Auditor BPKP Ungkap Kejanggalan Laporan Keuangan PT Timah 2019: Pendapatan Tertinggi, Kerugian Terbesar

Auditor BPKP Ungkap Kejanggalan Laporan Keuangan PT Timah 2019: Pendapatan Tertinggi, Kerugian Terbesar

JAKARTA, KOMPAS.com - Auditor Investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Suaedi menyebut, laporan keuangan PT Timah tahun 2019 dengan tingkat produksi dan pendapatan paling tinggi namun justru mengalami kerugian terbesar tidak normal.

Keterangan ini Suaedi sampaikan ketika dihadirkan sebagai ahli kerugian keuangan negara dalam sidang dugaan korupsi pada tata niaga komoditas timah dengan terdakwa Harvey Moeis dan kawan-kawan.

Suaedi mengatakan, berdasarkan data yang pihaknya dapatkan dari PT Timah, perusahaan negara itu melaporkan tingkat produksi logam timah tertinggi pada 2019. BPKP kemudian membandingkan antara persediaan logam timah dengan laba dan rugi.

“Sekitar ada Rp 7 triliun, persediaannya saja. Tapi di saat yang sama pada saat kami melihat laporan konsolidasi di tahun 2019 justru ruginya paling besar di antara perjalanan ini (data keuangan tahunan),” kata Suaedi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (14/11/2024).

Ketua Majelis Hakim Pengadilan tipikor Jakarta Pusat, Eko Aryanto lantas menimpali apakah menurut sudut pandang auditor laporan keuangan itu normal.

“Tidak normal Yang Mulia,” jawab Suaedi.

“Ya sudah gitu saja. Sampai di situ. Terus apa lagi? Maksudnya ini apa itu karena dibuat-buat atau bagaimana?” tanya hakim Eko.

Menurut Suaedi, laporan itu keuangan itu tidak dibuat-buat. Ia lantas menjelaskan perbandingan antara angka penjualan dengan kerugian dan laba.

Dari data yang didapatkan disimpulkan, tingginya pendapatan PT Timah Tbk pada tahun tersebut tidak diikuti dengan kenaikan laba bersih. Ketika pendapatan perusahaan melonjak, laba bersih yang didapatkan justru kecil.

“Jadi anomali justru di tahun 2019, di mana penjualan paling tinggi, namun ruginya paling tinggi. Itu anomali dari sudut pandang accounting Yang Mulia,” jelas Suaedi.

Menghadapi keanehan data itu, BPKP kemudian mencoba mengidentifikasi dengan cara membandingkan tingkat penjualan dengan harga pokok produksi. 

BPKP menemukan, Harga Pokok Peleburan (HPP) atau biaya produksi logam timah terlalu besar. Pihaknya menemukan selisih antara HPP dengan harga penjualan sangat kecil pada periode 2017 sampai 2020.

“Namanya gross profit (laba kotor) itu belum dikurangi dengan biaya biaya umum, biaya administratif. Itu belum,” tutur Suaedi.

“Itu saja gap-nya kecil sekali. Makanya meskipun penjualannya tinggi tetapi di saat yang sama di tahun 2019 justru ruginya itu paling tinggi. Itu anomali,” tambahnya.

Dalam perkara korupsi ini, negara diduga mengalami kerugian keuangan hingga Rp 300 triliun.

Mantan Direktur Utama PT Timah Tbk, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, eks Direktur Keuangan PT Timah Emil Ermindra, dan kawan-kawannya didakwa melakukan korupsi ini bersama-sama dengan pengusaha Helena Lim.

Perkara ini juga turut menyeret suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis yang menjadi perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT).

Dari perbuatan melawan hukum ini, Harvey Moeis bersama Helena Lim disebut menikmati uang negara Rp 420 miliar.

Sumber