Auditor BPKP Sebut Tanpa Sewa Smelter PT Timah, Perusahaan Swasta Tak Bisa Beroperasi
JAKARTA, KOMPAS.com - Auditor Investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Suaedi mengungkapkan bahwa lima perusahaan yang menyewa smelter tidak akan dapat beroperasi tanpa menjalin kerja sama dengan PT Timah Tbk.
Pernyataan ini disampaikan Suaedi saat menjadi saksi ahli dalam sidang dugaan korupsi yang melibatkan mantan Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan rekan-rekannya.
Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (13/11/2024), Hakim Alfis Setyawan menanyakan kepada Suaedi mengenai sewa smelter antara PT Timah dan lima perusahaan swasta.
Ia menjelaskan bahwa tarif sewa untuk satu perusahaan adalah 4.000 dollar AS per ton, sedangkan untuk empat perusahaan lainnya adalah 3.700 dollar AS per ton.
Alfis menyoroti adanya saksi yang menyatakan bahwa kerja sama ini dilakukan karena PT Timah tidak mampu mengolah stok bijih timah yang ada.
“Kalau bicara itu jadinya tidak ada kerugian di sini karena semua proses itu ya ada kondisi, kemudian ada proses yang sebenarnya sah-sah saja. Apakah memang demikian? Dari hasil pemeriksaan yang ahli lakukan tolong dijelaskan?” tanya Hakim Alfis.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Suaedi menjelaskan bahwa tidak ada yang salah dengan kegiatan bisnis antar perusahaan.
Namun, ia mengungkapkan bahwa kerja sama tersebut merupakan program lanjutan.
Berdasarkan berita acara pemeriksaan (BAP) dari penyidik, Suaedi menyebutkan bahwa penambangan ilegal di Bangka Belitung sangat marak, sehingga lima smelter swasta yang merupakan pesaing PT Timah Tbk dapat mengekspor timah lebih besar dibandingkan perusahaan negara tersebut.
Suaedi menjelaskan bahwa pertemuan antara PT Timah dan pemilik smelter dilakukan untuk meminta mereka menjual 5 persen dari kuota ekspor mereka kepada PT Timah.
“Dalam prosesnya itu kan tidak berlangsung smooth. Tidak semua orang mau menjual karena memang lebih baik jual sendiri dibanding ngapain harus ke PT Timah,” tutur Suaedi.
Meskipun program tersebut tidak berhasil, hal ini berkontribusi pada kesepakatan sewa smelter.
Suaedi juga mencatat bahwa pada 2018, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan aturan yang mewajibkan perusahaan tambang dan smelter memiliki competent person Indonesia (CPI), dan saat itu hanya PT Timah yang memiliki CPI.
“Jadi artinya para smelter swasta itu kan kompetitornya PT Timah, makanya ada peran dari pihak-pihak tertentu yang ingin atau menjalin kerja sama kepada PT Timah,” ujar Suaedi.
Dalam perkara korupsi ini, negara diduga mengalami kerugian keuangan hingga Rp 300 triliun.
Mantan Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, eks Direktur Keuangan PT Timah Emil Ermindra, dan kawan-kawannya didakwa melakukan korupsi ini bersama-sama dengan crazy rich Helena Lim.
Perkara ini juga turut menyeret suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis yang menjadi perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT).
Bersama Mochtar, Harvey diduga mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah untuk mendapat keuntungan.
Harvey menghubungi Mochtar dalam rangka untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah.
Setelah dilakukan beberapa kali pertemuan, Harvey dan Mochtar menyepakati agar kegiatan akomodasi pertambangan liar tersebut di-cover dengan sewa menyewa peralatan processing peleburan timah.
Selanjutnya, suami Sandra Dewi itu menghubungi beberapa smelter, yaitu PT Tinindo Internusa, CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Sariwiguna Binasentosa untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut.
Harvey meminta pihak smelter untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan. Keuntungan tersebut kemudian diserahkan ke Harvey seolah-olah sebagai dana corporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi oleh Helena selaku Manager PT QSE.
Dari perbuatan melawan hukum ini, Harvey Moeis bersama Helena Lim disebut menikmati uang negara Rp 420 miliar.
“Memperkaya terdakwa Harvey Moeis dan Helena Lim setidak-tidaknya Rp 420.000.000.000,” papar jaksa.
Atas perbuatannya, Harvey Moeis didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Tahun 2010 tentang TPPU.