Arah Masa Depan Politik Kita
Meskipun tahun politik telah usai, prosesnya tampak kehilangan esensi. Dari ruang yang seharusnya menjadi arena kontestasi gagasan, kini politik terang-terangan mempertontonkan panggung transaksional. Demokrasi yang kita bangun dengan penuh perjuangan setelah era Reformasi, kini dirusak oleh praktik-praktik klientelisme dan politik uang yang kian vulgar.
Politik gagasan bungkam bak ditelan bumi. Bukannya kalah menarik, masyarakat lebih memilih serangan fajar, yakni seonggok uang yang diterima untuk menghidupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Siapapun yang berlaga pasti mengatasnamakan pelayan rakyat, meskipun maksudnya sebatas pelayan uang dan kekuasaan. Ironisnya, survei BPS 2023 mencatat bahwa lebih dari 9,3% penduduk Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan. Di dalam kondisi ini, selembar uang Rp 50.000 menjelang pemilu dapat saja dianggap lebih nyata daripada janji-janji selama kampanye.
Kehilangan Sistem Ideal
Kita kehilangan sosok pemimpin yang benar-benar mencintai rakyat. Rakyat menderita dengan deraian kebohongan yang coba diucap setiap lima tahun sekali. Ini bukan sekadar kebodohan demokrasi, ini pembunuhan demokrasi! Bayangkan, semangat untuk meningkatkan moralitas dalam berpolitik, kini lenyap oleh keberingasan uang. Mau tidak mau, masyarakat terbuai oleh iming-iming uang, yang oleh karenanya, keputusan pemilih tergantung siapa yang memberi banyak.
‘Serangan fajar’ tiba di desa, di kota, antara gang rumah, di warung kopi, di kantor, di salon, dan di mana saja. Aparat negara pun harus turun melobi pintu-pintu rumah sembari memberi pesan jika pemimpinnya A, hubungan dengan pusat menjadi aman terkendali.
Partai politik tidak berjalan sebagaimana mestinya. Seyogianya, partai politik sebagai corong politik rakyat memberikan kader atau calon terbaiknya sesuai aspirasi rakyat. Namun nampaknya, sistem ini berubah jauh. Partai politik justru tunduk kepada pilihan pusat agar dapat menjadi corong pusat untuk melanggengkan pemilu berikutnya. Semakin tidak beroposisi, semakin baik.
Singkap Politik Klientelisme
Meminjam pemikiran Raymond Geuss (2008), kerja politik yang dilakukan oleh partai politik Indonesia saat ini merupakan pertarungan etika. Sebab, aktor-aktor dalam politik dapat menentukan baik dan buruk tergantung kekuasaan dan pengaruhnya.
Di dalam pemahaman akan realitas politik, seseorang tidak akan benar-benar memahami tindakannya kecuali ada pertimbangan etis yang serius atas tindakannya. Pertimbangan-pertimbangan tersebut meliputi apa yang baik (judgements about good), yang diperbolehkan (permissible), apa yang menarik (attractive), apa yang disuka (preferable), dan yang harus dihindari (avoid).
Geuss secara tegas mengungkap bahwa tatanan politik yang ideal, yang dicapai melalui social engineering (desain sosial) nyatanya akan selalu terbatas, kontradiktif, dan inheren. Politik kepentingan, korupsi, ketidakadilan, dan ketidakberpihakan akan selalu hadir. Upaya untuk menghapusnya dengan solusi ideal justru akan menimbulkan sesuatu yang lebih buruk.
Di sisi lain, politik klientelisme belum sepenuhnya hilang. Justru di era reformasi, praktik demikian tumbuh subur. Bahkan sekelas Presiden RI harus mengendorse salah satu kandidat politik yang berlaga agar mendapat simpati dan suara.
Penelitian Ward Berenschot (2018) tentang klientelisme menunjukkan praktik klientelisme tumbuh subur di negara-negara miskin, yang rakyatnya lebih memilih uang atau insentif kilat akibat pembangunan ekonomi yang timpang. Berenschot menambahkan, praktik klientelisme seringkali tumbuh subur ketika kontrol atas kegiatan ekonomi terpusat pada segelintir pihak.
Hal ini bukan hanya mempersempit ruang publik untuk bersuara, tetapi juga melemahkan kemampuan masyarakat untuk mengawasi dan menekan perilaku menyimpang dari elite politik dan bisnis. Ketergantungan ekonomi pada elite—baik melalui dominasi perusahaan besar, ketergantungan pada sumber daya alam, maupun anggaran pemerintah—menciptakan lingkungan yang sulit bagi warga untuk bersikap independen.
Pergeseran ini benar-benar dilakukan secara vulgar dan sistematis. Politik endorsement, politik uang, dan politik klientelisme ini semakin memenuhi corak berbangsa dan bernegara kita. Tidak heran bahwa Indonesia masih berada dalam daftar flawed democracy (demokrasi cacat).
Laporan Democracy Index 2023 oleh The Economist Intelligence Unit, Indonesia masuk kategori flawed democracy dengan skor demokrasi hanya 6,3 dari 10. Salah satu indikator buruknya adalah rendahnya partisipasi politik berbasis gagasan dan dominasi oligarki dalam pengambilan keputusan. Demokrasi adem-ayem itu nyatanya merusak sendi-sendi kekritisan, logika, dan moral. Mengatasnamakan adem-ayem bukanlah prinsip dari demokrasi yang mendewasa, melainkan menjadi ruang diktator baru yang menggerus moral masyarakat di masa mendatang.
Arah Politik Kita
Akhir 2024 merupakan ujian awal dari bobroknya sistem politik Indonesia, sementara Pemilu 2029 sudah diprediksi menjadi arena pertarungan kekuatan besar, terutama dalam persaingan politik antara generasi baru oligarki dengan partai-partai reformis.
Jika sistem ini tidak diperbaiki, kita hanya akan melihat siklus yang sama demokrasi yang terus terperangkap dalam kedangkalan dan manipulasi elite. Hal tersebut akan menjadi babak baru dalam sistem politik Indonesia, yang sebagian besar, pahit dan pelik itu.
Kita membutuhkan keberanian kolektif untuk melawan politik uang dan klientelisme. Rakyat harus dididik untuk memahami bahwa suara mereka adalah kekuatan, bukan komoditas. Partai politik harus kembali pada khitah sebagai penyambung aspirasi rakyat, bukan alat untuk melanggengkan dinasti kekuasaan.
Pemberdayaan rakyat baik dari segi intelektual maupun ekonomi di daerah-daerah menjadi kunci dalam memberantas praktik klientelisme. Kemudian, setiap pengelolaan anggaran, baik di tingkat pusat maupun daerah, diawasi secara ketat oleh lembaga independen dan masyarakat. Partai politik harus direformasi untuk memprioritaskan kaderisasi berbasis gagasan dan kompetensi, bukan patronase atau koneksi elit. Selain itu, perlu diatur batasan pendanaan politik dari donatur besar yang sering digunakan sebagai alat kontrol atas keputusan politik.
Sebagai bangsa yang besar, kita tidak boleh menyerah pada kenyataan pahit ini. Reformasi yang dimulai dengan darah dan air mata harus kembali menemukan arah yang benar, agar masa depan politik Indonesia tidak hanya menjadi panggung komedi gelap para elite.Jan Mealino Ekklesia Peneliti Utama WAMESA Policy & Politics