Benarkah Dunia Butuh Energi Nuklir demi Capai Target Iklim?

Benarkah Dunia Butuh Energi Nuklir demi Capai Target Iklim?

Ketahanan energi kian menjadi isu di tengah digitalisasi teknologi yang mensyaratkan produksi berkapasitas tinggi.

Pencarian daring berbasis kecerdasan buatan atau AI, misalnya, menyedot 10 kali lipat lebih besar energi listrik ketimbang melalui mesin pencarian seperti Google.

Akibatnya, nuklir kembali dilirik, terutama oleh perusahaan teknologi, demi mengamankan pasokan listrik tanpa menambah beban emisi gas rumah kaca, GHG. Partai konservatif terbesar Jerman, CDU, misalnya menetapkan kembalinya riset nuklir sebagai tema kampanye jelang pemilu dini, Februari nanti.

Henry Preston, juru bicara World Nuclear Association, WNA, meyakini pemerintahan di sejumlah negara telah menjadi lebih "pragmatis" dalam beberapa tahun terakhir. Menurutnya, tuntutan saat ini adalah menyeimbangkan ketahanan energi dan krisis iklim, sembari mempertimbangkan peningkatan biaya dan jadwal pembangunan proyek energi bersih dengan "kapasitas besar".

Namun, kelompok lingkungan secara konsisten menunjukkan, proyek energi nuklir baru berbiaya mahal, dan biasanya memakan waktu sekitar satu dekade untuk dibangun setelah semua perencanaan dan perizinan. Akibatnya, pembangkit nuklir yang baru tidak bisa beroperasi tepat waktu untuk membantu memenuhi tujuan iklim.

"Transisi energi memerlukan peralihan teknologi dalam tempo cepat. Sementara jenis solusi yang dapat diluncurkan paling cepat adalah energi terbarukan, terutama tenaga surya dan angin, dengan efisiensi energi, dan fleksibilitas sistem," kata pegiat iklim global Climate Action Network Europe dalam pemeriksaan fakta daring.

"Energi terbarukan secara konsisten mengungguli tenaga nuklir dalam hal biaya dan kecepatan distribusi dan oleh karena itu lebih dipilih daripada tenaga nuklir di sebagian besar negara," demikian bunyi laporan Status Industri Nuklir Dunia, WNISR 2024. Riset tersebut menyebut rencana untuk meningkatkan kapasitas nuklir dalam beberapa dekade mendatang "tidak realistis."

Di Amerika Serikat, raksasa teknologi seperti Amazon dan Google sudah berniat membangun pembangkit nuklir sendiri, dengan reaktor modular kecil atau SMR. Teknologi ini memperkecil reaktor hingga berkapasitas kurang dari 300 Megawatt, kira-kira sepertiga kapasitas standar pembangkit nuklir.

SMR diklaim lebih aman, lebih murah dan lebih cepat dibangun ketimbang reaktor berukuran normal, serta bisa diadopsi oleh pembangkit fosil yang ada. Proyek yang sedang dikerjakan Amazon dan Google, misalnya, direncanakan akan mulai beroperasi awal tahun 2030an.

Namun, organisasi lingkungan Climate Action Network membantah keunggulan SMR sebagai "janji kosong." Perkaranya, "teknologi SMR belum diuji pada skala komersial." Secara global, sejauh ini hanya dua proyek SMR yang telah dibangun, yakni di Rusia dan China dengan desain yang berbeda. Proyek-proyek tersebut terhubung ke jaringan listrik masing-masing pada tahun 2019 dan 2021.

Laporan WNISR, yang sebagian didanai oleh Kementerian Lingkungan Hidup Jerman, menunjukkan bahwa proyek SMR di kedua negara mengalami penundaan konstruksi yang signifikan, dan memakan waktu dua atau tiga kali lebih lama dari yang direncanakan semula. Proyek-proyek tersebut juga melampaui anggaran dan sejauh ini belum memproduksi listrik hingga kapasitas maksimal.

Namun, industri nuklir mengatakan penundaan tersebut sudah diantisipasi karena proyek di Rusia dan China baru sekadar percontohan. Proyek-proyek mendatang, yang sekarang dalam tahap perencanaan,"berpotensi bisa beroperasi lebih cepat," kata Preston dari WNA.

Walau begitu Mycle Schneider, analis kebijakan nuklir independen dan penerbit laporan WNISR, mengatakan dalam email, hal ini hanya mungkin dilakukan dengan "reproduksi unit yang identik atau hampir identik," dan bukan SMR dengan desain beragam, seperti di Rusia dan China.

Schneider mengatakan, produksi panel surya, baterai yang terhubung ke jaringan, dan turbin angin yang meningkat pesat, dengan puluhan ribu unit dibuat setiap tahun, merupakan "manufaktur yang benar-benar modular" yang memungkinkan industri berinovasi dan menurunkan biaya dengan cepat.

"Industri nuklir telah belajar dari pilot SMR di China dan Rusia bahwa tidak ada yang ingin mereproduksinya, dan tidak ada upaya untuk mendapatkan lisensi di negara Barat mana pun," kata Schneider.

Pada pertemuan puncak iklim 2023 di Dubai, energi nuklir untuk pertama kalinya tercantum di antara teknologi rendah emisi yang dibutuhkan untuk mencapai "pengurangan emisi gas rumah kaca yang luas, cepat, dan berkelanjutan."

Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim 2022 PBB juga menyebutkan nuklir, dengan mengatakan bahwa "tidak mungkin semua sistem energi rendah karbon di seluruh dunia akan bergantung sepenuhnya pada sumber energi terbarukan."

Meskipun mengakui bahwa angin dan matahari bisa berperan besar dalam mendorong transformasi energi, analis masih mengeluhkan ketidakandalan energi terbarukan, yang bergantung pada ketersediaan matahari dan angin.

Sejak konferensi iklim Dubai, sebanyak 31 negara — di antaranya negara nuklir utama seperti Prancis, Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang — telah berjanji untuk melipatgandakan kapasitas pada tahun 2050. Negara-negara non-nuklir seperti El Salvador, Jamaika, Moldova, dan Mongolia juga berniat serupa.

Namun, laporan WNISR 2024 bernada skeptis terhadap janji pengembangan energi nuklir. Dengan mencantumkan serangkaian potensi hambatan seperti biaya tinggi, waktu konstruksi, dan kurangnya kapasitas industri, laporan tersebut menunjukkan bahwa untuk melipatgandakan kapasitas terpasang saat ini, lebih dari 1.000 reaktor baru akan dibutuhkan.

Bahkan dengan SMR yang menyumbang sejumlah besar energi, "ratusan atau bahkan ribuan pembangkit perlu dibangun untuk mendekati tujuan itu," kata Schneider dalam wawancara Desember 2023 dengan Bulletin of the Atomic Scientists.

Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris

Sumber