Bacakan Pleidoi, Harvey Moeis Bantah Nikmati Uang Korupsi Rp 300 Triliun

Bacakan Pleidoi, Harvey Moeis Bantah Nikmati Uang Korupsi Rp 300 Triliun

JAKARTA, KOMPAS.com - Terdakwa kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah Harvey Moeis mengatakan bahwa dia, keluarganya, maupun terdakwa lainnya dalam kasus timah tidak pernah punya, melihat, bahkan menikmati uang korupsi senilai Rp 300 triliun.

Diketahui, dalam surat tuntutan, Harvey Moeis bersama Direktur Utama PT RBT Suparta dan Direktur Pengembangan Usaha PT RBT Reza Andriansyah disebut menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun dalam tuntutan jaksa.

"Angka itu 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita mungkin, jadi saya mohon izin klarifikasi kepada masyarakat Indonesia bahwa kami tidak pernah menikmati uang sebesar itu," kata Harvey saat membacakan nota pembelaan (pleidoi) dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (18/12/2024), dikutip dari Antaranews.

Dalam pembelaannya, suami aktris Sandra Dewi ini juga mengaku janggal dengan perhitungan ahli Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait dengan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi timah.

Apalagi, menurut dia, ahli yang menghitung kerugian negara tersebut tidak profesional saat dihadirkan dalam sidang pemeriksaan beberapa waktu lalu.

Harvey menyebut, ahli malas menjawab saat dirinya, penasihat hukum, masyarakat, hingga majelis hakim ingin menggali keterangannya di persidangan.

Demikian juga, dia mengatakan, ketika pihaknya memohon hasil perhitungan ahli untuk lebih diteliti. Saat itu permohonan tersebut ditolak mentah-mentah.

Oleh karena itu, Harvey mengaku, dia masih sangat bingung asal dari perhitungan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun dalam kasus timah.

Bahkan, Harvey berani menilai bahwa auditor, jaksa, maupun masyarakat Indonesia sudah terkena prank oleh ahli tersebut.

"Saya yakin majelis hakim tidak akan bisa di-prank oleh ahli," tutur Harvey.

Sebagaimana diketahui, Jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung (Kejagung) menuntut Harvey dipenjara selama 12 tahun dan dijatuhi denda sebesar Rp 1 miliar subsidair 1 tahun bui.

Jaksa menilai, suami Sandra Dewi itu terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara sah dan meyakinkan secara bersama-sama sebagaimana dakwaan kesatu primair.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Harvey Moeis dengan pidana penjara selama 12 tahun,” kata jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Senin, 9 Desember 2024.

Tidak hanya itu, jaksa juga menuntut Harvey untuk membayar uang pengganti senilai Rp 210 miliar dikurangi nilai aset yang telah disita penyidik.

Namun, jika harta benda milik Harvey tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka diganti pidana kurungan selama enam tahun.

Dalam perkara pengelolaan tata niaga komoditas timah ini negara diduga mengalami kerugian keuangan hingga Rp 300 triliun.

Berdasarkan surat tuntutan, Harvey yang merupakan perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) bersama eks Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani diduga mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah untuk mendapat keuntungan.

Harvey menghubungi Mochtar dalam rangka untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah.

Setelah dilakukan beberapa kali pertemuan, Harvey dan Mochtar menyepakati agar kegiatan akomodasi pertambangan liar tersebut di-cover dengan sewa menyewa peralatan processing peleburan timah.

Selanjutnya, suami Sandra Dewi itu menghubungi beberapa smelter, yaitu PT Stanindo Inti Perkasa, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, dan PT Tinindo Internusa untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut.

Harvey meminta pihak smelter untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan. Keuntungan tersebut kemudian diserahkan ke Harvey seolah-olah sebagai dana corporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi oleh Manager PT QSE, Helena Lim.

Dari perbuatan melawan hukum ini, Harvey Moeis bersama Helena Lim disebut menikmati uang negara Rp 420 miliar.

Atas perbuatannya, Harvey Moeis dianggap telah melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Sumber