Baleg Soroti RUU Prolegnas Kalah dari Revisi Kilat

Baleg Soroti RUU Prolegnas Kalah dari Revisi Kilat

JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menggelar evaluasi terhadap Program Legislasi Nasional (prolegnas) 2020-2024 dalam rapat perdana yang berlangsung pada Senin (28/10/2024).

Dalam evaluasi tersebut, terungkap bahwa banyak undang-undang yang disahkan selama periode jangka menengah 2020-2024 tidak berasal dari rancangan undang-undang (RUU) yang terdaftar dalam prolegnas yang telah disepakati, melainkan merupakan RUU kumulatif terbuka.

“Saya melihat bahwa terkait Kumulatif Terbuka ini banyak kepentingan-kepentingan elite di situ, sementara prolegnas yang seharusnya mencerminkan kepentingan masyarakat justru diabaikan,” ujar anggota Baleg DPR RI dari fraksi Nasdem Muslim Ayub.

Lebih lanjut, Ayub menekankan bahwa ketimpangan antara RUU yang dihasilkan dari prolegnas dan RUU kumulatif terbuka sangat mencolok.

"Sudah jelas kita mendengar di hadapan kita semua, pengalaman-pengalaman selama ini menunjukkan banyak ketimpangan yang terjadi," tambahnya.

Sebagai contoh terbaru, DPR RI mengesahkan UU Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan UU Kementerian Negara sebagai RUU kumulatif terbuka.

Kedua undang-undang tersebut direvisi dengan cepat untuk memenuhi rencana Presiden terpilih Prabowo Subianto dalam menambah jumlah kementerian dan memperkuat Wantimpres.

Ayub menilai bahwa RUU kumulatif terbuka lebih menguntungkan kepentingan elite dan mengabaikan banyak RUU yang lebih mendesak bagi kepentingan rakyat.

“Banyak kepentingan pragmatis di situ, seperti UU Dewan Pertimbangan Presiden dan UU Kementerian Negara, yang diselesaikan dengan cepat. Sementara, UU untuk kepentingan rakyat sendiri sudah berulang tahun di sana. Ada yang ulang tahun ke-10, ada yang ke-5 tahun, tapi diabaikan sama sekali,” ujarnya.

Sebelumnya, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus berpendapat bahwa banyaknya RUU kumulatif terbuka yang disahkan DPR RI menunjukkan bahwa lembaga tersebut berfungsi sebagai operator politik atau tukang stempel eksekutif.

Ia memperkirakan bahwa modus revisi undang-undang secara kilat tanpa partisipasi publik akan terus berlanjut, terutama untuk pasal-pasal yang dianggap mengganggu kepentingan eksekutif.

Lucius menjelaskan bahwa RUU kumulatif terbuka seharusnya diperuntukkan untuk RUU yang tidak terkait langsung dengan fungsi legislasi, seperti RUU APBN atau RUU ratifikasi perjanjian internasional.

"Ada begitu banyak RUU yang mestinya menjadi prioritas dan harus dibahas dengan memperhatikan partisipasi publik, namun DPR justru memasukkan revisi yang bersifat mendesak ke dalam daftar kumulatif terbuka," jelasnya.

Wakil Ketua Baleg DPR RI Ahmad Doli Kurnia menanggapi bahwa penggunaan kumulatif terbuka atau prolegnas merupakan masalah metodologi legislasi.

Namun, ia mengakui bahwa penyusunan undang-undang ke depannya harus lebih akuntabel secara prosedural.

"Saya kira kita semua harus membangun komitmen baru, termasuk Ketua dan pimpinan, bahwa pembahasan undang-undang di Baleg harus sesuai dengan prosedur dan materi," ujar Doli.

"Jadi harus ada, memang seharusnya rancangan undang-undang itu dimulai dari rancangan naskah akademik, rancangan undang-undang, kemudian harus ada uji publik, dan seterusnya," sebut dia.

Sumber