Banyak Patwal Kawal Pejabat dengan Arogan, Pengamat: Tak Punya Empati
SEMARANG, KOMPAS.com – Penggunaan patroli dan pengawal (Patwal) secara berlebihan oleh sejumlah pejabat menjadi sorotan publik.
Pengamat politik Universitas Diponegoro, Puji Astuti, mengkritik fenomena tersebut sebagai bentuk arogansi pejabat yang lupa pada tugas utama mereka sebagai pelayan rakyat.
"Kenapa di Indonesia pejabat suka lupa diri? Karena salahnya masyarakat juga memperlakukan pejabat secara berlebihan. Jangan terlalu menempatkan dia terlalu tinggi," ujar Puji, Kamis (16/1/2025).
Puji menyoroti bagaimana pejabat di Indonesia mendapatkan fasilitas yang jauh lebih spesial dibandingkan negara lain, namun kerap kurang menunjukkan empati pada masyarakat kecil.
"Pejabat itu punya privilege yang sangat besar lho di Indonesia. Kesederhanaan enggak berarti naik becak atau mobil murah, tapi punya empati pada masyarakat kecil. Kan bukan berarti kamu harus miskin dulu, tidak perlu," jelasnya.
Ia juga menyinggung penggunaan Patwal untuk urusan pribadi, seperti seorang anggota dewan yang menggunakan pengawalan saat membeli mebel di Jepara.
"Itu patwalnya luar biasa mengganggu, padahal itu urusan pribadi loh. Jangan sampai ganggu masyarakat, itu bisa dilaporkan," tegas Puji.
Puji mencontohkan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai teladan bagi pejabat dalam bersikap sederhana dan rendah hati.
Sultan dikenal sering terjun ke masyarakat tanpa seragam atau atribut khusus untuk mendengarkan aspirasi rakyat secara langsung.
"Kalau menjadi pemimpin itu harus sering terjun ke masyarakat without uniforms, tanpa seragam. Sultan Hamengkubuwono IX itu dulu mengajarkan hal itu," katanya.
Saat berada di Pasar Beringharjo Yogyakarta, Sultan bertransaksi seperti pembeli biasa sehingga mendapatkan aspirasi masyarakat secara jujur tanpa manipulasi.
"Coba kalau yang terjun raja pakai seragam sultan, mereka pasti ngomongnya hati-hati," tambah Puji.
Puji berharap masyarakat dapat bersikap lebih kritis dalam mengawal program pemerintah dan tidak memberikan penghormatan berlebihan kepada pejabat.
"Rakyat harus lebih terbuka dan kritis, jangan terlalu mengagungkan pejabat. Pejabat juga punya kode etik dan harus diingatkan jika merugikan masyarakat," ujarnya.
Ia juga menegaskan pentingnya standar etika bagi pejabat dan aparatur negara, termasuk menindaklanjuti laporan pelanggaran etik yang sering kali diabaikan.
"Lapor ke komite etik dewan, itu harus bekerja. Jangan hanya lapor tanpa follow up," tutupnya.