Balai Kayu Jadi Saksi Perjuangan Wahyu Bocah 10 Tahun Melawan Penyakit Pengecilan Otak

Balai Kayu Jadi Saksi Perjuangan Wahyu Bocah 10 Tahun Melawan Penyakit Pengecilan Otak

JAKARTA, KOMPAS.com - Di sebuah rumah sederhana berukuran 3x5 meter di Marunda, Jakarta Utara, Wahyu Ramadhan (10) menghadapi perjuangan berat melawan penyakit pengecilan otak.

Rumah yang dihuni bersama ibu dan neneknya ini, meski tidak berkeramik dan hanya berlapis atap seng, menjadi tempat berlindung bagi Wahyu dan keluarganya.

Namun, kondisi rumah tersebut sering terendam banjir rob.

"Iya banjir juga rob, airnya masuk rumah, paling semata kaki," ujar Ranina, nenek Wahyu, saat diwawancarai Kompas.com di kediamannya, Rabu (18/12/2024).

Selama banjir rob, Wahyu tetap berada di atas balai kayu kesayangannya, tanpa kasur yang layak untuk beristirahat.

Ia menghabiskan waktu di atas balai kayu yang dilapisi kasur busa tipis dan selimut garis-garis.

Keterbatasan biaya membuat orangtuanya tidak mampu membeli kasur yang lebih baik untuknya.

Wahyu divonis mengidap penyakit pengecilan otak sejak lahir, yang mengganggu perkembangan dan pertumbuhannya.

Saat ini, berat badan Wahyu hanya sekitar 9 kilogram, karena ia tidak dapat mengonsumsi makanan padat seperti anak-anak seusianya.

Meski terlihat kurus, Ranina menegaskan bahwa cucunya tidak pernah divonis mengalami gizi buruk.

"Enggak pernah divonis kurang gizi, karena kelainan aja gitu," ucapnya.

Kondisi fisik Wahyu yang lemah membuatnya hanya mampu berbaring dan tidak dapat berkomunikasi dengan baik.

"Dia enggak bisa ngomong, paling kalau nangis itu dia teriak," tambah Ranina.

Selama 10 tahun, Wahyu dibesarkan oleh ibu dan neneknya, setelah sang ayah pergi meninggalkan mereka saat Wahyu masih dalam kandungan.

Ketiadaan ayah membuat kehidupan mereka semakin sulit.

"Ya, sulit karena dari biayanya dia kan juga udah enggak punya bapak, jadi usaha dari emaknya sendiri sedapatnya aja," ungkap Ranina.

Ranina menjelaskan bahwa putrinya bekerja sebagai penjaga warung es dengan pendapatan harian hanya Rp 30.000.

Pendapatan tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, termasuk kebutuhan Wahyu.

Meskipun demikian, Ranina selalu berusaha mencari cara agar pendapatan tersebut mencukupi untuk makan dan kebutuhan cucunya.

Sumber