Bagaimana Poros Perlawanan Iran Bisa Berantakan?

Bagaimana Poros Perlawanan Iran Bisa Berantakan?

IRAN membangun apa yang disebut sebagai "poros perlawanan" selama empat dekade terakhir. Poros itu merupakan sebuah aliansi informal antara Iran dan kelompok-kelompok serta negara-negara di Timur Tengah yang memiliki sikap oposisi terhadap kepentingan Amerika Serikat (AS), Israel, dan sekutu mereka di kawasan itu.

Poros tersebut berpusat pada ideologi anti-Israel, anti-Amerika, dan sering kali berlandaskan solidaritas atas dasar keyakinan Syiah, meskipun mencakup pula aktor-aktor dari berbagai latar belakang.

Poros itu terdiri dari kelompok-kelompok bersenjata dan pemerintah di Suriah, kelompok Hizbullah di Lebanon, kelompok Hamas di Gaza (Palestina), milisi-milisi di Irak, dan kelompok Houthi di Yaman. Tujuan utamanya adalah menantang pengaruh AS dan Israel di kawasan, memperluas pengaruh Iran hingga ke arah Laut Tengah dan Laut Arab.

Namun, dalam waktu singkat, aliansi tersebut mengalami pukulan telak dan jadi berantakan.

Bermula dari Hamas yang sudah lama memerintah di Gaza. Kelompok itu kini terpuruk akibat perang selama lebih dari satu tahun yang dipicu oleh serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 terhadap Israel.

New York Times melaporkan, ada makin banyak bukti bahwa Hamas kehilangan kendali atas setidaknya sebagian wilayah dan semakin tidak mampu memerintah.

Pada akhir Juli, Israel membunuh pemimpin politik Hamas, Ismail Haniyeh, saat dia sedang menginap di sebuah wisma di Teheran. Wisma itu dijaga ketat anggota Garda Revolusi Iran. Haniyeh berada di sana untuk menghadiri pelantikan presiden baru Iran.

Pada pertengahan September, Israel melumpuhkan komunikasi di antara para pemimpin dan komandan Hizbullah dengan meledakkan pager-pager dan walkie-talkie mereka. Pada akhir September, Israel membunuh pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah, yang berperan besar sebagai ahli strategi militer dan politik dalam membentuk aliansi regional Iran itu.

Pada Oktober, konflik Israel dengan Hizbullah meningkat pesat. Menurut sejumlah analis, pasukan Israel meledakkan sebagian besar jaringan terowongan dan bunker canggih kelompok itu di Lebanon selatan hanya dalam waktu enam minggu.

Menteri Pertahanan Israel memperkirakan sekitar 80 persen dari 150.000 misil dan roket milik Hizbullah telah dihancurkan. Para analis senjata menyatakan, persenjataan sebanyak itu merupakan salah satu yang terbesar di dunia yang dikuasai oleh kelompok bersenjata non-negara.

Melemahnya Hizbullah berdampak jauh melampaui Lebanon. Hizbullah telah mengirim para kombatan untuk membantu Assad selama perang saudara di Suriah dan membantu melatih kelompok lain yang didukung Iran, termasuk para kombatan Houthi di Yaman.

Menurut sejumlah diplomat dan analis, dampak lebih besar dari serangan Israel terhadap Hizbullah —yang tampaknya telah memaksa kelompok itu menarik banyak kombatannya dari Suriah— adalah melemahkan pertahanan Assad.

Suriah merupakan sekutu terdekat Iran di Timur Tengah. Assad bergantung pada para komandan dan unit-unit Iran di bawah kendali Garda Revolusi dan para kombatan Hizbullah – yang dukungannya membantunya bertahan dari perang saudara hingga akhir dua pekan lalu.

Namun selama beberapa tahun terakhir, ketika konflik di Suriah tampaknya terhenti, pasukan oposisi diam-diam mempersiapkan tantangan baru terhadap Assad. Ketika mereka memutuskan untuk menyerang lagi, rezim Assad ternyata tak lebih dari macan kertas.

Israel telah membantu dalam melemahkan cengkeraman pemerintah Suriah dengan melancarkan setidaknya 40 serangan udara ke negara itu sejak Oktober 2023. Israel menyasar para komandan Hizbullah dan Iran.

Selain bergantung pada pasukan Iran dan Hizbullah, pemerintahan Assad selama ini juga mengandalkan dukungan Rusia, terutama angkatan udaranya. Namun Moskow telah memindahkan sebagian besar kekuatan udaranya untuk perang di Ukraina. Kekuatan militer Suriah sendiri ternyata sudah tidak punya keinginan untuk berperang lagi.

Padahal, Suriah merupakan salah satu komponen paling krusial dalam poros perlawanan. Di bawah kepemimpinan Presiden Assad, Suriah menjadi koridor darat strategis yang memungkinkan Iran memasok senjata dan material ke Hizbullah di Lebanon.

Karena itu, runtuhnya rezim Assad turut membuat poros perlawanan limbung. Jika nanti pemimpin baru Suriah tidak ingin melanjutkan hubungan dengan Iran, koridor itu benar-benar terputus.

Keruntuhan rezim Assad, kemunduran Hizbullah, dan melemahnya Hamas menandai titik terlemah poros perlawanan dalam beberapa dekade terakhir. Strategi Iran untuk mengimbangi kekuatan militer Israel melalui aliansi kelompok bersenjata kini menghadapi tantangan besar.

Milisi-milisi di Irak yang berafiliasi dengan Iran serta kelompok Houthi di Yaman memang masih utuh, namun peran mereka cenderung bersifat periferal dalam konflik dengan Israel. Karena itu, jika Iran ingin membangun kembali aliansi regionalnya, dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mencapai kekuatan seperti sebelumnya.

Sumber