Auditor BPKP Sebut Pembayaran PT Timah ke Sejumlah CV Tidak Sesuai Dokumen

Auditor BPKP Sebut Pembayaran PT Timah ke Sejumlah CV Tidak Sesuai Dokumen

JAKARTA, KOMPAS.com - Auditor Investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Suaedi mengungkapkan bahwa pembayaran bijih timah oleh PT Timah Tbk kepada sejumlah perusahaan berbentuk commanditaire vennootschap (CV) tidak didasarkan pada dokumen yang sah.

Pernyataan ini disampaikan Suaedi dalam sidang dugaan korupsi tata niaga komoditas timah dengan terdakwa Harvey Moeis dan rekan-rekannya.

Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Kamis (14/11/2024), pengacara Harvey Moeis mempertanyakan penerapan prinsip "substance over form" dalam audit yang dilakukan oleh BPKP.

“Yang ingin saya tanyakan kepada ahli, hakikat dari pada bentuk, substance over form ini kenapa harus ada di dalam analytical procedure ini?” katanya.

Suaedi menjelaskan bahwa prinsip substance over form merupakan pendekatan auditor yang lebih mengedepankan hakikat daripada bukti fisik.

Ia memberikan contoh bahwa jika auditor menemukan transaksi yang diklaim telah dibayar tetapi tidak terdapat bukti pembayaran, auditor dapat melakukan klarifikasi.

"Substansinya adalah bahwa uang itu sudah keluar meskipun dokumennya tidak ditemukan pada saat itu," jelas Suaedi.

Pengacara Harvey kemudian menanyakan bagaimana BPKP menerapkan prinsip tersebut dalam menghitung dugaan kerugian negara terkait pembayaran bijih timah dari kegiatan penambangan ilegal.

Ia mencontohkan, salah satu materi dalam perhitungan kerugian negara itu adalah dokumen pembayaran bijih timah yang berasal dari kegiatan penambangan ilegal.

“Apakah ada penerapan substance over form di situ? Bisa saudara ahli jelaskan?” tanya pengacara.

Suaedi lantas menjelaskan, berdasarkan data yang diterima BPKP terkait kegiatan pembayaran bijih timah, terdapat dokumen yang terlihat resmi. Contohnya adalah Surat Perintah Kerja (SPK).

Dalam dakwaan jaksa disebutkan, SPK merupakan dokumen yang diterbitkan PT Timah Tbk untuk perusahaan atau penambang ilegal di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah kepada perusahaan berbentuk CV. 

SPK disebut sebagai akal-akalan untuk melegalkan pembelian bijih timah oleh smelter swasta yang berasal dari penambangan ilegal. Adapun smelter tersebut merupakan perusahaan yang menjalin kerja sama penglogaman dengan PT Timah.

“Itu terlihat itu resmi, legal, contohnya apa? Ada SPK-nya. Ada orang yang terima uangnya. terus kemudian sudah dibayar. Substansi kan sudah ada uang keluar, sudah dibayar,” kata Suaedi.

Suaedi kemudian membenarkan pertanyaan pengacara bahwa PT Timah menerima barang dari pembayaran tersebut dan tercatat dalam berita acara perusahaan negara tersebut.

Meski dari sisi dokumen terlihat legal, BPKP menemukan CV-CV yang mendapatkan SPK itu tidak bisa dipertanggungjawabkan dengan jelas.

Orang yang menjadi direktur perusahan-perusahaan berbentuk CV itu tidak mengetahui mereka menjadi direktur. Pada kasus lainnya, orang itu mengaku KTP-nya dipinjam.

“Kok bisa kamu jadi direktur? iya, Pak saya pernah dipinjam KTP-nya. Saya pernah ke bank, saya disuruh tanda tangan cek kosong. Saya serahkan kepada si C, misalnya,” ujar Suaedi.

Karena itu, kata Suaedi, meskipun pembayaran dilakukan dan PT Timah menerima barang, biaya yang digelontorkan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

“Substance-nya yang kami lihat adalah penggunaan dokumen tidak benar untuk dasar pembayaran,” tegas Suaedi.

Surat dakwaan jaksa menyebut, negara diduga mengalami kerugian keuangan hingga Rp 300 triliun akibat korupsi pada tata niaga komoditas timah.

Mantan Direktur Utama PT Timah Tbk, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, eks Direktur Keuangan PT Timah Emil Ermindra, dan kawan-kawannya didakwa melakukan korupsi ini bersama-sama dengan crazy rich Helena Lim.

Perkara ini juga turut menyeret suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis yang menjadi perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT).

Bersama Mochtar, Harvey diduga mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah untuk mendapat keuntungan.

Harvey menghubungi Mochtar dalam rangka untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah.

Setelah dilakukan beberapa kali pertemuan, Harvey dan Mochtar menyepakati agar kegiatan akomodasi pertambangan liar tersebut di-cover dengan sewa menyewa peralatan processing peleburan timah.

Selanjutnya, suami Sandra Dewi itu menghubungi beberapa smelter, yaitu PT Tinindo Internusa, CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Sariwiguna Binasentosa untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut.

Harvey meminta pihak smelter untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan. Keuntungan tersebut kemudian diserahkan ke Harvey seolah-olah sebagai dana corporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi oleh Helena selaku Manager PT QSE.

Dari perbuatan melawan hukum ini, Harvey Moeis bersama Helena Lim disebut menikmati uang negara Rp 420 miliar.

“Memperkaya terdakwa Harvey Moeis dan Helena Lim setidak-tidaknya Rp 420.000.000.000,” papar jaksa.

Atas perbuatannya, Harvey Moeis didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Tahun 2010 tentang TPPU.

Sumber