Arah Pendidikan Pemerintahan Baru
Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 telah dilantik. Ada banyak pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan. Pendidikan menjadi salah satu sektor yang sangat mendesak untuk diperbaiki kualitasnya. Sebab, ketersediaan sumber daya manusia yang unggul dan produktif menjadi salah satu persyaratan utama untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Dari sekian banyak masalah pendidikan saat ini, pengalokasian dan pengelolaan 20 persen anggaran pendidikan dari APBN harus diberi perhatian serius. Pada 2024, misalnya, dari keseluruhan anggaran pendidikan, Rp 665 triliun, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebagai pihak yang paling berwenang mengurusi masalah pendidikan hanya mengelola 15 persen saja atau Rp 98,9 triliun.
Selebihnya, anggaran pendidikan dipecah-pecah. Untuk Kementerian Agama (Kemenag) Rp 62,3 triliun (9 persen). Untuk kementerian dan lembaga negara lainnya sebesar Rp 32,8 triliun. Dan, alokasi terbesar adalah untuk transfer ke daerah dan dana desa yang mencapai Rp 346,5 triliun atau 52 persen. Melihat anggaran pendidikan yang terbagi ke dalam begitu banyak pos itu, maka wajarlah jika kualitas pendidikan Indonesia sulit berkembang.
Sejatinya, setelah 15 tahun alokasi anggaran pendidikan 20 persen dalam APBN telah dipenuhi oleh pemerintah, dengan pendistribusian dan pengelolaan yang baik tentunya, pendidikan murah dan berkualitas yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat telah tersedia. Namun, kenyataannya hingga kini hal itu masih sebatas mimpi. Maka, meluruskan kembali penggunaan anggaran pendidikan menjadi sebuah keharusan.
Sebaiknya TerpusatPengelolaan pendidikan dan anggarannya sebaiknya terpusat. Artinya, pengelolaan pendidikan dasar yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota, serta pendidikan menengah yang merupakan tanggung jawab pemerintah provinsi, sudah saatnya dikembalikan ke pusat. Karena telah terbukti, setelah lebih dari 20 tahun desentralisasi pendidikan dilaksanakan, mutu pendidikan Indonesia cenderung stagnan.
Memang, tak dapat dimungkiri, ada daerah yang berhasil meningkatkan mutu pendidikannya. Namun, harus diakui pula, masih lebih banyak daerah yang kualitas pendidikannya terkesan jalan di tempat. Ada banyak kepala daerah yang kurang peduli pada peningkatan kualitas pendidikan di daerahnya. Bahkan, menurut data terbaru Kementerian Dalam Negeri, hanya ada lima provinsi yang mengalokasikan 20 persen dari APBD-nya untuk anggaran pendidikan.
Kelima provinsi itu adalah DKI Jakarta sebesar 22,51 persen, Lampung 21,76 persen, Jawa Tengah 21,14 persen, Riau 20,21 persen, dan Kalimantan Tengah 20 persen. Selebihnya, anggaran pendidikannya di bawah 20 persen. Bahkan ada provinsi yang anggaran pendidikannya kurang dari lima persen. Apa yang dapat dikerjakan dengan anggaran sekecil itu? Belum lagi ketika anggaran yang cekak itu masih "disunat" oleh para pejabat di daerah.
Selain masalah penganggaran yang bermasalah, hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) juga sangat berpengaruh terhadap maju mundurnya mutu pendidikan di sebuah daerah. Sudah tidak menjadi rahasia lagi, jika para guru Aparatur Sipil Negara (ASN) di daerah "harus terlibat aktif" setiap kali pilkada berlangsung. Terlebih-lebih ketika calon kepala daerah petahana ikut bertarung, para guru ASN "dipaksa" untuk turut serta memenangkan.
Dan, ketika calon kepala daerah petahana keluar sebagai pemenang, ASN yang terindikasi tidak mendukung sang calon petahana, harus bersiap mendapat "hukuman". Keterlibatan guru di sebuah daerah dalam urusan politik praktis berefek pada menurunnya kualitas pendidikan di daerah tersebut. Sebab, pendidikan tidak lagi diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip profesionalitas. Bau amis politik justru sangat terasa di institusi-institusi pendidikan.
Selain itu pula, desentralisasi pendidikan juga mengakibatkan ketimpangan mutu pendidikan antardaerah yang kian menganga. Salah satu penyebabnya, tidak meratanya kualitas guru. Ada daerah yang secara berkala memberikan pelatihan peningkatan pedagogis yang berkualitas, serta memberikan tunjangan yang cukup besar bagi gurunya. Namun sebaliknya, ada banyak daerah yang tidak membekali guru-gurunya dengan kedua hal penting tersebut.
Perlu DiperbaikiBercermin dari banyaknya persoalan yang muncul akibat dari desentralisasi pendidikan yang sejak 2001 lalu dilaksanakan, maka Presiden dan Wakil Presiden yang baru saja dilantik sebaiknya meninjau kembali kebijakan tersebut. Mungkin pada awal, desentralisasi pendidikan dilaksanakan dengan semangat untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang merata di setiap daerah. Namun, setelah puluhan tahun terlaksana, justru menimbulkan banyak permasalahan.
Pola rekrutmen guru juga perlu diperbaiki. Salah satu penyebab kualitas pendidikan Indonesia tidak mengalami kemajuan yang berarti hingga saat ini adalah kualitas guru-gurunya yang masih perlu ditingkatkan. Jika kita mencoba mencari akar permasalahannya, kenapa kualitas guru Indonesia sangat rendah, penyebabnya adalah tata perekrutan guru yang belum baik. Ada banyak guru yang saat ini mengajar masih belum memenuhi syarat minimal sebagai guru.
Dalam UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, seorang guru setidaknya memiliki kompetensi kepribadian, pedagogis, sosial, dan profesional yang baik. Namun, hingga saat ini, tuntutan UU tersebut belum dapat terpenuhi. Berdasarkan hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun 2021 lalu, yang menguji kompetensi pedagogis dan profesional guru, hasilnya belum menggembirakan. Nilai rata-rata kompetensi guru hanya 50,64.
Begitu pun kompetensi profesional guru. Berdasarkan data Kemendikbudristek, bahwa hingga saat ini, masih ada 1,6 juta guru (1,2 juta yang memenuhi syarat dan 0,4 juta lagi tidak memenuhi syarat karena belum memiliki ijazah S-1/D-4) yang belum memiliki sertifikat pendidik. Rendahnya kompetensi pedagogis dan profesional mayoritas guru saat ini merupakan masalah besar pendidikan kita yang harus segera dicarikan solusi terbaiknya.
Maka sekali lagi, memperbaiki pola rekrutmen guru menjadi hal yang sangat mendesak dilakukan. Dan, untuk memperbaikinya mesti dimulai dari hulu. Hulunya di mana? Perguruan-perguruan tinggi pencetak guru. Sebagai langkah awal, ke depan, pemerintah harus memastikan seluruh perguruan-perguruan tinggi keguruan baik secara lembaga maupun program studi atau jurusan, serendah-rendahnya harus terakreditasi unggul.
Sebab, sudah seharusnya seorang calon guru belajar dengan suasana kampus berkualitas terbaik, oleh para tenaga pengajar terbaik, dan fasilitas perkuliahan yang lengkap dan modern. Selain itu, seleksi masuk perguruan tinggi keguruan juga harus dilaksanakan dengan sangat ketat, jauh lebih ketat ketimbang program-program studi non-keguruan. Input yang baik akan menghasilkan output yang baik pula lulusan yang kompeten yang benar-benar siap jadi guru.
Untuk menghemat anggaran serta demi prinsip efektivitas, di perguruan-perguruan tinggi keguruan yang berkualitas unggul itu, materi belajar Program Guru Penggerak dan Pendidikan Profesi Guru, dua program yang saat ini sedang gencar-gencarnya dilaksanakan oleh pemerintah untuk menggenjot peningkatan kompetensi pedagogis dan profesional guru, sebaiknya dilebur menjadi mata kuliah wajib bagi setiap mahasiswa keguruan.
Memang, dengan dileburnya materi belajar kedua program tersebut, yang saat ini dilaksanakan secara terpisah, menjadi mata kuliah wajib, akan memperpanjang durasi perkuliahan. Namun, demi mendapatkan calon-calon guru terbaik yang memiliki kompetensi kepribadian, sosial, terutama kompetensi pedagogis dan profesional yang mumpuni, rasa-rasanya, hal itu sangat wajar.
Tapi, untuk mewujudkannya, tentu butuh anggaran yang sangat besar. Saat ini, anggaran pembiayaan perguruan tinggi hanya Rp 56,1 triliun atau hanya 1,6 persen dari APBN. Anggaran tersebut masih jauh dari standar ideal yang ditetapkan oleh UNESCO yaitu dua persen dari APBN. Mencermati fakta tersebut, pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat untuk meluruskan kembali pengalokasian anggaran fungsi pendidikan.
Perencanaan dan penganggaran yang saat ini menjadi kewenangan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) dan Kementerian Keuangan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 tahun 2017, harus ditinjau kembali. Kemendikbudristek, sebagai pihak paling vital dalam ihwal pendidikan, sebaiknya dilibatkan dalam pembahasan dan perencanaan pengalokasian anggaran belanja fungsi pendidikan.
Sehingga pendistribusian anggaran pendidikan akan lebih baik dan proporsional. Dan, jika hal itu dapat terwujud, secara perlahan, dengan pengelolaan anggaran yang transparan serta pengawasan yang ketat tentunya, maka sebagaimana telah saya tulis di awal, pendidikan bermutu dan murah yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat akan tersedia, yang bermuara pada tersedianya sumber daya manusia Indonesia yang unggul dan produktif.
Hermanto Purba Guru Bahasa Inggris di SMP N 2 Pakkat Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara; Guru Penggerak Angkatan 4