AS Kenakan Tarif Bea Masuk Tinggi ke China, Apa Dampak ke RI?
Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebut Indonesia berpotensi mendapat berkah dari kebijakan Presiden AS Donald Trump yang menerapkan tarif bea masuk yang tinggi untuk produk China.
Ketua Umum Apindo 2023–2028 Shinta Widjaja Kamdani mengatakan bahwa tren China De-Risking membuka peluang strategis bagi Indonesia dalam menarik investasi serta memperluas ekspor sebagai alternatif dalam rantai nilai global atau Global Value Chain (GVC).
“Kalau kita lihat dengan protectionist policy yang akan dikenakan [Presiden AS Donald Trump] untuk perdagangan, terutama untuk China yang akan dikenakan tarif impor yang sangat tinggi,” kata Shinta dalam konferensi pers Outlook Perekonomian Apindo 2025, Jakarta, Kamis (19/12/2024).
Menurutnya, kebijakan pengenaan tarif impor yang tinggi dari AS untuk barang China membuka peluang tersendiri bagi banyak negara, termasuk Indonesia.
“Ini sebenarnya akan juga menjadi peluang buat negara seperti Indonesia karena yang jelas ada banyak kita bisa mungkin mengalami ekspektasi dan memperluas ekspor dengan menjadi alternatif dalam global value chain,” ungkapnya.
Shinta menjelaskan, peluang ini menjadi awal bagi Indonesia untuk mampu berkompetisi dengan negara lain seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand.
“Karena kita selalu berkompetisi dengan negara tetangga seperti Vietnam, Malaysia, Thailand. Jadi ini sekarang siapa yang sudah lebih siap untuk mengambil peluang, ini faktor yang Indonesia perlu menjadi perhatian kita,” ujarnya.
Pasalnya, Shinta menerangkan bahwa konflik dagang AS-China menciptakan tren diversifikasi GVC. Di mana, perusahaan global berupaya untuk mendiversifikasi suplai barang atau jasa dari satu perusahaan atau negara untuk menghindari risiko rantai pasok (China De-risking).
Adapun, produk yang mengalami peralihan perdagangan terbesar di antaranya semikonduktor, produk elektronik, dan produk-produk terkait alat telekomunikasi.
“Diversifikasi produksi oleh negara-negara maju menciptakan ruang bagi Indonesia untuk memaksimalkan potensi di sektor manufaktur, mineral kritis, dan energi hijau,” tuturnya.
Untuk itu, Shinta menyampaikan bahwa Indonesia perlu menangkap potensi ini dengan peningkatan efisiensi dan kepastian iklim usaha atau investasi serta keterbukaan perdagangan.
“Indonesia sebetulnya berada dalam posisi yang dapat diuntungkan oleh adanya tren fragmentasi perdagangan global tersebut untuk meningkatkan penerimaan investasi dan ekspor nasional dalam jangka pendek,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Shinta menambahkan Indonesia perlu mengoptimalkan pertumbuhan perdagangan di kawasan Asia. Dia menyebut, kawasan Asia diperkirakan masih menjadi kontributor utama pertumbuhan perdagangan global pada 2025.
Dia mengungkap, potensi pertumbuhan perdagangan di kawasan Asia diperkirakan masih sangat menjanjikan karena tingginya permintaan global atas produk manufaktur, terutama produk manufaktur terkait dengan digitalisasi dan energi terbarukan yang meningkat secara eksponensial sejak 2022.
Meski terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi China, kata Shinta, China diperkirakan masih akan memiliki pertumbuhan permintaan impor yang moderat.
Sementara itu, permintaan perdagangan di kawasan Asia yang lain akan didorong oleh pertumbuhan di negara-negara berkembang Asia seperti India, Vietnam dan Malaysia.
Di sisi lain, pasar Eropa berpotensi akan mengalami rebound kinerja ekspor dan impor seiring dengan normalisasi tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. “Permintaan impor Eropa yang terkontraksi sepanjang 2023-2024 diharapkan meningkat signifikan pada 2025 secara gradual,” imbuhnya.
Sedangkan permintaan impor kawasan Amerika Utara diperkirakan masih didominasi oleh pasar AS, meski permintaan impor Meksiko diperkirakan akan meningkat berkat fragmentasi perdagangan global.