Asal Usul Kenaikan PPN 12 Persen: Diusulkan Jokowi, Disetujui DPR, Kini Ditolak Banyak Pihak
JAKARTA, KOMPAS.com – Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen per 1 Januari 2025, mendapat penolakan luas dari masyarakat.
Tak hanya lewat petisi di media sosial, sejumlah elemen masyarakat pun turun ke jalan menyuarakan penolakan terhadap rencana pemerintah menaikkan pungutan pajak ini.
Di tataran elite partai politik, PDI Perjuangan menjadi parpol yang paling keras menolak rencana kenaikan tersebut.
Meskipun, fraksi partai ini juga yang menjadi pimpinan panitia kerja (panja), ketika Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang menjadi dasar kenaikan PPN tersebut, dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Ketua DPP PDI-P sekaligus Ketua DPR RI, Puan Maharani, misalnya, menilai kenaikan PPN akan memperburuk situasi ekonomi, terutama masyarakat kelas menengah dan pelaku usaha kecil.
“Kita harus memahami kondisi rakyat, jangan sampai dengan kenaikan PPN ini malah membuat perekonomian rakyat semakin sulit,” ujar Puan dalam keterangannya, Rabu (18/12/2024).
“Pemerintah harus menyiapkan langkah antisipatif, termasuk stimulus ekonomi yang benar-benar efektif, agar kenaikan PPN ini tidak menambah beban bagi rakyat kecil,” ujarnya.
Ia mengatakan, kondisi perekonomian masyarakat saat ini sudah cukup tertekan. Hal ini yang kemudian membuat tidak sedikit dari mereka yang justru terjebak pinjaman online (pinjol) demi memenuhi kebutuhannya.
“Dengan dinamika ekonomi yang ada saat ini, banyak masyarakat yang sudah tertekan. Tak sedikit yang lalu akhirnya terjerumus pada pinjaman online (pinjol) dengan bunga tak masuk akal. Kita berharap tak ada lagi tambahan tekanan ekonomi yang dirasakan masyarakat,” ungkap Puan.
Sementara itu, Ketua DPP PDI-P Ganjar Pranowo mengatakan, kenaikan PPN memang memiliki tujuan yang baik untuk memenuhi pemasukan negara dan menutup defisit. Namun, penerapannya dilaksanakan pada waktu yang kurang tepat.
"Kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12 persen ini bisa membuat ngilu sedikit kehidupan rakyat. Dengan angka ini, Indonesia menjadi negara dengan PPN tertinggi di ASEAN bersama Filipina," kata Ganjar dalam unggahan video di akun Instagram pribadinya @ganjar_pranowo, Kamis (19/12/2024), melansir Kompas.tv.
Ia khawatir, menaikkan PPN pada saat ini justru akan memunculkan efek samping yang tidak diinginkan, seperti menurunnya daya beli masyarakat dan kepercayaan terhadap pemerintah.
"Saya khawatir kenaikan PPN 12 persen yang dimaksudkan sebagai obat justru menyebabkan sejumlah komplikasi. Jika kita membiarkan ini terjadi, maka kita bukan saja kehilangan pekerjaan, tetapi juga kepercayaan. Kepercayaan rakyat kepada negara bahwa negara hadir melindungi mereka," kata Ganjar.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, mengaku heran dengan respons kritis PDI-P atas rencana kenaikan ini.
Ia pun mengungkit bahwa pembahasan RUU HPP pada tiga tahun lalu, justru dikomandoi oleh Fraksi PDI-P. Saat itu, kader PDI-P, Dolfie Othniel Frederic Palit, ditunjuk menjadi ketua panjanya.
"Itulah kenapa saya heran saat ada kader PDI-P berbicara di rapat paripurna, tiba-tiba menyampaikan pendapatnya tentang PPN 12 persen," kata Rahayu dalam pesan singkatnya kepada Kompas.com, Sabtu (21/12/2024) malam.
Kemenakan Presiden RI Prabowo Subianto itu bilang, banyak anggota partainya yang hanya bisa senyum dan geleng-geleng tertawa mendengar respons kritis PDIP.
"Dalam hati, hebat kali memang kawan ini bikin kontennya," lanjut dia.
"Padahal mereka saat itu Ketua Panja RUU yang mengamanatkan kenaikan PPN 12 persen ini. Kalau menolak ya kenapa tidak waktu mereka ketua panjanya?" tambah Saras.
Dihubungi terpisah, Dolfie berdalih bahwa pembahasan revisi UU HPP merupakan usul inisiatif pemerintahan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.
"UU HPP merupakan UU inisiatif pemerintahan Jokowi yang disampaikan ke DPR pada 5 Mei 2021," kata Dolfie kepada Kompas.com, Minggu (22/12/2024).
"Seluruh fraksi setuju untuk melakukan pembahasan atas usul inisiatif pemerintah atas RUU HPP," sambungnya.
Sebagai informasi, hubungan Jokowi saat itu masih menyandang status kader PDI-P. Namun, baru-baru ini Jokowi dan keluarganya dipecat dari partai karena dianggap melakukan pelanggaran berat.
Dari laporan Dolfie, pembahasan revisi UU tersebut terbilang cepat, yaitu hanya berlangsung selama lima bulan hingga disahkan pada 7 Oktober 2021.
Diketahui, Jokowi mengirim Jokowi mengirimkan surat presiden bernomor R-21/Pres/05/2021 pada 5 Mei 2021. Surat itu kemudian ditindaklanjuti oleh pimpinan DPR RI dengan menerbitkan surat nomor PW/08529/DPR RI/VI/2021 tanggal 22 Juni 2021.
Saat itu, UU HPP masih menggunakan nomenklatur Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Sebab, UU HPP merupakan revisi kelima dari UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP.
Pada 28 Juni 2021, Komisi XI memulai pembahasan Revisi UU KUP bersama Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan HAM dengan agenda membentuk panitia kerja (panja).
Setelahnya, Komisi XI DPR RI melanjutkan pendalaman, perumusan, dan sinkronisasi terkaiu RUU itu. Dolfie mengeklaim DPR juga sudah melakukan rapat dengar pendapat dari akademisi, praktisi, pakar, maupun pengamat.
“Lembaga yang dilibatkan dalam penggalian informasi dan keilmuan melalui rapat dengar pendapat ini di antaranya KADIN, HIPMI, APRINDO, Asosiasi Ekspor Impor, Asosiasi Pendidikan, Asosiasi Keagamaan, dan Asosiasi Kesehatan, HIMBARA, Perbanas, Asbisindo, Asosiasi BPR, Asosiasi Buruh, YLKI, HKTI, dan Asosiasi Pedagang Pasar,” tulis laporan yang dibacakan Dolfie.
Dari berbagai rapat itu, disepakati perubahan nomenklatur menjadi Harmonisasi Peraturan Perpajakan serta memuat aturan yang membuat PPN naik 12 persen di tahun 2025.
Pada 29 September 2021, ditetapkan bahwa RUU HPP akan dibawa ke rapat paripurna untuk diketok menjadi undang-undang.
Tercatat sebanyak delapan dari sembilan fraksi di DPR setuju dengan revisi UU HPP yakni PDI-P, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat, PAN, PPP. Hanya PKS yang menolak revisi tersebut.
RUU HPP pun resmi ditetapkan DPR menjadi Undang-Undang dalam Sidang Paripurna pada 7 Oktober 2021. Rapat saat itu dihadiri 120 anggota dan 327 anggota secara virtual.
"Kepada seluruh anggota dewan, apakah RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dapat disetujui dan disahkan menjadi UU?," tanya Pimpinan Sidang dan Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar dalam Sidang Paripurna pada 7 Oktober 2021, disambut ucapan setuju para anggota DPR.
Adapun UU HPP mengubah dan menambah regulasi terkait perpajakan. Beberapa di antaranya yakni mengubah UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), UU Pajak Penghasilan (UU PPh).
Kemudian, mengubah UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN).
Lalu, mengatur program pengungkapan sukarela Wajib Pajak, mengatur pajak karbon, dan mengubah UU terkait cukai.
Tujuan pembentukan UU ini diklaim untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan ekonomi, mengoptimalkan penerimaan negara.
Selanjutnya diklaim akan mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum, mereformasi administrasi, konsolidasi perpajakan, perluasan basis perpajakan, dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak.
Berdasarkan UU HPP, kenaikan tarif PPN diatur dalam Pasal 7 yang menyebut PPN sebesar 12 persen yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
Dalam UU HPP Pasal 4A, barang yang tidak terkena pajak meliputi makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya, uang, emas batangan, hingga barang kebutuhan pokok. Sejumlah jasa juga dibebaskan dari PPN 12 persen yaitu jasa keagamaan, kesenian dan hiburan, perhotelan, penyediaan tempat parkir, katering, keuangan, hingga pendidikan.
Sejumlah jasa juga dibebaskan dari PPN 12 persen yaitu jasa keagamaan, kesenian dan hiburan, perhotelan, penyediaan tempat parkir, katering, keuangan, hingga pendidikan.
Di sisi lain, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pemerintah akan menerapkan kenaikan tarif PPN 12 persen khusus untuk barang dan jasa mewah.
Menurutnya, barang dan jasa mewah ini dikonsumsi oleh penduduk terkaya dengan pengeluaran menengah ke atas yang masuk dalam kategori desil 9-10 .
"Kita akan menyisir untuk kelompok harga barang dan jasa yang masuk kategori barang dan jasa premium tersebut," terangnya dalam konferensi pers, Senin (16/12/2024).
Barang dan jasa mewah yang akan dikenai PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025 adalah Rumah Sakit kelas VIP atau pelayanan kesehatan premium lainnya; Pendidikan standar internasional berbayar mahal atau pelayanan pendidikan premium lainnya; Listrik pelanggan rumah tangga dengan daya 3600-6600 VA.
Kemudian, beras premium; buah-buahan premium; ikan premium, seperti salmon dan tuna udang dan crustasea premium seperti king crab; daging premium, seperti wagyu atau kobe yang harganya jutaan.
Sedangkan barang yang tidak kena PPN 12 persen yaitu beras, daging ayam ras, daging sapi, ikan bandeng/ikan bolu, ikan cakalang/ikan sisik, ikan kembung/ikan gembung/ikan banyar/ikan gembolo/ikan aso-aso, ikan tongkol/ikan ambu-ambu, ikan tuna, telur ayam ras, cabai hijau, cabai merah, cabai rawit, bawang merah, serta gula pasir.
Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen pun menuai kontra dari masyarakat.
Kebijakan ini diprediksi akan memicu lonjakan harga barang dan jasa, yang berpotensi mengubah pola konsumsi masyarakat. Banyak yang khawatir bahwa PPN yang lebih tinggi akan memberikan efek domino yang merugikan.
Sejumlah elemen masyarakat menggelar aksi tolak kenaikan PPN 12 persen di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (19/12/2024). Inisiator gerakan Bareng Warga, Rasyid Azhari menilai, kenaikan PPN 12 persen akan berdampak luas pada perekonomian masyarakat.
Menurutnya, alasan pemerintah mengatakan bahwa kenaikan PPN 12 persen hanya dikenakan untuk barang mewah merupakan sebuah cara untuk meredam isu ini.
"Harus dibatalkan karena dampaknya sangat luas. Harusnya didengarkan ya, itu doang harapannya," katanya.
Warganet di media sosial juga ramai-ramai menandatangai petisi penolakan kenaikan PPN menjadi 12 persen yang akan berlaku tahun depan.
Penandatanganan petisi penolakan kenaikan PPN 12 persen tersebut dibuka seiring digelarnya demonstrasi tolak kenaikan PPN tersebut. Petisi dibuat oleh akun dengan nama "Bareng Warga" dengan judul "Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!".
Petisi Penolakan Kenaikan PPN 12 persen itu telah diserahkan ke Kantor Kementrian Sekretaris Negara (Kemensesneg) oleh perwakilan aksi massa di Jakarta Pusat, saat aksi demontrasi berlangsung.
Berdasarkan pantauan Kompas.com, hingga Kamis pukul 20.00 WIB, petisi penolakan kenaikan PPN 12 persen tersebut telah ditandatangani lebih dari 132.703 ribu dari target 150.000 orang.