Apakah Kebebasan Berinternet Mulai Hilang di Asia Tenggara?

Apakah Kebebasan Berinternet Mulai Hilang di Asia Tenggara?

Kebebasan berinternet di Asia Tenggara menurut survei paling anyar terus merosot, yang mencerminkan pergeseran menjauh dari pemerintahan demokratis yang sedang berlangsung di kawasan ini.

Myanmar yang dilanda perang menduduki peringkat paling buncit, bersama dengan Cina sebagai negara terburuk di dunia dalam hal kebebasan online. Ini menandai untuk pertama kalinya Cina berada di posisi terbawah dalam laporan tahunan Freedom House yang berbasis di Amerika Serikat, "Freedom on the Net", yang dirilis minggu lalu.

Survei dan analisis ini mengukur cara-cara pemerintah dan aktor non-negara membatasi hak-hak online. Hal ini termasuk pemblokiran akses, pembatasan konten, dan pelanggaran hak atas privasi, serta represi kebebasan berpendapat secara online, baik secara legal ataupun extra-legal.

Thailand dan Vietnam termasuk di antara 20 negara yang berada di ranking terbawah. Sementara Malaysia, Singapura, dan Indonesia dinilai sebagai "bebas parsial." Tidak ada negara yang disurvei di kawasan ini yang diklasifikasikan sebagai "bebas."

Kamboja, Malaysia, Myanmar, Filipina, dan Singapura mengalami penurunan nilai dalam laporan tahun ini, sementara nilai Thailand dan Vietnam tidak berubah.

Dari delapan negara Asia Tenggara yang disurvei, hanya Indonesia yang menunjukkan peningkatan, dengan kenaikan peringkat dari 47 menjadi 49 dalam skala 100 poin.

Hasil ini tidak mengejutkan untuk sebuah kawasan seperti Asia Tenggara, yang mencakup Myanmar yang diperintah oleh rezim militer, Vietnam dan Laos yang diperintah oleh komunis, dan negara-negara dengan satu partai seperti Kamboja dan Singapura.

"Hanya sedikit, jika ada, pemerintah di Asia Tenggara yang saat ini menunjukkan komitmen untuk meningkatkan dan melindungi kebebasan online," kata Shawn Crispin, perwakilan senior Asia Tenggara untuk Komite untuk Melindungi Wartawan (CPJ), kepada DW.

"Bahkan negara-negara yang secara nominal demokratis di kawasan ini, lebih memprioritaskan kontrol dan regulasi online daripada mempromosikan kebebasan online," tambahnya.

"Hanya ada sedikit kabar baik, dan banyak kabar buruk, dalam hal masa depan kebebasan online di kawasan ini," ujarnya.

Pada bulan Maret 2024, Indonesia memperkenalkan undang-undang yang menjatuhkan denda kepada perusahaan teknologi dan media sosial yang gagal menghapus konten yang dilarang oleh negara. Upaya legislatif lainnya untuk membatasi kebebasan berpendapat di dunia maya sempat terhenti di parlemen, tetapi dihidupkan kembali di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

"Represi media digital adalah… ancaman yang akan segera terjadi terhadap demokrasi Indonesia yang sedang menurun," kata Sofie Syarief, peneliti tamu di ISEAS-Yusof Ishak Institute, dalam sebuah esai yang diterbitkan minggu ini.

Laporan Digital News Report dari Reuters Institute yang baru-baru ini diterbitkan, menemukan sekitar 80 persen orang Asia Tenggara menggunakan media sosial sebagai sumber berita utama mereka.

"Bagi banyak orang di seluruh Asia, internet adalah kanvas untuk mengekspresikan pemikiran mereka dan menunjukkan kehidupan mereka, serta sumber utama mereka untuk berita," kata Phil Robertson, direktur Asia Human Rights and Labour Advocates, kepada DW.

"Tidak mengherankan, jika pemerintahan otokratis di kawasan ini yang jumlahnya semakin banyak, meningkatkan penggunaan berbagai macam kontrol teknologi, untuk mengontrol apa yang dilihat dan dibagikan oleh masyarakat secara online," tambahnya.

Banyak pemerintah di Asia Tenggara secara efektif menekan penyedia layanan internet dan raksasa media sosial untuk menyensor konten.

Vietnam adalah salah satu negara pertama di Asia yang mengeluarkan ultimatum kepada perusahaan internet seperti Facebookuntuk menyensor konten yang dianggap tidak pantas atau dilarang. Pada tahun 2020, server lokal Facebook di Vietnam tidak beroperasi selama satu bulan sebagai bentuk peringatan.

Pada tahun yang sama, Amnesty International menuduh Facebook dan YouTube "membiarkan diri mereka menjadi alat penyensoran pihak berwenang Vietnam."

Tuduhan tersebut muncul setelah laporan transparansi Facebook pada tahun 2020 dari Vietnam mengungkapkan, adanya peningkatan 983% dalam pembatasan konten berdasarkan undang-undang setempat, yang mengkriminalisasi "propaganda melawan partai dan negara," dibandingkan dengan periode sebelumnya.

Facebook, platform media sosial terpopuler di Asia Tenggara, juga telah mengakui bahwa mereka melarang konten politik di negara-negara lainnya di kawasan ini, termasuk Thailand dan Singapura.

Pada tahun 2022, Singapura mengesahkan undang-undang yang mirip dengan regulasi i Vietnam, yang mewajibkan media sosial untuk menyensor konten dalam waktu beberapa jam setelah instruksi pemerintah, atau menghadapi pemblokiran oleh penyedia layanan internet lokal.

Mulai tahun depan, media sosial dan platform pesan internet yang beroperasi di Malaysia juga harus mendapatkan izin operasi tahunan, yang mewajibkan mereka untuk menghapus lebih banyak konten atas permintaan pemerintah, termasuk konten agama. Jika tidak, akan ada denda yang besar.

"Selama pemerintah masih memegang kendali atas penyedia layanan internet, dan platform seperti Meta, Google, dan TikTok terus mengikuti perintah pemerintah… situasi akan terus memburuk," kata Robertson kepada DW.

Banyak organisasi masyarakat sipil menentang adanya undang-undang baru yang ditujukan untuk mengekang kebebasan online dalam beberapa tahun terakhir, meskipun hanya sedikit yang berhasil menghentikan langkah-langkah ini.

Para pendukung undang-undang yang lebih ketat berpendapat, undang-undang tersebut diperlukan untuk memerangi "ujaran kebencian" dan video deepfake yang dibuat oleh AI.

Singapura saat ini sedang menyusun undang-undang untuk melarang deepfake dan konten manipulasi lainnya dari kandidat politik menjelang pemilihan umum tahun depan.

Selain itu, munculnya berbagai penipuan lewat jalur online, meningkatkan kekhawatiran pemerintah. Apa yang diperbolehkan secara online adalah masalah global yang bermuara pada pilihan antara kebebasan dan keamanan.

Sebuah survei yang dilakukan oleh Pew Research Centre menemukan, sebagian besar masyarakat Asia Tenggara percaya bahwa mereka seharusnya dapat mengkritik pemerintah di depan umum.

Namun, sebagian besar responden di Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Kamboja mengatakan, keharmonisan sosial lebih penting daripada hak untuk menyuarakan pendapat.

Artikel ini diadaptasi dari DW bahasa Inggris

Sumber