Bareskrim Periksa Ojek Online Pengirim Teror ke Redaksi Tempo

JAKARTA, KOMPAS.com - Bareskrim Polri tengah memeriksa ojek online yang ditugaskan untuk mengirimkan teror ke kantor Tempo beberapa waktu yang lalu.
“Dan, hari ini salah satu saksi, yaitu ojek yang mengirim sedang kami periksa,” ujar Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro saat konferensi pers di Lobi Bareskrim Polri, Kamis (10/4/2025).
Djuhandhani mengatakan, berdasarkan pemeriksaan yang tengah berlangsung, ada proses pengiriman yang terputus.
Pengiriman teror ke kantor Tempo ini dilakukan dalam beberapa kali pengiriman oleh sejumlah ojek online yang berbeda.
Proses pemesanan ojek online ini juga masih menjadi tanda tanya.
“Ternyata setelah diperiksa, ini juga semacam terputus. Ojek (yang mengirim ke Tempo) ini mendapat kiriman dari (aplikasi ojol yang lain),” lanjut Djuhandhani.
Penyidik mengaku sempat mengalami kesulitan saat hendak melakukan penyelidikan. Pasalnya, sejumlah saksi meminta surat pemanggilan secara formal sebelum diperiksa.
Padahal, saat itu, penyidik berusaha mengejar waktu agar tidak terpotong libur Lebaran. Tapi, penyelidikan baru bisa dilakukan usai liburan selesai.
“Dan kami bersama penyelidik sedang mencari titik-titik CCTV yang nantinya akan kita uji dulu melalui laboratorium forensik. Semoga ini juga bisa untuk membuka tabir permasalahan ini,” katanya.
Diberitakan sebelumnya, Redaksi Tempo resmi melaporkan peristiwa teror pengiriman kepala babi kepada Bareskrim Polri pada Jumat (21/3/2025).
Laporan bernomor STTL/153/III/2025/BARESKRIM ini telah diterima pihak Bareskrim Jumat sore.
Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Erick Tanjung mengatakan, ada dua pasal yang dipersangkakan dalam laporan ini, yaitu Pasal 18 ayat 1 UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dengan ancaman 2 tahun penjara, serta Pasal 335 KUHP tentang ancaman dengan kekerasan.
“Jadi, pasalnya tadi yang dipakai Pasal 18 ayat 1 pasal pidana di pers yang menghambat kerja jurnalistik, itu ancaman pidananya 2 tahun penjara,” ujar Erick saat dihubungi Kompas.com, Jumat.
Erick menjelaskan, proses pembuatan laporan sempat mengalami diskusi panjang debat dengan penyidik.
Diskusi panjang ini terjadi saat menyinggung Pasal 18 ayat 1 UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers.
“Jadi, penyidik enggak paham, ada Pasal 18 ayat 1, ada pasal pidana di UU Pers itu karena kita harus menjelaskan bahwa yang menghambat itu apa ke penyidik,” lanjut Erick.