul, Turki memang mengendalikan SNA. "Tindakan mereka sebagian besar juga mengikuti rencana Turki," katanya.
Tapi tidak berarti semuanya akan mudah bagi Ankara. "Baik HTS dan SNA menginginkan penggulingan Assad," kata Yildirim. Tapi mereka dapat membagi wilayah yang ditaklukkan di antara mereka sendiri. SNA saat ini telah menguasai wilayah Tal Rifat dan berencana untuk menyerang kota-kota Kurdi lainnya.
"Sekalipun pemerintah Turki mendukung serangan saat ini secara militer, mereka berusaha menghindari konfrontasi langsung dengan Rusia, Iran, dan rezim Assad," kata pakar Timur Tengah Erhan Kelesoglu. Erdogan akan menunggu dan mengamati sejauh mana pasukan yang dekat dengan Ankara dapat memukul mundur milisi Kurdi dan mengambil alih wilayah mereka.
Sejak 2016, tentara Turki telah berulangkali membom wilayah yang dikuasai Kurdi sebagai bagian dari operasi militer skala besar. Organisasi hak asasi manusia seperti Human Rights Watch (HRW) menuduh Ankara melakukan kejahatan perang. Dalam sebuah laporan yang diterbitkan bulan Maret lalu, HRW menyalahkan Ankara atas penculikan, penjarahan, penyiksaan dan kekerasan seksual. Turki bertanggung jawab atas serangan serius dan kemungkinan kejahatan perang yang dilakukan oleh pasukannya sendiri dan kelompok bersenjata lokal yang didukungnya di wilayah yang diduduki Turki di Suriah Utara, kata HRW.
Diadaptasi dari artikel DW bahasa Jerman