AS Potong Dana USAID, Anak-anak Sudan Selatan Meninggal Saat Jalan ke Klinik

JUBA, KOMPAS.com - Anak-anak di Sudan Selatan dilaporkan meninggal akibat wabah kolera, saat mereka terpaksa berjalan berkilometer jauhnya hanya untuk mencari bantuan medis yang kini semakin sulit diakses.
Di beberapa daerah, klinik-klinik penyelamat jiwa bahkan telah ditutup akibat pemotongan dana bantuan dari Amerika Serikat (AS).
Menurut informasi yang disampaikan oleh lembaga amal internasional, salah satu organisasi non-pemerintah (LSM) menyebutkan bahwa sejumlah klinik yang sebelumnya memberikan perawatan penting, kini harus tutup karena kekurangan dana.
Pemotongan dana ini terjadi setelah kebijakan Presiden AS, Donald Trump, yang mengurangi anggaran bantuan luar negeri, termasuk dana untuk program kesehatan dan kemanusiaan.
Sebagai negara yang merdeka sejak 2011, Sudan Selatan masih bergelut dengan kemiskinan ekstrem dan ketidakstabilan politik yang terus berlanjut.
Ketegangan baru-baru ini mengancam keberlanjutan kesepakatan damai yang rapuh, setelah konflik berdarah yang berlangsung selama lima tahun.
Seiring dengan itu, wabah kolera kembali merebak, dengan lebih dari 40.000 kasus dilaporkan sejak September 2024, menjadikannya sebagai wabah kolera terburuk dalam sejarah negara tersebut, menurut UNICEF.
Pada Rabu (9/4), Save the Children melaporkan sedikitnya lima anak meninggal saat berusaha mengakses layanan medis di negara bagian Jonglei, yang terletak di bagian timur Sudan Selatan.
Badan amal ini sebelumnya mengelola 27 klinik di wilayah Akobo Timur, tetapi setelah pemotongan dana dari USAID, tujuh klinik harus ditutup permanen, sedangkan 20 lainnya hanya dapat beroperasi sebagian.
Selain itu, sekitar 200 staf, dari total hampir 600 pekerja di seluruh negara, terpaksa diberhentikan.
Pemotongan dana USAID yang besar ini, yang mencapai hampir 43 miliar dolar AS (Rp 724,6 triliun) setiap tahunnya, memengaruhi berbagai program bantuan kemanusiaan di seluruh dunia, termasuk di Sudan Selatan.
Sarah (24), seorang pasien yang tengah berjuang melawan kolera di Jonglei, mengungkapkan kesedihannya.
"Kami dulu bahagia karena ada banyak dokter dan obat-obatan yang cukup. Kami tidak banyak menderita. Namun sekarang, kami sangat menderita," ujar Sarah, yang kutipan tersebut diambil dari AFP.
Sementara itu, Michael, seorang pekerja kesehatan sukarela di kawasan tersebut, menyatakan bahwa sejak pemotongan dana, masyarakat semakin kesulitan mendapatkan obat-obatan yang diperlukan.
"Kami melihat pasien menderita, tetapi tidak bisa membantu mereka. Sekarang, wabah kolera yang parah ini sedang berlangsung," jelasnya. Pekerja kesehatan hanya bisa memberikan garam rehidrasi oral sebagai langkah sementara untuk meredakan gejala.
Berdasarkan data UNICEF, hingga Maret 2025, hampir 700 kematian akibat kolera telah tercatat, dengan setengah dari korban tersebut adalah anak-anak di bawah usia 15 tahun.
Sebagian besar dari sepuluh negara bagian di Sudan Selatan telah terdampak, dengan Jonglei menjadi yang paling parah.
Chris Nyamandi, Direktur Negara UNICEF di Sudan Selatan, menyampaikan rasa prihatin yang mendalam.
"Sangat memilukan untuk memikirkan situasi di daerah-daerah tersebut. Apa yang saya lihat seperti sesuatu yang keluar dari dunia distopia," ujarnya.
Ia menceritakan pengalamannya mengunjungi Akobo Timur, lokasi anak-anak yang terinfeksi dibaringkan di bawah pohon karena tenda-tenda klinik sudah penuh sesak.
Nyamandi menambahkan, "Harus ada kemarahan moral global terhadap keputusan-keputusan yang diambil oleh pemimpin-pemimpin negara lain yang mengarah pada kematian anak-anak hanya dalam hitungan minggu."