Auditor BPKP Ungkap Rincian Kerugian Rp 300 Triliun Akibat Dugaan Korupsi di PT Timah
JAKARTA, KOMPAS.com - Auditor Investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Suaedi mengungkapkan adanya dugaan kerugian negara dan kerugian perekonomian akibat korupsi dalam tata niaga komoditas timah di PT Timah Tbk, yang diperkirakan mencapai Rp 300 triliun.
Pernyataan ini disampaikan Suaedi saat menjadi saksi ahli dalam sidang kasus korupsi dengan terdakwa Harvey Moeis dan kawan-kawan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Kamis (14/11/2024).
Keterangan Suaedi dan laporan perhitungan kerugian negara dari BPKP menjadi salah satu dasar dakwaan utama yang diajukan oleh jaksa penuntut umum.
Suaedi menjelaskan, dalam audit PT Timah, BPKP membagi tiga klaster. Pertama menyangkut kemahalan pembayaran biaya sewa smelter swasta.
Kerja sama sewa smelter PT Timah dengan perusahaan swasta menghabiskan biaya Rp 3 triliun.
“Ini sudah masuk dalam laporan kami, berapa jumlah pembayaran kepada para smelter,” ujar Suaedi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (14/11/2024).
PT Timah membayar sewa smelter PT Refined Bangka Tin (RBT), perusahaan yang diwakili Harvey Moeis 4.000 dollar AS per ton dan 3.700 dollar AS untuk empat perusahaan lainnya.
Keempat perusahaan itu adalah PT Tinindo Internusa, CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Sariwiguna Binasentosa.
Padahal, kata Suaedi, alat produksi PT Timah sebenarnya mampu beroperasi dan bisa melakukan produksi sendiri dengan biaya di angka sekitar 1.000 dollar AS per ton.
Kerugian negara ini dihitung dengan metode net loss (kerugian negara bersih).
“Kemahalan harga pembayaran smelter,” ujar Suaedi.
Klaster kedua menyangkut pembelian bijih timah sebanyak 68,01 ton senilai Rp 11,1 triliun. Bijih itu kemudian diolah menjadi logam melalui lima smelter swasta tersebut.
Padahal, bijih timah yang dibeli dengan harga Rp 11,1 triliun itu bersumber dari wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah. Artinya, PT Timah membeli timah miliknya sendiri.
“Dari pelaku tambang ilegal juga, ada yang masuk mitra PT Timah dan diolah di PT Timah sebanyak 85,99 ton dengan jumlah pembayaran senilai Rp 15,5 triliun,” tutur Suaddi.
Di luar itu, terdapat kerugian lingkungan akibat kegiatan penambangan timah di bangka Belitung dengan nilai Rp 271.069.688.018.700 atau Rp 271 triliun.
Kerugian lingkungan itu terdiri dari kerugian ekologi Rp 183.703.234.398.100, kerugian ekonomi lingkungan Rp 74.479.370.880.000, dan biaya pemilihan Rp 11.887.082.740.600.
Dari jumlah tersebut didapatkan total kerugian negara dan kerugian lingkungan Rp 300.003.263.938.131,14.
Dalam perkara korupsi ini, negara diduga mengalami kerugian keuangan hingga Rp 300 triliun.
Mantan Direktur Utama PT Timah Tbk, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, eks Direktur Keuangan PT Timah Emil Ermindra, dan kawan-kawannya didakwa melakukan korupsi ini bersama-sama dengan crazy rich Helena Lim.
Perkara ini juga turut menyeret suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis yang menjadi perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT).
Bersama Mochtar, Harvey diduga mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah untuk mendapat keuntungan.
Harvey menghubungi Mochtar dalam rangka untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah.
Setelah dilakukan beberapa kali pertemuan, Harvey dan Mochtar menyepakati agar kegiatan akomodasi pertambangan liar tersebut di-cover dengan sewa menyewa peralatan processing peleburan timah.
Selanjutnya, suami Sandra Dewi itu menghubungi beberapa smelter, yaitu PT Tinindo Internusa, CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Sariwiguna Binasentosa untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut.
Harvey meminta pihak smelter untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan. Keuntungan tersebut kemudian diserahkan ke Harvey seolah-olah sebagai dana corporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi oleh Helena selaku Manager PT QSE.
Dari perbuatan melawan hukum ini, Harvey Moeis bersama Helena Lim disebut menikmati uang negara Rp 420 miliar.
“Memperkaya terdakwa Harvey Moeis dan Helena Lim setidak-tidaknya Rp 420.000.000.000,” papar jaksa.
Atas perbuatannya, Harvey Moeis didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Tahun 2010 tentang TPPU.