Beda Strategi Bank Hadapi Likuiditas Ketat dan Tantangan Bisnis

Beda Strategi Bank Hadapi Likuiditas Ketat dan Tantangan Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah bank menerapkan strategi yang berbeda dalam menghadapi kondisi likuiditas ketat dan tantangan bisnis ke depan.

CEO Citibank N.A. Indonesia (Citi Indonesia) Batara Sianturi mengatakan bahwa secara umum, kondisi likuiditas perseroan hingga September masih ample alias memadai, baik dari mata uang rupiah dan dolar AS.

"Kalau kita melihat LCR [rasio kecukupan likuiditas] itu cukup ample, ya, 291%. Jadi, kami tidak memiliki masalah likuiditas baik di rupiah maupun dolar AS," katanya dalam paparan kinerja kuartal III/2024, dikutip Kamis (14/11/2024).

Terkait proyeksi pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) ke depan, Batara menyatakan bahwa strategi wait and see akan diterapkan di tengah kekhawatiran kenaikan tarif bagi negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Mengenai tantangan bisnis di tengah dinamika politik dan ekonomi global, dia secara spesifik membahas segmen nasabah korporasi multinasional, terutama di Amerika Serikat (AS) sebagai basis induk Citibank.

Batara optimistis bahwa antusiasme korporasi multinasional negeri Paman Sam untuk berinvestasi di Indonesia akan meningkat, terutama setelah kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke AS untuk bertemu para pengusaha, beberapa hari lalu. Dia menyebut Citibank menjadi bagian dari pertemuan tersebut.

Selain itu, dengan adanya kepastian politik dari kemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) AS 2024, dia berharap agar Indonesia turut menuai berkah dari segi investasi.

"Kita harapkan bahwa nasabah daripada multinasional Amerika itu akan terus menambah investasinya sesuai dengan prioritas dan juga kesempatan untuk investasi di Indonesia," tuturnya.

Sementara itu, Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) Darmawan Junaidi mengatakan kondisi likuiditas perbankan saat ini terbilang ketat. Bank juga mengantisipasi penurunan daya beli masyarakat kelas bawah sekaligus terus menjaga pertumbuhan dengan mendukung pelaku UMKM mengembangkan usahanya.

Menurutnya, kondisi likuiditas tercatat tetap ketat di tengah penurunan suku bunga, lantaran level Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) terus menawarkan yield tinggi. Hal ini menyebabkan pergeseran penempatan dana dari produk perbankan konvensional.

Selain itu, Darmawan menyoroti PMI Manufaktur yang saat ini berada di kisaran yang berisiko terhadap pendukung pertumbuhan ekonomi, karena selama empat bulan berturut-turut terus negatif.

"Jadi, kami mengkhawatirkan risiko penurunan daya beli yang tumbuh besar, mungkin ini disebabkan terjadi lay off di berbagai usaha," katanya dalam Rapat Dengar Pendapat di DPR, Rabu (13/11/2024). 

Namun demikian, dia menegaskan bahwa perseroan akan tetap berkomitmen menjaga pertumbuhan tidak hanya dalam kinerja Bank Mandiri, tetapi juga pelaku usaha terkait.

Dari sisi regulator, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan dampak kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS 2024 terhadap likuiditas global, termasuk perbankan.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae melihat bahwa pergantian kepala pemerintahan dari Joe Biden yang berlatar belakang Partai Demokrat kepada Trump (Partai Republik) akan berpengaruh terhadap orientasi ekonomi AS.

"Partai Republik yang inward looking dapat mendorong capital outflow dari emerging market ke Amerika Serikat," katanya dalam jawaban tertulis, Kamis (14/11/2024).

Namun demikian, dia meyakini bahwa ekspektasi pemangkasan suku bunga bank sentral AS The Fed yang berlanjut pada 2025 akan berdampak positif terhadap likuiditas dalam negeri.

Sumber