Auditor BPKP: Jangan Sampai PT Timah Pailit dan Sisakan Lingkungan Rusak
JAKARTA, KOMPAS.com - Auditor Investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Suaedi mengingatkan semua pihak untuk mengantisipasi potensi kebangkrutan perusahaan negara, PT Timah Tbk, yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.
Pernyataan ini disampaikan Suaedi dalam sidang dugaan korupsi tata niaga komoditas timah yang menjerat eks Direktur Utama PT Timah Tbk, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, dan sejumlah pihak lainnya.
“Yang perlu diantisipasi bersama adalah jangan sampai PT Timah itu pailit dan menyisakan lingkungan yang rusak,” ungkap Suaedi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (13/11/2024).
Suaedi menjelaskan, tim BPKP telah menerima laporan keuangan PT Timah pada 2019 dari Kantor Auditor Publik (KAP) PricewaterhouseCoopers (PwC) yang dianggap cukup menarik.
Setelah auditor menerbitkan predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) untuk PT Timah Tbk, mereka menggarisbawahi catatan nomor 41 terkait laporan keuangan konsolidasi.
Laporan tersebut menyebutkan bahwa perusahaan mengalami kerugian bersih sebesar Rp 611 miliar, arus kas negatif sebesar Rp 2.080 miliar (Rp 2 triliun), dan pinjaman sebesar Rp 9.459 miliar (Rp 9,4 triliun)
“Jadi kalau kita hitung, Rp 9 triliun yang akan jatuh tempo dalam waktu 12 bulan ke depan,” tambah Suaedi.
Menurut laporan itu, PT Timah Tbk sangat bergantung pada dukungan dari kreditur yang ada, serta perpanjangan beberapa fasilitas kredit dan kreditur baru untuk mendapatkan pinjaman.
Suaedi menegaskan bahwa hal ini menunjukkan adanya ketidakpastian material yang dapat meragukan kemampuan PT Timah Tbk dalam membayar utang.
“Mengindikasikan adanya ketidakpastian material yang dapat menyebabkan keraguan signifikan atas kemampuan grup untuk mempertahankan kelangsungan usahanya. Jadi, poin itu yang bisa kami sampaikan,” tutur Suaedi.
Dalam kasus korupsi ini, negara diduga mengalami kerugian keuangan hingga Rp 300 triliun.
Mantan Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, eks Direktur Keuangan PT Timah Emil Ermindra, serta beberapa pihak lainnya didakwa melakukan korupsi bersama dengan "crazy rich" Helena Lim.
Kasus ini juga melibatkan suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis, yang diduga menjadi perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT).
Harvey diduga mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah untuk meraih keuntungan.
Harvey menghubungi Mochtar untuk mengatur kegiatan pertambangan liar tersebut, dan setelah beberapa kali pertemuan, mereka sepakat untuk menutupi kegiatan itu dengan sewa-menyewa peralatan pengolahan timah.
Harvey kemudian menghubungi beberapa smelter, yaitu PT Tinindo Internusa, CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, serta PT Sariwiguna Binasentosa.
Harvey meminta pihak smelter untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan, yang kemudian diserahkan kepadanya seolah-olah sebagai dana corporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi oleh Helena sebagai Manager PT QSE.
Dari perbuatan melawan hukum ini, Harvey Moeis dan Helena Lim diduga menikmati uang negara sebesar Rp 420 miliar.
“Memperkaya terdakwa Harvey Moeis dan Helena Lim setidak-tidaknya Rp 420.000.000.000,” papar jaksa.
Atas perbuatannya, Harvey Moeis didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, serta Pasal 3 UU Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).