Belanda Pulangkan Puluhan Benda Bersejarah Bali-Lombok
Belanda memulangkan 68 artefak Indonesia pada Sabtu (14/12) sehingga menambah panjang daftar ratusan benda jarahan masa penjajahan yang mereka kembalikan sepanjang 2024. Pengamat menyoroti kemampuan Indonesia untuk merawat dan memanfaatkan barang-barang tersebut.
Setibanya pada akhir pekan lalu, puluhan benda itu langsung disimpan di salah satu ruangan di lantai dasar Museum Nasional.
Saat BBC News Indonesia mendatangi ruangan itu, hanya terlihat beberapa barang yang sudah dikeluarkan dari peti-peti kayu, seperti sejumlah perhiasan, keris, dan tekstil.
Para petugas museum sedang melakukan pengecekan berbagai unsur dari benda-benda itu, mulai dari kadar emas dalam perhiasan, hingga keaslian tekstil yang dikembalikan Belanda.
Salah satu sorotan dalam kloter pemulangan ini adalah dua patung singa bersayap dari Lombok.
Menurut petugas, patung tersebut sudah sempat dikeluarkan dari peti kayu, tapi kembali dimasukkan karena masih mengandung senyawa yang kurang baik, sehingga perlu diamankan terlebih dulu.
Dua patung singa ini akhirnya kembali ke Indonesia setelah 130 tahun berada di Belanda.
Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag mengatakan, dua patung singa bersayap ini dirampok Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) dari Puri Cakranegara dalam Perang Lombok pada 1894.
"Patung-patung singa dari Lombok memiliki fungsi pelindung dalam arsitektur istana," demikian kutipan siaran pers KBRI Den Haag.
Bersama puluhan artefak lainnya, patung-patung itu tiba di Indonesia pada Sabtu.
Hari ini, Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Marc Gerritsen, menyerahkan secara simbolis puluhan barang itu kepada Menteri Kebudayaan, Fadli Zon.
"Ini merupakan bagian dari program repatriasi yang saya kira sangat penting untuk mengembalikan keutuhan pengetahuan kita tentang benda-benda budaya yang dulu dibawa oleh Belanda," ucap Fadli.
Barang-barang itu nantinya akan dipamerkan di Museum Nasional Indonesia.
Dengan gelombang teranyar ini, Belanda sudah mengembalikan 356 artefak sepanjang 2024.
Secara keseluruhan, Belanda sudah memulangkan total 828 benda bersejarah ke Indonesia sejak tahun lalu.
Selain patung singa bersayap itu, Belanda juga memulangkan 66 benda lain, seperti senjata upacara, perhiasan, tekstil, dan perkakas rumah tangga.
Barang-barang ini dijarah pasukan Belanda dari Bali Selatan saat Puputan Badung pada 1906.
Berdasarkan keterangan di situs resmi Pemerintah Kota Rotterdam, tentara KNIL merampok benda-benda itu dari medan perang dan sejumlah istana di Badung.
"Rotterdam mengakui bahwa barang-barang yang kami kembalikan bukan milik kami dan seharusnya berada di Indonesia," ucap Wakil Wali Kota Rotterdam bidang Pendidikan, Kebudayaan, dan Acara, Alderman Said Kasmi.
BBC
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
BBC
Menurut pemerintah Kota Rotterdam, Indonesia meminta benda-benda itu dikembalikan karena sangat signifikan, baik secara sejarah mau pun kultural.
"Benda-benda ini lebih dari sekadar artefak. Mereka adalah simbol identitas dan ketahanan bangsa Indonesia," ujar Duta Besar RI untuk Belanda, Mayerfas.
"Pengembalian ini merupakan langkah signifikan dalam upaya bersama untuk memulihkan keadilan sejarah dan memperkuat hubungan saling hormat antara Indonesia dan Belanda."
Meski pengembalian artefak-artefak ini dipandang sebagai langkah yang baik, sejarawan dan pengamat mengatakan Indonesia masih punya pekerjaan rumah untuk merawatnya.
"[Belanda] bisa mengembalikan benda-benda itu,tapi kita juga harus bisa menerima [agar] tidak seperti emas dari Mataramyang dicuri dari Museum Nasional pada 2013," ujar sejarawan Peter Carey kepada BBC News Indonesia.
Pada 2013 lalu, empat lempengan emas peninggalan Kerajaan Mataram Kuno memang dirampok dari lantai dua Museum Nasional.
Kantor berita Antara melaporkan bahwa saat perampokan terjadi, CCTV di lantai itu mati.
Namun, pihak museum baru melaporkan kejadian ini sehari setelah mereka menyadari koleksi mereka hilang.
Selain itu, sejarawan Peter Carey juga menyoroti sejumlah insiden lain, seperti koleksi peninggalan pertempuran Laut Jawa terbakar ketika api melalap Museum Kebaharian Jakarta.
Antara melaporkan bahwa kebakaran itu juga menghanguskan sejumlah koleksi lainnya yang disimpan di Gedung A dan Gedung C Museum Kebaharian Jakarta.
Terakhir, Peter juga membahas kebakaran di Gedung A Museum Nasional pada September 2023 lalu yang merusak ratusan koleksi benda bersejarah.
"Kita harus bisa betul-betul menerima benda ini dan menjaga baik-baik. Percuma kalau kita menerima dan dalam hitungan beberapa bulan atau beberapa tahun mereka [terbakar] habis,"tutur Peter.
Setelah kebakaran tersebut, Museum Nasional sudah dibuka kembali untuk publik pada 15 Oktober lalu.
Mereka bahkan sudah menggelar pameran benda-benda bersejarah yang dikembalikan Belanda di gelombang sebelumnya.
Fadli mengatakan bahwa segala insiden yang terjadi sebelumnya dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia.
"Dengan terjadinya musibah-musibah semacam itu, kita berharap museum-museum kita di seluruh daerah ini juga menjaga, terutama dari potensi-potensi musibah yang merupakan human error," ujar Fadli.
Ia menegaskan pemerintah nantinya akan memperketat standardisasi museum-museum di Indonesia.
"Di samping koleksinya, juga tata kelola dan juga tentu saja penjagaannya, baik dari sisi keamanan, fisik maupun potensi-potensi dari musibah atau tragedi yang tadi saya sebutkan, apakah karena akibat manusia maupun karena alam," katanya.
"Kita optimis bahwa ke depan kita bisa merawat, menjaga, tentu dimulai dari Museum Nasional ini, karena Museum Nasional ini harus menjadi benchmark bagi museum-museum lain untuk peningkatan kualitas dan penjagaannya. Kita upgrade terus."
Kepala Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Marsis Sutopo, juga menganggap segala insiden itu seharusnya bisa menjadi pelajaran agar pengelolaan museum dapat lebih baik di masa mendatang.
"Musibah kebakaran itu akan dijadikan sebagai pelajaran yang sangat berharga, sehingga bagaimana kemudian mengelola museum secara profesional, bagaimana kemudian melakukan mitigasi bencana, supaya nanti tidak terjadi lagi atau tidak terulang lagi," katanya.
Lebih jauh, Marsis juga memperhatikan kondisi museum-museum di daerah lain di luar Jakarta yang "seperti tak diurus."
Menurut Marsis, kondisi museum di daerah lain juga harus diperhatikan karena sejumlah benda cagar budaya nantinya bakal disalurkan ke sana.
"Museum-museum di daerah yang istilahnya dari aspek dukungan dananya juga hanya seadanya, dia kan tidak bisa," ucap Marsis.
"Harus ada yang namanya dukungan dana ada, tapi nanti dukungan SDM manusianya juga ada, kemudian juga istilahnya dukungan peralatannya juga harus ada."
Tak hanya masalah perawatan, Peter dan Marsis berharap pemerintah melakukan riset menyeluruh terkait benda-benda bersejarah tersebut, kemudian mempresentasikannya dengan baik.
Peter menekankan bahwa presentasi dengan narasi yang baik ini sangat penting agar generasi muda paham peninggalan itu bukan sekadar benda mati.
"Harus bisa dihidupkan kembali dengan pengetahuan kita mengenai benda-benda ini. Kalau tidak, percuma kita menerima. Lebih baik aman di Rijkmuseum atau Rotterdam," kata Peter.
Mengamini pernyataan Peter, Marsis juga menganggap peninggalan sejarah semacam ini seharusnya dipresentasikan dengan baik, tak sekadar dipajang di dalam lemari museum.
"Koleksi di museum terkadang hanya dipajang di dalam lemari kaca, kemudian hanya diberi nama. Namanya ini, ditemukan di sini, sudah selesai.Tidak diberi makna apa-apa," ucapnya.
"Ini yang kemudian menyebabkan kadang generasi muda itu tidak tahu sebenarnya itu benda apa, maknanya apa, kepentingannya untuk masa sekarang apa.Itu yang tidak pernah disajikan."
Alhasil, masyarakat tak mendapatkan tambahan pengetahuan yang penting, melainkan hanya "kenangan visual."
Marsis menyayangkan situasi ini karena benda-benda yang dipulangkan itu memiliki "nilai signifikansi, yaitu nilai sejarah, nilai pengetahuan, dan nilai budaya."
Agar lebih menarik perhatian kaum muda, Peter menganggap presentasi benda-benda bersejarah ini seharusnya bisa dibungkus dengan berbagai cara, seperti pentas teater atau film.
Peter mengambil contoh film Mencuri Raden Saleh yang dirilis pada 2022 lalu. Menurut Peter, melalui film itu masyarakat dapat mengetahui siapa Raden Saleh.
Tak hanya itu, penonton juga dapat mengetahui sejarah penangkapan Pangeran Diponegoro yang dikisahkan dalam lukisan Raden Saleh di film tersebut.
Ia berharap semakin banyak presentasi benda bersejarah semacam ini.
Jika kualitasnya sangat baik, Peter berharap presentasi itu dapat diekspor dan dinikmati khalayak dunia.
Pada akhirnya, Peter menganggap presentasi itu dapat menjadi alat diplomasi halus untuk Indonesia, seperti Korea Selatan dengan gelombang "hallyu"-nya.
"This is soft power. Kalau betul-betul [bisa] ada pengetahuan yang dalam,cerita yang valid, cerita yang valid pertama untuk masyarakat nasional,masyarakat di sini, masyarakat Indonesia, tapi lambat laun itu bisa diekspor. Bisa ada sinetron [serial]," katanya.
Peter kemudian bercerita bahwa dia baru saja menerjemahkan babad dari buku harian paman Pangeran Diponegoro, yaitu Pangeran Panular, yang merekam sejarah pendudukan Inggris di Jawa.
"Itu adalah Game of Thrones versi Jawa. Kita bisa mengekspor itu di dalam bentuk [serial] Netflix atau bentuk cara lain untukdi mana dunia internasional bisa menerima dan bisa menikmati," ucap Peter.