Apindo Minta Aturan Pengupahan Pertimbangkan Iklim Usaha
Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta agar pemerintah lebih bijak dalam menentukan kebijakan pengupahan ke depannya.
Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani menyampaikan, upah minimum perlu memiliki basis pertimbangan yang prudent dan seimbang antara kebutuhan penciptaan kesejahteraan pekerja, penciptaan daya saing ekonomi dan produktivitas.
“Kami berharap pemerintah pusat dan daerah lebih bijak dalam menentukan kebijakan upah,” kata Shinta kepada Bisnis, Rabu (11/12/2024).
Shinta menegaskan, pelaku usaha tidak menolak kenaikan upah bagi pekerja. Kendati begitu, dia menyebut bahwa kenaikan upah minimum harus rasional, memiliki justifikasi yang memadai, dan tetap menjunjung aspek penciptaan kepastian berusaha dan prediktabilitas iklim usaha/investasi.
Pengusaha mengharapkan, penetapan upah minimum di Indonesia tetap memiliki perhitungan yang adil, transparan, serta memberikan ruang konsultasi bipartit dan tripartit yang memadai.
Menurutnya, instrumen upah minimum seharusnya tetap menjadi instrumen jaring pengaman, alih-alih instrumen negosiasi upah utama yang idealnya dilakukan secara bipartit antara pekerja dan perusahaan, sesuai dengan valuasi terhadap skills masing-masing pekerja, kebutuhan pasar tenaga kerja, dan kemampuan remunerasi.
Di sisi lain, Shinta menyoroti soal 57% pekerja Indonesia yang masih bekerja di sektor informal. Para pekerja ini, kata dia, tidak terjangkau oleh upah minimum.
Dia menilai, akan sangat baik jika upah minimum dapat dijangkau oleh semua skala usaha, termasuk UMKM dan pelaku sektor informal. Dengan begitu, perlindungan dan kesejahteraan pekerja yang diinginkan bersama dapat dirasakan semua pekerja di Indonesia.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam menambahkan, tahun ini cukup spesial lantaran pemerintahan baru. Bob menyebut, inilah alasan pemerintah mengapa penetapan upah minimum 2025 tanpa formula, ditambah lagi waktu yang cukup terbatas untuk menetapkan formula baru pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Oktober 2024.
Namun, Bob menilai penetapan upah minimum untuk 2026 tidak bisa menggunakan cara seperti ini lagi. Mengingat, sektor riil sudah cukup babak belur.
Hal ini kata dia, tercermin dari Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur yang mengalami kontraksi selama lima bulan beruntun, menurunnya kelas menengah sebanyak 10 juta orang, pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diperkirakan mencapai 180.000 orang di 2024, serta penerimaan negara yang tekor.
“Babak belur kita di sektor riil,” ujar Bob.