Belajar dari Kasus-kasus Pelecehan Seksual di Kampus-kampus di NTB

Belajar dari Kasus-kasus Pelecehan Seksual di Kampus-kampus di NTB

MATARAM, KOMPAS.com - Relasi kuasa menjadi modus yang kerap melatari sederet kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus.

Oknum dosen memperdaya korban dengan iming-iming kelancaran konsultasi skripsi atau tugas kuliah.

W, salah satu mahasiswi yang menjadi korban pelecahan seksual di Universitas Mataram, mengungkap perilaku tak senonoh yang dia alami dari salah satu dosennya, AW.

Pada suatu malam, sekitar pukul 21.00 Wita, ponsel W bergetar. Ia mendapat pesan WhatsApp dari AW yang menyebutkan belum mengumpulkan tugas Statistik. Padahal, sebelumnya W telah menyerahkan pekerjaan itu melalui email.

“Saya sudah kirim via online. Tapi, katanya belum masuk ke akunnya (AW),” ungkap W kepada Kompas.com, dalam sebuah kesempatan.

Akhirnya, W yang saat itu adalah mahasiswi program Sosiologi tak mendapatkan nilai.

Sebelumnya itu, sang dosen memang kerap mengirimkan pesan WhatsApp berbau rayuan. Seperti, “Lagi apa sayang?, Sayang, mana tugasnya?”.

W mengaku, mulanya dia tak menaruh pikiran negatif. Namun, dia semakin khawatir setelah AW tiba-tiba mengaku memberi keringanan kepada dia yang saat itu duduk di semester IV.

Keesokan harinya, dosen itu mempersilakan dia untuk menyerahkan tugas secara langsung. Tapi, bukan dikumpulkan di kampus tempat sang dosen yang juga mengajar di Fakultas Pertanian tetapi W diminta mengantar tugas ke rumahnya.

W mengaku takut. Sebab, selain mengkhawatirkan kondisinya, dia juga takut hal itu akan menjadi fitnah.

Kendati demikian, AW tetap ngotot menyuruhnya datang. “Harus di sini (rumah). Pokoknya saya tunggu,” kata W menirukan ucapan sang dosen.

“Kalau kamu nggak datang, berarti nilainya kosong ini,” sambung AW.

Cerita serupa juga datang dari M (24), alumni FISIP Unram. Suatu hari, setelah kelas, ia pernah diikuti dosen hingga ke kamar mandi.

Dosen itu mendekatinya dan meminta digandeng, alasannya karena ia tak mampu berjalan sendirian. “Tapi ujung-ujungnya, dia minta kontak saya,” ucap M.

W juga mengetahui kejadian tersebut. Rupanya, perilaku AW bukanlah rahasia umum. Nyaris setiap tahun, selalu ada mahasiwi yang bercerita tentang bagaimana sikapnya.

Mahasiswi yang pernah menjadi murid AW pun kerap mengingatkan adik tingkatnya agar mewaspadai oknum dosen tersebut.

“Jadi, sebelumnya memang saya sudah dapat cerita. Tapi saya ga nyangka, kalau memang beneran,” ungkap W.

 

Sepandai-pandaianya tupai melompat, pasti akan terjatuh juga. Begitu juga dengan tindakan AW.

Perilakunya terungkap setelah Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Unram menerima laporan dari BEM Fakultas Pertanian.

Sejumlah mahasiswi yang merasa menjadi korban membongkar perilaku AW.

Modus AW yang menjadi dosen pembimbing skripsi korban, menerima layanan konsultasi di ruangannya. Ia lalu melakukan hal yang tak senonoh, seperti menyentuh beberapa anggota tubuh korban.

“Dosen itu melakukan kekerasan dalam bentuk memegang, mencium, dan ada juga secara verbal,” ungkap Ketua Satgas PPKS Unram, Joko Jumadi, Rabu (6/11/2024).

Bahkan, tak hanya kepada mahasiswi, AW juga melakukan tindakan tak senonoh serupa terhadap rekan sesama dosen. “Sama, ada verbal dan sentuhan,” kata Joko.

Setelah melihat kondisi dan jumlah korban serta durasi tindakan yang cukup lama, Satgas PPKS merekomendasikan dosen tersebut diberhentikan sebagai tenaga pendidik.

Beberapa waktu lalu, sambung Joko, pejabat Rektorat Unram menyampaikan telah mengajukan pemberhentiannya ke Direktorat Pendidikan Tingga.

 

Maraknya kasus pelecehan seksual di perguruan tinggi mendapat sorotan dari berbagai pihak.

Salah satunya dari Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) NTB, Nunung Triningsih.

“Pelecehan seksual di kampus merupakan kejahatan yang harus diberantas,” tegas dia.

Menurut dia, perguruan tinggi seyogyanya harus memberikan rasa aman dan nyaman bagi seluruh warga universitas. Begitu juga bagi masyarakat yang berinteraksi dengan warga kampus.

Senada dengan itu, Ketua PC KMHDI Mataram, I Putu Eka Widiantara menyebut, kasus sensitif semacam ini wajib mendapatkan penanganan yang sigap. Menurut dia, keamanan perempuan harus ada di atas dari segalanya.

Lebih-lebih perempuan menjadi bagian penting dalam kehidupan masa depan. Perempuan merupakan calon ibu yang melahirkan generasi penerus Bangsa.

Jika terus menerus mengerdilkan posisi perempuan, maka bakal menjadi alasan terus munculnya pelecehan. “Maka hal ini harus dengan cepat ditindaklanjuti,” ujar dia.

Virgi melanjutkan, pelecehan bukan hanya secara seksual yang harus diantisipasi, tetapi juga pelecehan yang lain.

“Perempuan dianggap sebagai pelengkap dan sering mendapat bercandaan yang justru menjurus pada pelecehan verbal,” ungkap dia.

Dengan demikian, dia lantas mendorong Satgas untuk lebih banyak melakukan edukasi dan mengawal setiap kejadian hingga tuntas.

Permasalahan lainnya adalah banyak yang tidak mau melapor atas apa yang mereka alami. Alasannya, selain respons satgas yang kurang baik, respons lingkungan sekitar juga kurang mendukung.

“Masalah ini harus dapat dukungan oleh semua pihak, terlebih masalah perempuan bukan hanya perempuan yang harus berbicara,” tegas dia.

 

Fenomena pelecehan seksual di NTB tak hanya terjadi di Unram. Di perguruan tinggi lainnya, seperti Universitas Muhammadiyah Mataram (Ummat) pun pernah ada kejadian yang sama.

Namun, yang perlu dicontoh adalah cara mereka melakoni proses terhadap pelaku.

Meski baru lahir pada 28 Desember 2023 lalu, Satgas PPKS Ummat telah menangani tiga kasus dan seluruhnya tuntas terselesaikan.

Ketua Satgas PPKS Ummat, Dr. Siti Sanisah mengatakan, kendati tindakan dugaan pelecehan seksual terjadi di luar lingkungan kampus, namun pihaknya menangani sesuai prosedur.

“Kami memang berkomitmen untuk membuat Kampus Muhammadiyah menjadi daerah yang hijau dari perilaku semacam itu."

"Sehingga kami lebih fokus bekerja. Memang penanganan masalah seperti ini agak sensitif untuk digembar-gemborkan."

"Kecuali untuk hal-hal yang bersifat pencegahan seperti sosialisasi atau edukasi dan kerja positif lainnya,” papar Sanisah.

Selain itu, beberapa Satgas PPKS Ummat memberikan edukasi ke sekolah-sekolah. Mulai dari SMP hingga SMA.

Bahkan, mereka menerima undangan khusus dari Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbud yang bekerjasama dengan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia.

 

Kendati kasus pelecehan seksual di Unram kerap muncul ke permukaan, namun Joko Jumadi mengatakan, jumlah kasus pelecehan seksual di Unram dari tahun 2023 sampai sekarang mencapai 10 kasus.

Dari kasus-kasus itu, yang mendominasi adalah kasus cat calling, mengirim stiker yang tidak senonoh, pelecehan verbal lainnya, atau bahkan pada perilaku meraba dan memegang. Artinya tren kasus di salah satu kampus negeri ini melandai.

“Karena jumlahnya kecil dalam dua tahun terakhir, jadi penurunan tidak terlalu signifikan."

"Tidak seperti di kampus lain di luar NTB. Kisarannya sampai 4-5 kasus. Dari 2022, 2023, 2024 terhitung melandai,” sebut dia.

Joko menjelaskan, ada sejumlah faktor kenapa pelecehan seksual di kampus kerap terjadi. Salah satunya adalah relasi kuasa, baik dosen dengan mahasiswa, pegawai dengan mahasiswa, atau mahasiswa dengan pacar.

“Relasi kuasa masih cukup kuat yang melatarbelakanginya, karena di situ kesempatan terbuka,” ujar Joko.

Kemudian kedua, pemahaman soal kekerasan seksual belum merata di lingkungan kampus.

Terutama masalah sanksi. Tak sedikit yang bilang, jika pemberian sanksi yang berat seperti pemberhentian kepada pelaku pelecahan seksual dirasa terlalu berat. Bahkan, seringkali disebut dibesar-besarkan.

“Kayak cat calling mereka anggap hal yang biasa, sehingga yang melapor dianggap lebay. Pemahaman yang belum merata menjadi PR selanjutnya,” ujar Joko.

Ketua LPA Kota Mataram ini menyebut, kasus pelecehan seksual di Unram terbilang sedikit jika kampus-kampus di Jawa.

Dengan demikian kejadian ini belum bisa masuk pada fase darurat. “Kalau kita darurat, terlalu besar karena angkanya masih sangat kecil,” kilah dia.

Kendati demikian, lanjut Joko, kasus seperti ini tetap menjadi peringatan. Artinya, bukan pada persoalan sedikit atau banyaknya kasus. Tapi, mengantisipasi kejadian yang sama tidak terulang kembali.

“Kita tidak boleh berdiam diri dan santai saja. Kita malah khawatir, kalau mereka tidak berani speak up,” tegas dia.

Para korban diharapkan berani bersuara. Sebab, semakin banyak yang melapor, maka akan semakin meyakinkan bahwa korban berani berbicara.

Apalagi, dalam waktu dekat akan terjadi pergantian Satgas PPKS Unram. Joko menegaskan, Satgas bisa lebih fokus di aspek pencegahan. Para korban pun mesti berani bersuara. Sehingga kasus-kasus serupa tidak terjadi lagi.

Setiap kasus pasti memiliki langkah-langkah preventif yang dapat dilakukan agar tidak terjadi. Termasuk pada kasus kekerasan seksual.

Salah satunya yang Satgas PPKS Unram lakukan adalah, dosen mengubah konsep ruangan agar lebih terbuka. Atau pun, dua dosen mengisi satu ruangannya.

Karena dengan begitu, orang di luar ruangan bisa memantau aktivitas di dalam ruangan dosen.

Langkah lain yakni dengan memasang kamera CCTV di berbagai tempat. Harapannya tidak ada lagi celah tempat terjadi kekerasan seksual. “Karena terpantau CCTV,” kata Joko.

Selain itu, pelaku pelecehan seksual juga harus mendapat hukuman tegas. Salah satunya merekomendasikan pemberhentian atau pemecatan. 

“Artinya, memang kita serius untuk menangani kekerasan seksual untuk mewujudkan Unram zero toleran terhadap kekerasan seksual,” tegas dia.

Menanggapi hal ini, Nunung Triningsih mengaku, Dinas P3AP2KB NTB telah melakukan edukasi di beberapa kampus terkait pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Termasuk kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Kemudian, memberikan pendampingan terhadap mahasiswa atau warga perguruan tinggi yang menjadi korban pelecehan seksual.

“Kampus mengoptimalisasi peran dan fungsi Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan kampus. Suapaya korban berani speak up,” cetus dia.

Sumber