Bagaimana Pemberontak Suriah Menggulingkan Presiden Bashar Al Assad dan Apa Peran Turkiye?
SETELAH 13 tahun terlibat perang saudara, para pemberontak Suriah melihat kesempatan untuk menumbangkan rezim Presiden Bashar Al Assad. Dua sumber kantor berita Reuters mengatakan, sekitar enam bulan lalu, para pemberontak Suriah berkomunikasi dengan Turkiye tentang rencana serangan besar-besaran dan mereka kemudian merasa telah mendapat persetujuan secara implisit dari Turkiye.
Serangan para pemberontak Suriah baru mulai diluncurkan dua minggu lalu. Operasi itu secara kilat mencapai tujuannya yang pertama, yaitu merebut kota terbesar kedua Suriah, Aleppo. Pencapaian itu mengejutkan semua orang. Dari Aleppo, dalam waktu lebih dari seminggu, aliansi para pemberontak mencapai Damaskus dan pada hari Minggu (8/12/2024) mereka mengakhiri lima dekade kekuasaan keluarga Assad di Suriah.
Kemajuan kilat itu tak lepas dari perpaduan sempurna berbagai faktor yang menguntungkan para pemberontak pasukan Assad mengalami demoralisasi dan kelelahan; sekutu utama Assad, yaitu Iran dan kelompok Hizbullah yang berbasis di Lebanon sedang sangat lemah akibat konflik dengan Israel; dan pendukung militer utamanya lainnya, yaitu Rusia, teralihkan perhatiannya pada perang di Ukraina dan kehilangan minat untuk membantu Assad.
Sumber-sumber Reuters itu (seorang diplomat dan seorang anggota oposisi Suriah) mengatakan, para pemberontak Suriah tidak mungkin melanjutkan aksi mereka tanpa terlebih dahulu memberi tahu Turkiye. Turkiye, yang memiliki garis perbatasan dengan Suriah sepanjang 911 kilometer, telah menjadi pendukung utama oposisi Suriah sejak awal perang saudara, tahun 2011.
Turkiye punya pasukan di wilayah barat laut Suriah dan memberikan dukungan kepada beberapa kelompok pemberontak yang berniat ambil bagian dalam serangan terhadap rezim Assad, termasuk Syrian National Army (SNA) atau Tentara Nasional Suriah.
Turkiye memang menganggap faksi utama dalam aliansi para pemberontak tersebut, yaitu Hayat Tahrir al-Sham (HTS), sebagai kelompok teror. Namun, Turkiye telah beroperasi bersama kelompok itu selama bertahun-tahun di Suriah utara dan diyakini memiliki pengaruh signifikan terhadap kelompok tersebut.
Menurut diplomat yang jadi sumber Reuters, rencana berani para pemberontak itu merupakan gagasan HTS dan pemimpinnya Ahmed al-Sharaa, yang lebih dikenal sebagai Abu Mohammed Al Golani. Karena punya sejarah hubungan dengan Al Qaeda, Golani ditetapkan sebagai teroris oleh Washington, Eropa, dan Turkiye.
Namun, selama dekade terakhir, HTS, yang sebelumnya dikenal sebagai Front Nusra, telah mencoba memoderasi citra dirinya, dengan menjalankan negara bayangan yang berpusat di Provinsi Idlib. Di wilayah itu, menurut sejumlah pakar, HTS memungut pajak dari aktivitas ekonomi dan penduduk setempat.
Pemerintahan Presiden Turkiye, Tayyip Erdogan, yang mencapai kesepakatan dengan Rusia tahun 2020 untuk mengurangi eskalasi pertempuran di barat laut Suriah, telah lama menentang serangan besar pemberontak Suriah. Alasannya, Turkiye khawatir hal itu akan menyebabkan gelombang baru para pengungsi melintasi perbatasannya.
Namun, sumber-sumber Reuters itu mengatakan, para pemberontak merasakan sikap Ankara yang semakin tegas terhadap Assad awal tahun ini. Perubahan sikap itu terjadi setelah Assad menolak berbagai pendekatan Erdogan yang bertujuan untuk mencari solusi politik atas kebuntuan militer. Perang saudara telah memecah Suriah. Sebagian besar wilayah (sekitar 70 persen) dikuasi rezim Assad, sisanya dikuasi kelompok pemberontak dengan sejumlah pendukung asing.
Sumber Reuters dari pihak oposisi Suriah mengatakan, pemberontak telah menunjukkan rincian perencanaan kepada Turkiye, setelah berbagai upaya Ankara untuk melawan Assad gagal.
Pesannya adalah "Jalan lain itu tidak berhasil selama bertahun-tahun. Mari mencoba jalan yang kami tawarkan. Anda tidak perlu melakukan apapun, asal jangan campur tangan."
Hadi Al-Bahra, pemimpin oposisi Suriah yang diakui secara internasional, mengatakan kepada Reuters pekan lalu bahwa HTS dan SNA punya perencanaan bersama yang "terbatas" sebelum operasi itu digelar dan setuju untuk " mencapai kerja sama dan tidak saling bentrok”. Dia menambahkan, militer Turkiye tahu apa yang dilakukan dan didiskusikan kelompok-kelompok bersenjata tersebut.
Menteri Luar Negeri Turkiye, Hakan Fidan, yang berbicara di Doha pada hari Minggu lalu, mengatakan upaya Erdogan dalam beberapa bulan terakhir untuk menghubungi Assad gagal dan Turkiye “tahu sesuatu akan terjadi”.
Namun, Wakil Menteri Luar Negeri Turkiye, Nuh Yilmaz, mengatakan pada konferensi urusan Timur Tengah di Bahrain pada hari Sabtu bahwa Ankara tidak berada di belakang serangan tersebut, dan tidak memberikan persetujuannya, serta mengatakan bahwa pihaknya khawatir akan terjadinya ketidakstabilan.
Kementerian luar negeri dan pertahanan Turkiye tidak menanggapi pertanyaan Reuters mengenai hubungan antara HTS-Ankara terkait operasi Aleppo. Menanggapi pertanyaan tentang sejauh mana Turkiye tahu persiapan di medan perang, seorang pejabat Turkiye mengatakan bahwa HTS “tidak menerima perintah atau arahan dari kami (dan) juga tidak mengoordinasikan operasinya dengan kami.”
Pejabat itu mengatakan, “terkait hal ini” tidak benar jika dikatakan bahwa operasi di Aleppo dilakukan dengan persetujuan atau ada lampu hijau dari Turkiye.
Meskipun para pejabat Turki membantah klaim keterlibatan mereka, para pengamat percaya bahwa serangan tersebut, yang tampaknya selaras dengan tujuan jangka panjang Turkiye, tidak akan terlaksana tanpa persetujuan Ankara.
Soalnya, hal itu memungkinkan Turkiye, melalui proksinya di Suriah, Tentara Nasional Suriah, untuk melawan pasukan Kurdi di Suriah yang bersekutu dengan musuh bebuyutannya, Partai Pekerja Kurdistan (PKK).
Para pemberontak menyerang saat Assad berada dalam kondisi paling rentan.
Sekutu militer Assad, yaitu Rusia, Iran, dan Hizbullah gagal memobilisasi kekuatan yang telah menopang Assad selama bertahun-tahun. Para sekutunya itu fokus pada peperangan di tempat lain.
Angkatan bersenjata Suriah yang lemah tidak mampu melawan para pemberontak. Sebuah sumber di rezim itu mengatakan kepada Reuters bahwa tank-tank dan pesawat tidak memiliki bahan bakar karena korupsi dan penjarahan. Hal itu menjadi gambaran tentang betapa rapuhnya rezim Assad.
Sumber itu, yang minta namanya tidak disebutkan karena takut akan aksi pembalasan, mengatakan bahwa dalam dua tahun terakhir moral para tentara tergerus sangat parah.
Aljazeera melaporkan bahwa para tentara dan petugas polisi Suriah meninggalkan pos-pos mereka, menyerahkan senjata, dan melarikan diri saat pasukan para pemberontak bergerak maju ke wilayah-wilayah yang selama ini dikuasai pasukan pemerintah.
Aron Lund, peneliti di Century International, sebuah lembaga think tank yang berfokus pada isu Timur Tengah, mengatakan koalisi yang dipimpin HTS lebih kuat dan lebih koheren dibandingkan kekuatan pemberontak sebelumnya selama perang, “dan banyak dari hal itu merupakan hasil kerja Abu Mohammed al-Golani". Namun, kata dia, kelemahan rezim merupakan faktor penentunya.
Kecepatan laju para pemberontak, dengan direbutnya Hama pada 5 Desember dan jatuhnya Homs pada atau sekitar hari Minggu, pada saat yang sama pasukan pemerintah kehilangan Damaskus, melampaui perkiraan.
“Ada sebuah peluang tetapi tidak ada yang memperkirakan rezim akan runtuh secepat itu. Semua orang mengharapkan adanya perlawanan,” kata Bassam Al-Kuwatli, presiden Partai Liberal Suriah, sebuah kelompok oposisi kecil, yang berbasis di luar Suriah.
Seorang pejabat AS mengatakan, meskipun Washington mengetahui dukungan secara umum Turkiye terhadap para pemberontak, namun mereka tidak diberitahu mengenai persetujuan diam-diam Turkiye atas serangan di Aleppo.
Presiden terpilih AS Donald Trump pada hari Minggu mengatakan, pengabaian Rusia terhadap Assad menyebabkan kejatuhannya. Dia menambahkan, Moskwa seharusnya tidak melindungi Assad sejak awal dan kemudian kehilangan minat karena perang di Ukraina yang seharusnya tidak dimulai.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada hari Minggu menyoroti peran negaranya dalam melemahkan Hizbullah. Menurut sumber-sumber Reuters, Hizbullah menarik sisa pasukannya dari Suriah pada hari Sabtu.
Sumber-sumber yang mengetahui pengerahan pasukan Hizbullah mengatakan, kelompok yang didukung Iran itu, yang mendukung Assad pada awal perang, telah menarik banyak kombatan elitenya dari Suriah selama setahun terakhir. Penarikan itu dalam rangka mendukung serangan terhadap Israel, konflik yang meluas dari perang di Gaza dengan Hamas.
Israel telah memberikan pukulan keras kepada Hizbullah, terutama setelah melancarkan serangan pada September lalu, yang menewaskan pemimpin kelompok itu Hassan Nasrallah dan banyak komandan serta kombatannya.
Serangan para pemberontak Suriah dimulai pada hari yang sama saat gencatan senjata mulai berlaku dalam konflik Israel-Hizbullah pada 27 November. Sumber yang dekat dengan Hizbullah mengatakan, mereka tidak ingin terlibat dalam pertempuran besar di Suriah karena kelompok itu fokus untuk memulai perjalanan panjang pemulihan dari pukulan berat Israel.
Bagi aliansi para pemberontak, penarikan pasukan Hizbullah memberikan peluang berharga. “Kami hanya menginginkan pertarungan yang adil antara kami dan rezim,” kata sumber Reuters di oposisi Suriah.
Jatuhnya Assad menandai pukulan besar terhadap pengaruh Iran di Timur Tengah, yang terjadi begitu cepat setelah pembunuhan Nasrallah dan kerusakan yang dilakukan Israel terhadap Hizbullah.
Di sisi lain, Turkiye kini tampaknya menjadi pemain eksternal paling kuat di Suriah, dengan pasukannya yang berada di lapangan dan akses terhadap para pemimpin pemberontak.
Selain mengamankan kembalinya para pengungsi Suriah, tujuan Turkiye juga mencakup mengekang kekuatan kelompok Kurdi Suriah yang menguasai wilayah luas di timur laut Suriah. Kelompok Kurdi Suriah itu didukung Amerika Serikat. Ankara menganggap kelompok Kurdi Suriah sebagai teroris.
Sebagai bagian dari serangan awal para pemberontak Suriah, SNA yang didukung Turkiye merebut sebagian besar wilayah, termasuk kota Tel Refaat, dari pasukan Kurdi yang didukung AS. Pada hari Minggu lalu, sumber keamanan Turkiye mengatakan pemberontak memasuki kota Manbij di utara setelah memukul mundur pasukan Kurdi.
“Turkiye merupakan pihak luar yang menjadi pemenang terbesar di sini. Erdo?an terbukti berada di pihak benar – atau setidaknya pihak yang menang – dalam sejarah ini karena proksinya di Suriah yang menang,” kata Birol Baskan, ilmuwan politik yang berbasis di Turkiye dan mantan peneliti non-residen di Middle East Institute.