Bagaimana Donald Trump Melakukan Comeback yang Mengejutkan?

Bagaimana Donald Trump Melakukan Comeback yang Mengejutkan?

EMPAT tahun setelah terlempar dari Gedung Putih, Donald Trump secara dramatis kembali ke tampuk kekuasaan. Presiden ke-45 Amerika Serikat (AS) itu akan menjadi presiden lagi, setelah 70-an juta warga negara itu memberinya kesempatan kedua di tengah sejumlah kontroversi dan kasus hukum yang menimpanya.

Kampanye pemilunya tercatat dalam buku sejarah dia selamat dari dua upaya pembunuhan dan lawan awalnya dalam Pemilu 2024 ini, Presiden Joe Biden, mengundurkan diri hanya beberapa bulan sebelum pemilu digelar.

Penghitungan suara memang belum final, tetapi hasil sementara menunjukkan bahwa mayoritas warga AS, termasuk di sejumlah negara bagian yang menjadi medan utama perebutan suara, memilih dia. Trump menang di sejumlah negara bagian yang masuk kategori battleground, seperti di Pennsylvania, Georgia, dan Wisconsin.

Banyak dari pemilih menyebut masalah ekonomi dan imigrasi sebagai kekhawatiran utama mereka dan hal itu memengaruhi keputusan mereka saat memilih Trump.

Kemenangan Trump terjadi setelah kejatuhannya yang spektakuler. Dia menolak untuk menerima hasil pemilu tahun 2020, saat dia kalah dari Biden. Perannya dalam upaya untuk membatalkan hasil pemilu tahun 2020, saat itu dia menjabat sebagai presiden, masih diselidiki aparat penegakan hukum AS hingga saat ini.

Trump menghadapi sejumlah dakwaan karena diduga telah menghasut aksi kekerasan di Gedung Capitol pada 6 Januari 2021. Dia juga akan membuat sejarah sebagai presiden AS pertama yang dihukum karena tindak pidana, setelah dinyatakan bersalah telah memalsukan catatan bisnis.

Sosoknya yang seperti itu sangat membuat masyarakat jadi terpolarisasi. Sepanjang kampanyenya, Trump menggunakan retorika yang menghasut, melontarkan lelucon kasar dan mengancam akan membalas dendam pada musuh-musuh politiknya.

BBC melaporkan, hanya sedikit orang memiliki pandangan yang netral tentang Trump. Kebanyakan orang memiliki pendapat ekstrem tentang dia entah sangat mendukung atau sangat menentangnya.

Wartawan BBC, Sarah Smith, menulis bahwa sebagian besar pemilih yang dia wawancarai saat kampanye mengatakan, mereka berharap Trump berhenti menggunakan bahasa yang kasar atau tidak pantas (shut his potty mouth). Namun, walau mereka tidak menyukai cara bicaranya, mereka bisa mengabaikan hal itu dan tetap mendukungnya karena alasan lain yang lebih penting.

 

Mereka lebih fokus pada pertanyaan yang dia ajukan di setiap acara kampanye “Apakah keadaan kalian sekarang menjadi lebih baik ketimbang dua tahun lalu?”

Menurut Smith, orang-orang yang memilih Donald Trump umumnya mengatakan bahwa mereka merasa perekonomian jauh lebih baik ketika dia menjadi presiden. Mereka merasa lelah dan frustrasi dengan kesulitan ekonomi saat ini dan harus terus berjuang untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup.

Walau sebagian besar penyebab inflasi disebabkan faktor eksternal, seperti pandemi Covid-19, warga tetap menyalahkan pemerintahan saat ini atas kesulitan ekonomi itu.

Para pemilih juga sangat prihatin dengan imigrasi ilegal yang telah mencapai rekor tertinggi di bawah pemerintahan Biden. Mereka biasanya tidak mengungkapkan pandangan yang rasialis atau tidak percaya para imigran memakan hewan peliharaan orang, seperti yang diklaim Trump dan para pendukungnya.

Namun, mereka menginginkan kebijakan imigrasi di perbatasan lebih tegas. Keprihatinan mereka terutama terkait keamanan dan pengelolaan perbatasan yang lebih baik.

Smith menulis, banyak warga AS, baik yang berhaluan kiri maupun kanan, mengeluh tentang miliaran dollar dana yang dihabiskan untuk mendukung Ukraina padahal mereka berpikir bahwa uang itu akan jauh lebih bermanfaat jika dibelanjakan di dalam negeri.

Pada akhirnya, mereka tidak bisa memilih Kamala Harris, yang menjabat sebagai wakil presiden Biden selama empat tahun terakhir. Mereka yakin keadaan akan sama saja, padahal mereka menginginkan perubahan.

Namun, di situlah letak salah satu ironi dari pemilu AS kali ini, yaitu bahwa calon yang paling dianggap mewakili perubahan sebenarnya adalah orang pernah berkuasa empat tahun lalu.

Hanya memang ada beberapa perbedaan antara dulu dan sekarang. Ketika Trump pertama kali berkuasa tahun 2016, dia merupakan orang luar di dunia politik. Trump tidak punya banyak pengalaman politik formal.

Karena itu, Trump, setidaknya untuk sementara, dikelilingi para penasihat dan staf politik berpengalaman untuk membimbingnya dalam menjalankan roda pemerintahan dan membatasi tindakannya agar sesuai dengan norma dan prosedur politik yang ada.

 

Sekarang, Trump tampaknya tidak terlalu tertarik mengikuti aturan-aturan yang biasa berlaku dalam dunia politik. Trump tampaknya akan cenderung bertindak dengan caranya sendiri, tanpa begitu memedulikan atau merasa terikat pada tradisi atau standar politik yang telah mapan.

BBC melaporkan, banyak dari penasihat dan staf yang dulu bersama dia telah angkat bicara. Mereka menyebut Trump sebagai “pembohong”, “fasis” dan “tidak layak”. Mereka telah memperingatkan, jika Trump dikelilingi para loyalisnya, dan hal ini diperkirakan akan dia lakukan, maka tidak akan ada seorang pun yang dapat menghentikannya dari ide-idenya yang lebih ekstrem.

Ketika dia meninggalkan jabatannya empat tahun lalu, dia menghadapi serangkaian tuntutan pidana terkait perannya dalam kerusuhan di Gedung Capitol, cara dia menangani dokumen yang berkaitan dengan keamanan nasional, dan pembayaran uang tutup mulut kepada seorang bintang porno.

Namun, setelah Mahkamah Agung AS memutuskan bahwa presiden mempunyai kekebalan dari penuntutan atas tindakan resmi yang dia lakukan, akan menjadi perjuangan berat bagi jaksa mana pun di negara itu untuk menuntutnya pada pemerintahan berikutnya.

Sebagai presiden, Trump dapat menginstruksikan departemen kehakiman membatalkan tuntutan federal terhadap dirinya terkait kerusuhan pada 6 Januari 2021 sehingga dia tidak perlu khawatir akan hukuman penjara. Pada saat yang sama, dia bisa mengampuni ratusan orang yang dijatuhi hukuman penjara karena terlibat dalam di kerusuhan Capitol itu.

Pada akhirnya, menurut Smith, para pemilih disuguhi dua versi Amerika. Donald Trump memberi tahu mereka bahwa negara mereka merupakan negara gagal dan hanya dia yang bisa membuatnya jadi hebat lagi (Make Great Again).

Sementara itu, Kamala Harris teah mengingatkan bahwa jika Trump terpilih, demokrasi AS akan menghadapi ancaman yang sangat serius. Harris yakin kemenangan Trump bisa merusak dasar-dasar sistem politik AS.

Apakah peringatan Harris benar? Masih harus dibuktikan. Namun, apa yang dikatakan Trump selama masa kampanye tidak sepenuhnya meredakan kecemasan masyarakat. Dia memuji para pemimpin otoriter seperti Vladimir Putin dari Rusia dan Kim Jong Un dari Korea Utara, yang menurut dia “berada di puncak permainan mereka, suka atau tidak”.

Trump telah berbicara tentang upaya membungkam kritik di media. Beberapa hari sebelum pemilu, dia melontarkan komentar yang menyiratkan bahwa dia tidak keberatan jika awak media dibunuh.

Dia terus memperkuat teori konspirasi dan klaim tidak berdasar mengenai kecurangan pemilu – meskipun pemilu pada akhirnya memberinya kemenangan.

 

Sekarang, para pemilih akan mengetahui, apakah yang dia katakan selama kampanye hanyalah omong kosong belaka. Dia mungkin hanya berbicara tanpa pertimbangan atau tanpa niat untuk menepati janji-janjinya, sesuai dengan gaya komunikasinya yang seringkali kontroversial.

Satu hal lagi, dampak kepemimpinan Trump tidak hanya dirasakan warga AS, tetapi juga oleh dunia internasional. Negara-negara lain akan mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud dengan slogan “America First”, yang mengutamakan kepentingan AS di atas kepentingan global.

Trump telah mengusulkan tarif impor 20 persen untuk negaranya. Dia menjanjikan akan mengupayakan perang di Ukraina dan Timur Tengah diakhiri, terlepas pihak mana yang menang.

Donald Trump tidak berhasil melaksanakan semua rencananya pada masa jabatan pertamanya. Sekarang dengan mandat kedua dan hambatan yang jauh lebih ringan, AS dan seluruh dunia akan melihat apa yang sebenarnya bisa dilakukan Trump.

Sumber