Bantahan Keras Iran Usai Dituduh Rencanakan Bunuh Trump
Iran membantah dengan keras tudingan merencanakan pembunuhan Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Iran menganggap tudingan yang beredar itu seperti komedi rendahan.
Bantahan itu disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi. Dia berharap AS dan Iran mulai membangun rasa saling percaya.
"Sekarang, skenario baru dibuat-buat, karena pembunuh tidak ada dalam kenyataan, penulis naskah didatangkan untuk membuat komedi kelas tiga," kata Araghchi dalam sebuah posting di X seperti dilansir Reuters, Minggu (10/11/2024).
Dia merujuk pada dugaan rencana yang menurut Washington diperintahkan oleh Garda Revolusi Iran untuk membunuh Trump. Araghchi menegaskan Iran menghormati pilihan rakyat AS.
"Rakyat Amerika telah membuat keputusan mereka. Dan Iran menghormati hak mereka untuk memilih Presiden pilihan mereka. Jalan ke depan juga merupakan sebuah pilihan. Itu dimulai dengan rasa hormat," kata Araghchi.
Dia menegaskan Iran tak ingin memiliki senjata nuklir. Dia mengatakan kebijakan Iran selama ini didasarkan pada ajaran Islam dan perhitungan keamanan.
"Iran TIDAK mengejar senjata nuklir, titik. Ini adalah kebijakan yang didasarkan pada ajaran Islam dan perhitungan keamanan kami. Membangun kepercayaan diperlukan dari kedua belah pihak. Ini bukan jalan satu arah," ujarnya.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmaeil Baghaei, juga mengatakan klaim tersebut merupakan rencana ‘menjijikkan’ oleh Israel dan oposisi Iran di luar negeri untuk ‘memperumit masalah antara Amerika dan Iran’. Sementara, analis dan orang dalam pemerintahan Iran tidak menampik kemungkinan terjadinya detente atau relaksasi hubungan antara Teheran dan Washington di bawah Trump, meskipun tanpa memulihkan hubungan diplomatik.
"Iran akan bertindak berdasarkan kepentingannya sendiri. Ada kemungkinan pembicaraan rahasia antara Teheran dan Washington akan terjadi. Jika ancaman keamanan terhadap Republik Islam dihilangkan, apa pun mungkin terjadi," kata analis yang berbasis di Teheran, Saeed Laylaz.
Saat berhadapan dengan musuh bebuyutan Israel, para pemimpin ulama Iran juga khawatir tentang kemungkinan terjadinya perang habis-habisan di wilayah tersebut. Israel saat ini terlibat dalam konflik dengan sekutu Teheran di Gaza dan Lebanon.
Sebelumnya, Pemerintah AS telah mengajukan tuntutan terhadap seorang pria Iran terkait dugaan rencana pembunuhan Trump. Dilansir BBC, Sabtu (9/11), Departemen Kehakiman AS pada hari Jumat membuka dakwaan terhadap Farhad Shakeri (51) yang dituduh ditugaskan untuk ‘memberikan rencana’ membunuh Trump.
Pemerintah AS mengatakan Shakeri belum ditangkap dan diyakini berada di Iran. Dalam pengaduan pidana yang diajukan di pengadilan Manhattan, jaksa menuduh bahwa seorang pejabat di Garda Revolusi Iran memerintahkan Shakeri pada bulan September menyusun rencana untuk mengawasi dan membunuh Trump.
"Departemen Kehakiman telah mendakwa seorang aset rezim Iran yang ditugaskan oleh rezim tersebut untuk mengarahkan jaringan rekan kriminal untuk melanjutkan rencana pembunuhan Iran terhadap targetnya, termasuk Presiden terpilih Donald Trump," kata Jaksa Agung AS Merrick Garland dalam sebuah pernyataan.
Simak juga Video Iran Tak Khawatir dengan Kemenangan Trump Apa Bedanya?
[Gambas Video 20detik]
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Departemen Kehakiman AS juga mendakwa dua orang lainnya yang diduga direkrut untuk membunuh seorang jurnalis AS pengkritik keras Iran. Pelaku lainnya diidentifikasi oleh Departemen Kehakiman AS sebagai Carlisle Rivera alias Pop (49) dari Brooklyn dan Jonathon Loadholt (36) dari Staten Island. Keduanya muncul di pengadilan di Distrik Selatan New York pada Kamis (7/11) dan ditahan sambil menunggu persidangan.
Trump telah menghadapi dua dugaan percobaan pembunuhan terpisah tahun ini. Pada bulan Juli 2024, Trump terkena tembakan di bagian telinganya saat berkampanye di Pennsylvania. Satu orang peserta kampanye tewas akibat peristiwa itu.
Pada bulan September, seorang pria ditangkap karena mengarahkan senapan ke Trump yang sedang bermain golf di lapangan golfnya di West Palm Beach.
"Shakeri diminta untuk membuat rencana untuk membunuh Trump dalam tujuh hari," demikian tuduhan dalam dakwaan tersebut.
"Shakeri mengatakan pemerintah Iran memberitahunya bahwa akan lebih mudah untuk mencoba membunuh Trump setelah pemilihan, karena mereka yakin dia akan kalah," sambung jaksa penuntut.
Jaksa penuntut menggambarkan Shakeri sebagai warga negara Afghanistan yang datang ke AS saat masih kecil. Dia, menurut jaksa, dideportasi sekitar tahun 2008 setelah menghabiskan 14 tahun di penjara karena didakwa melakukan perampokan.
Jaksa penuntut mengatakan pria berusia 51 tahun itu menggunakan ‘jaringan rekan kriminal’, dari penjara, termasuk Rivera dan Loadholt, untuk melakukan pengawasan terhadap target pemerintah Iran.
"Tn. Shakeri menjanjikan Tn. Rivera dan Tn. Loadholt USD 100.000 untuk membunuh jurnalis Amerika tersebut, yang telah melaporkan pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi oleh rezim Iran," menurut jaksa penuntut.
Jurnalis tersebut, yang tidak disebutkan namanya, telah menjadi target di masa lalu. Selain jurnalis Amerika dan Trump, dakwaan tersebut menuduh pemerintah Iran berusaha membunuh dua pengusaha Yahudi Amerika yang tinggal di Kota New York, yang mendukung Israel di media sosial.
Shakeri disebut telah berbicara ke jaksa penuntut bahwa kontak-kontaknya di Iran memintanya untuk merencanakan penembakan massal untuk menargetkan wisatawan Israel di Sri Lanka pada Oktober 2024, setahun setelah serangan Hamas terhadap Israel. Shakeri, Rivera, dan Loadholt semuanya didakwa dengan pembunuhan bayaran, yang hukumannya maksimal 10 tahun penjara. Mereka juga menghadapi dakwaan konspirasi pencucian uang –yang dapat mengakibatkan hukuman 20 tahun penjara- dan konspirasi untuk melakukan pembunuhan bayaran.
Simak juga Video Iran Tak Khawatir dengan Kemenangan Trump Apa Bedanya?
[Gambas Video 20detik]