Bahagia Pulang ke Filipina, Mary Jane: Anak-anak Saya Menunggu...
TANGERANG, KOMPAS.com - Terpidana mati kasus narkoba Mary Jane Veloso mengungkapkan kebahagiaannya menjelang kepulangan ke Filipina.
Setelah 15 tahun berada di Indonesia, Mary Jane mengaku tak sabar untuk bertemu kembali dengan keluarganya.
"Aku harus pulang, karena saya punya keluarga di sana yang menunggu, anak-anak saya yang menunggu dan saya mau merayakan Natal di sana bersama keluarga," ujar Mary Jane di Terminal 2F Bandara Soekarno-Hatta, Kota Tangerang, Selasa (17/12/2024).
Selain itu, Mary Jane mengatakan bahwa dirinya sangat bersyukur atas perlakuan baik yang diterimanya selama menjalani hukuman di Indonesia.
Dia menyebut baik petugas maupun sesama warga tahanan telah mendukung dan membantunya hingga akhirnya bisa kembali ke negaranya.
“Selama saya di Indonesia semua baik, petugasnya baik, sesama warga tahanannya baik, seluruhnya baik. Mereka mengusahakan supaya saya bisa pulang,” kata dia.
Meski bahagia, Mary Jane juga merasa sedih karena harus meninggalkan Indonesia yang sudah menjadi bagian dari hidupnya.
"Saya bahagia, sangat bahagia hari ini. Tapi jujur, ada sedihnya juga karena Indonesia sudah menjadi keluarga kedua saya,” kata dia.
Mary juga mengungkapkan keyakinannya bahwa Tuhan memiliki rencana indah dalam hidupnya. Dia tidak lupa menyampaikan rasa terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantunya selama proses panjang ini.
"Saya ingin berterima kasih pertama kepada yang terhormat, Bapak Presiden Prabowo Subianto, Bapak Menteri Koordinator Hukum HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Iza Mahendra, dan pasti untuk seluruh rakyat Indonesia," ucap dia.
Kasus Mary Jane bermula ketika ia menerima tawaran dari Christine atau Maria Kristina Sergio untuk menjadi pembantu rumah tangga di Kuala Lumpur, Malaysia pada 2010.
Saat itu, dia kembali dari Dubai, Uni Emirat Arab usai kontrak kerjanya habis dan nyaris menjadi korban pemerkosaan.
Dilansir dari Kompas.com (7/4/2021), Jane yang merupakan anak terakhir dari lima bersaudara ini berasal dari keluarga kurang mampu dan hanya mengenyam pendidikan sampai sekolah menengah atas.
Setelah lulus, dia menikah dan dikaruniai dua orang anak. Sayangnya, pernikahannya tak berlangsung lama.
Setibanya Mary Jane di Kuala Lumpur, pekerjaan yang ditawarkan Christine rupanya sudah tidak ada. Alhasil, dia pun diminta pergi ke Yogyakarta sebagai ganti tawaran pekerjaan yang dijanjikan itu.
Pada 25 April 2010, Mary Jane tiba di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta membawa koper dan uang 500 dollar Amerika Serikat (Rp 7.936.000).
Ketika koper yang dibawanya melewati pemeriksaan sinar-x, sistem mendeteksi benda mencurigakan yang ditandai dengan bintik hijau kecokelatan dalam suatu kemasan.
Petugas pun membongkar koper tersebut dan menemukan bungkus aluminium foil berisi 2,6 kilogram serbuk coklat muda yang diketahui merupakan heroin, narkotika golongan I.
Anggota Direktorat Narkoba Kepolisian DIY akhirnya menahan Mary Jane di Rutan Sleman untuk diproses hukum.
Meski mengaku tidak tahu menahu soal isi dari kemasan tersebut, Mary Jane dinyatakan bersalah dan divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Sleman pada 11 Oktober 2010.
Vonis mati itu diperkuat oleh putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta pada 23 Desember 2010 dan putusan Mahkamah Agung (MA) pada 31 Mei 2011.
Pada saat itu, Mary Jane mengaku terkendala komunikasi selama menjalani proses hukum. Dia yang kala itu belum bisa berbahasa Indonesia diberi pendampingan penerjemah yang masih mahasiswa.
"Waktu sidang saya selfie-selfie di ruang tahanan, saya sama sekali dak tahu saat itu saya di antara hidup dan mati. Sekarang saya tahu karena bisa bahasa Indonesia meskipun bahasa Inggris saya terbatas," ungkapnya, dikutip dari Kompas.id (8/1/2023).
Seusai divonis mati, Mary Jane tetap berusaha mengajukan banding, kasasi, dan peninjauan kembali, tetapi upayanya selalu gagal.
Presiden Indonesia saat itu, Joko Widodo juga sempat menolak permohonan grasi Mary Jane pada 2014. Mary Jane pun dua kali masuk dalam daftar terpidana mati yang harus dieksekusi pada Januari dan April 2025.
Namun, pada saat akan dieksekusi pada 29 April 2015 di Nusakambangan, Jawa Tengah, hukuman mati Mary Jane ditunda.
Penundaan eksekusi ini menyusul tekanan yang datang dari masyarakat internasioal dan nasional yang menyatakan bahwa Mary Jane adalah korban perdagangan manusia.
Sebuah bukti baru, yang menyatakan Mary Jane adalah korban perdagangan manusia (human traficking), membuat eksekusi itu juga tertahan.
Beberapa jam sebelum eksekusi, Maria Kristina Sergio yang mengaku terlibat dalam pengiriman Mary Jane ke Indonesia, menyerahkan diri ke kepolisian Filipina.
Setelah itu, Mary Jane ditahan di Lapas Kelas IIB Yogyakarta, Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, DIY.